KABARBURSA.COM - Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan yang bekerja di sektor industri tekstil dan garmen semakin nyata. Kekhawatiran ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai Januari 2025.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ancaman PHK menjadi tantangan serius, terutama bagi industri padat karya.
“Potensi PHK menjadi salah satu masalah utama yang perlu mendapat perhatian serius,” kata Shinta dalam konferensi pers Outlook Perekonomian Apindo 2025 di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
Shinta juga menyoroti penurunan signifikan jumlah kelas menengah di Indonesia. Data menunjukkan, populasi kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang, namun angka tersebut merosot menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Menurutnya, kelas menengah memiliki peran strategis sebagai penggerak utama konsumsi domestik.
Selain itu, kebijakan tarif PPN 12 persen dinilai Shinta dapat memperburuk situasi ekonomi. Ia juga mengkritik inkonsistensi regulasi ketenagakerjaan, termasuk kenaikan UMP 6,5 persen, yang dianggap kurang transparan dalam proses penetapannya.
“Industri padat karya, terutama tekstil dan garmen, paling terdampak. Banyak PHK terjadi akibat kondisi sektor ini yang sudah melemah,” ujarnya.
Untuk meringankan beban pengusaha, Shinta mengusulkan sejumlah insentif, seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk industri padat karya, serta subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan.
“Kami telah mengajukan usulan insentif ini karena memahami sulitnya pemerintah mengubah kebijakan yang telah ditetapkan,” jelas Shinta.
Meski begitu, Apindo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan berada di kisaran 4,9 persen hingga 5,2 persen (yoy). Proyeksi ini mempertimbangkan kondisi global yang belum stabil, tingginya inflasi dunia, serta tantangan domestik, seperti ancaman PHK, tekanan kenaikan PPN, dan meredupnya performa komoditas unggulan, seperti minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui bahwa rencana kenaikan Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada Januari 2025 diperkirakan akan memengaruhi daya beli masyarakat dan biaya produksi dari sisi penawaran.
Kenaikan PPN tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sebagai langkah bertahap, PPN sebelumnya telah dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022, dan pada Januari 2025, PPN kembali dinaikkan menjadi 12 persen. Presiden Prabowo menambahkan bahwa kebijakan PPN 12 persen ini hanya akan berlaku pada barang-barang mewah pada tahun depan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa dampak langsung dari kebijakan ini adalah terhadap daya beli masyarakat.
“Rencana peningkatan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada Januari 2025 ya, memang tidak dapat dimungkiri akan berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat,” kata Dian dalam Konferensi Pers RDKB OJK November 2024 di Jakarta, Jumat 13 Desember 2024.
Dian juga menyebutkan bahwa kenaikan PPN ini berpotensi memengaruhi komponen biaya produksi secara bertahap.
“Kondisi penyesuaian tersebut akan berpotensi menciptakan kontraksi pada aktivitas ekonomi secara temporal, sehingga kondisi dimaksud dinilai belum serta-merta dapat berimplikasi langsung terhadap kemampuan bayar debitur,” tambah dia.
Namun, menurut Dian, dampak kenaikan PPN terhadap kinerja sektor perbankan diperkirakan tidak akan terlalu besar. Ia menunjukkan bahwa meskipun PPN telah dinaikkan menjadi 11 persen, kualitas kredit perbankan tetap terjaga.
“Kredit perbankan pada posisi Desember 2023 itu masih dapat tumbuh secara year-on-year sebesar 10,38 persen, dengan kualitas kredit yang terjaga yang tercermin dari tingkat NPL yang berada pada level 2,19 persen,” jelas Dian.
Pada Oktober 2024, pertumbuhan kredit tercatat meningkat menjadi 10,92 persen, dengan NPL sedikit naik menjadi 2,20 persen.
Dian mengungkapkan bahwa pemerintah, bersama OJK dan regulator lainnya, akan terus memantau indikator-indikator ekonomi untuk mendukung pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.
“Selanjutnya dalam perkembangan ke depan, pemerintah bersama OJK dan regulator lain tentu akan senantiasa memonitor indikator perekonomian agar dapat mendorong pertumbuhan dan stabilitas perekonomian secara berkelanjutan,” pungkasnya.
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal mengingatkan bahwa kenaikan PPN 12 persen yang diberlakukan pemerintah berpotensi meningkatkan ancaman PHK, khususnya di sektor industri padat karya yang tengah tertekan.
Menurut Faisal, meskipun pemerintah memberikan sejumlah insentif untuk sektor ini, kondisi industri padat karya sudah sangat tertekan dengan penurunan permintaan. Salah satu dampaknya adalah penurunan daya beli kelas menengah yang merupakan konsumen utama bagi produk industri padat karya, termasuk pakaian, alas kaki, dan produk tekstil lainnya.
Faisal menekankan bahwa permintaan yang terus menurun telah menyebabkan perlambatan penjualan yang signifikan, dari pertumbuhan 3,2 persen menjadi hanya 2 persen saja.
“Industri padat karya saat ini berada dalam kondisi yang sangat terjepit. Dengan kenaikan PPN 12 persen dan adanya kebijakan lain seperti kenaikan upah minimum 6,5 persen, sektor ini berisiko mengalami lebih banyak PHK,” ujar Faisal saat ditemui di Kantor CORE Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis, 19 Desember 2024.
Faisal menilai bahwa meskipun insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor ini penting, tetapi hal itu belum cukup untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan dari penurunan daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah. Tanpa adanya langkah yang lebih efektif dan penanganan masalah permintaan, dia khawatir sektor padat karya akan semakin terpuruk.
Di sisi lain, Faisal juga menyoroti bahwa kebijakan PPN 12 persen harus diperhatikan dengan cermat agar tidak semakin memperburuk kondisi industri-industri yang sudah ‘in injury’ atau tertekan. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya mendukung pemulihan ekonomi yang lebih merata.
“Jika kebijakan tidak hati-hati, kita bisa melihat dampak yang lebih buruk lagi bagi lapangan pekerjaan di sektor ini. Perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada produksi barang konsumsi kelas menengah akan sangat terpengaruh,” ujarnya.
Faisal mengingatkan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan kondisi pasar dan dampak dari kebijakan tersebut secara menyeluruh, agar tidak hanya berfokus pada aspek fiskal, tetapi juga pada kelangsungan industri dan lapangan pekerjaan di sektor padat karya. (*)