KABARBURSA.COM - Presiden Direktur Lifepal Eko Waluyo mengatakan, penetrasi asuransi di Indonesia meningkat sebesar 2,29 persen pada 2023 menjadi 2,80 persen pada 2024.
Meski terjadi peningkatan yang cukup signifikan, namun masih ada tantangan yang harus dihadapi, salah satunya adalah mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga.
“Pada 2023, penetrasi Indonesia sudah tertinggal dari negara-negara tetangga. Sebagai perbandingan, tingkat penetrasi asuransi di Malaysia mencapai 4,8 persen dan di Singapura 11,4 persen,” kata Eko dalam keterangannya, Kamis, 19 Desember 2024.
Eko menjelaskan, penyebab ketertinggalan Indonesia dengan negara tetangga adalah karena jumlah asuransi di kedua negara tersebut lebih sedikit. Selain itu, kebijakan wajib asuransi dan kesadaran masyarakat di dua negara tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023, tingkat literasi masyarakat terhadap kesadaran asuransi hanya 32 persen. Dari jumlah tersebut 16 persennya memutuskan membeli polis asuransi.
“Sebagai negara yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia menghadapi risiko bencana alam yang sangat tinggi, mulai dari gempa bumi hingga letusan gunung berapi. Di tengah tingginya potensi risiko ini, asuransi seharusnya menjadi salah satu alat utama dalam mengelola dan memitigasi risiko, khususnya bagi yang memiliki aset berharga seperti kendaraan pribadi atau mobil,” ujarnya.
Eko menilai, faktor yang menyebabkan rendahnya penetrasi literasi asuransi adalah karena stigma masyarakat terkait dengan asuransi masih sebagai kebutuhan sekunder. Stigma seperti ini, kata dia, banyak dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan rendah sehingga memprioritaskan kebutuhan pokok.
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap asuransi juga disebabkan karena trauma masyarakat terhadap kasus perusahaan asuransi yang gagal bayar. Kasus ini ramai dibicarakan media sehingga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap asuransi.
“Kondisi ini memperparah tantangan untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya asuransi,” terangnya.
Eko menilai, masih ada ruang untuk mendorong perkembangan industri asuransi di Indonesia. Optimisme ini didorong oleh komitmen pemerintah mendorong industri asuransi melalui peta jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027.
Di dalam roadmap tersebut, terdapat empat elemen, yaitu memperkuat daya tahan dan daya saing, mengembangkan elemen kunci dalam ekosistem sektor asuransi, mempercepat transformasi digital, memperkuat regulasi, supervisi dan perizinan.
Sementara itu, kebijakan Third Party Liability (TPL) yang akan diberlakukan pada 2025 juga mampu menjadi katalis pertumbuhan, dengan proyeksi penetrasi mencapai 3,2 persen pada 2027,” paparnya.
Di sisi lain, lanjut Eko, pelaku industri asuransi juga perlu menghadirkan solusi inovatif seperti digitalisasi dan proses bisnis dan pengembangan produk asuransi yang lebih terjangkau dan sederhana.
Sebelumnya, pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai kepercayaan masyarakat belum benar-benar pulih usai terjadi kasus Jiwasraya.
Menurutnya, kasus Jiwasraya adalah gagal terbesar dalam sejarah asuransi di Indonesia. Bahkan pembayaran klaim yang diajukan juga berjalan lambat.
“Kasus ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi yang pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan industri otomotif di Indonesia,” kata Yannes kepada kabarbursa.com, beberapa waktu lalu.
Sampai hari ini, pemerintah belum mengeluarkan keputusan apapun terkait dengan kewajiban asuransi TPL. Pihak pemerintah, terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih menunggu payung hukum sebelum wacana mewajibkan asuransi TPL diimplementasikan.
Namun, jika mengacu UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) pemerintah dapat mewajibkan sebuah asuransi sesuai dengan kebutuhan. Salah satu asuransi yang dapat diwajibkan menurut regulasi tersebut adalah asuransi kendaraan.
Yannes menuturkan, jika pada akhirnya pemerintah memutuskan mewajibkan asuransi TPL, maka ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh asuransi tersebut, salah satunya adalah memiliki tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang ketat dalam pengelolaan investasi.
“Perusahaan asuransi harus memiliki tata kelola yang baik, transparan dan akuntabel. Hal ini meliputi manajemen risiko yang efektif, pengawasan internal yang ketat dan pelaporan keuangan yang transparan,” kata Yannes.
Pengawasan ketat dibutuhkan agar tidak terulang kasus korupsi di perusahaan asuransi Jiwasraya yang dikelola negara dan merugikan negara hingga Rp16,8 triliun.
Selain merugikan negara, kasus ini juga banyak merugikan masyarakat karena pemegang polis terbanyak untuk asuransi ini adalah masyarakat. Oleh karena itu, OJK sebagai regulator diminta melakukan pengawasan yang ketat terhadap perusahaan asuransi.
“Kasus Jiwasraya yang sangat merugikan dan menyakitkan hati masyarakat serta meluluh lantakkan kredibilitas pemerintah itu sulit dilupakan dan memberikan stigma terhadap asuransi dan sekaligus berbagai kebijakan pemerintah yang terkait penarikan sepihak dana masyarakat,” jelasnya.
Selain diawasi dengan ketat, produk asuransi yang ditawarkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, terjadinya gelombang penolakan terhadap wacana pemerintah mewajibkan asuransi TPL bagi kendaraan karena masyarakat merasa sudah memiliki beban terlalu banyak.
Dia mengungkapkan, pihak yang paling banyak menolak wacana asuransi TPL adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah. Bahkan, Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) juga menolak kewajiban asuransi TPL karena status pekerja angkutan online adalah mitra sehingga berbeda dengan pekerja pada umumnya.
Asuransi TPL dianggap akan membebani pelaku ojek online karena pihak aplikator tidak akan bersedia menanggung kewajiban asuransi tersebut.
“Premi asuransi harus terjangkau dan manfaat yang diberikan harus jelas, mudah dipahami dan mudah melakukan proses klaimnya, tidak dipersulit dengan berbagai terms dan condition yang menyulitkan masyarakat,” kata Yannes.
Terms dan condition yang menyulitkan dalam proses klaim masih menjadi ketakutan masyarakat mempercayakan uangnya kepada perusahaan asuransi. Proses pengajuan klaim yang berbelit-belit membuat masyarakat hilang kepercayaan kepada perusahaan asuransi.
“Selama ini kemudahan klaim asuransi masih seringkali sebagai lip service. Untuk itu, asuransi harus mampu membuktikan bahwa mereka memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen. Hal ini meliputi penyelesaian klaim yang cepat dan adil, serta penyediaan layanan pengaduan yang mudah diakses oleh nasabah,” ujarnya.
Yannes menilai, pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan terkait mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi.
Pemerintah juga dituntut memberi penjelasan terkait dengan irisan antara asuransi TPL, Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) yang secara otomatis dibayar masyarakat ketika membayar pajak Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan asuransi Jasa Raharja.
Karena, menurutnya, tiga asuransi tersebut masih rawan tumpang tindih sehingga masyarakat butuh kejelasan dari pemerintah dan memastikan dana yang diambil secara otomatis dari masyarakat tidak terbuang sia-sia.
Selain itu, yang tidak kalah penting dilakukan adalah memberikan edukasi yang jelas terkait pentingnya asuransi. Selama ini minat masyarakat kepada asuransi masih rendah adalah karena tidak terlalu memahami produk asuransi yang ditawarkan.
“Masyarakat perlu ditingkatkan literasi keuangannya agar dapat memahami produk asuransi dengan baik dan memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Jadi kata kuncinya ‘memilih’ bukan dipaksakan,” pungkasnya. (*)