KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memberikan perhatian serius terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani memperkirakan kebijakan ini akan memberikan tekanan pada inflasi, meskipun masih dalam batasan target Bank Indonesia.
Shinta menjelaskan, APINDO memproyeksikan inflasi yang terjadi di Indonesia pada 2025 berada di kisaran 2,5 persen, dengan margin plus minus 1 persen, sejalan dengan target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI). Namun, ia mengingatkan beberapa faktor yang dapat memperberat situasi, terutama pada awal tahun depan.
“Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen, penerapan PPN 12 persen, serta lonjakan permintaan musiman terkait Ramadan dan Lebaran diprediksi akan memicu tekanan inflasi,” kata Shinta dalam konferensi pers di kantor APINDO di kawasan Jakarta Selatan, Kamis, 19 Desember 2024.
Dia berharap, langkah Bank Indonesia telah melakukan berbagai langkah mitigasi, seperti program ketahanan pangan dan substitusi komoditas energi akan dapat menjaga stabilitas harga di pasar domestik.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa inflasi Indonesia pada 2024 berhasil dijaga rendah. Ia mencatat bahwa inflasi pada November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen, salah satu yang terendah di dunia, bahkan lebih baik dibandingkan dengan target inflasi rata-rata negara maju yang mencapai 2 persen.
“Angka ini menunjukkan daya beli masyarakat tetap terjaga tanpa terganggu lonjakan harga. Stabilitas ini menjadi pencapaian penting bagi perekonomian Indonesia,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis, 12 Desember 2024.
Sri Mulyani juga membandingkan situasi inflasi global, di mana beberapa negara mengalami lonjakan yang signifikan. India tercatat 6,2 persen, Rusia 8,5 persen, Turki melonjak hingga 47 persen, dan Argentina mencapai 193 persen.
“Di tengah situasi global yang penuh gejolak, inflasi kita yang terkendali mencerminkan optimisme dari sisi produksi dan konsumsi masyarakat. Ini adalah fondasi penting untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tegasnya.
Sri Mulyani juga mencatat bahwa angka core inflation Indonesia berada pada level 2,3 persen, yang dianggap sebagai sinyal positif bagi perekonomian. Keyakinan ini didukung oleh Indeks Keyakinan Konsumen yang tetap menunjukkan optimisme masyarakat terhadap prospek ekonomi Indonesia ke depan.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen akan menambah tekanan bagi industri makanan dan minuman.
Menurut Adhi, kenaikan ini berdampak langsung pada margin produksi, mulai dari biaya kemasan hingga bahan tambahan lainnya, yang pada akhirnya memengaruhi harga jual produk makanan dan minuman kemasan.
“PPN ini sifatnya berantai. Setiap tahap produksi memiliki margin yang akan terakumulasi, sehingga diperkirakan kenaikan harga di tingkat konsumen mencapai 2-3 persen akibat kenaikan PPN,” kata Adhi di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.
Ia menambahkan bahwa pelaku usaha di sektor ini khawatir kenaikan harga akan berdampak pada penurunan penjualan, terlebih daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih.
Adhi mencatat bahwa daya beli masyarakat kelas bawah, meskipun telah didukung oleh sejumlah insentif pemerintah, masih belum menunjukkan perbaikan signifikan.
Selain PPN, kenaikan upah minimum yang berlaku mulai 2025 juga menjadi tantangan bagi industri makanan dan minuman. Namun, Adhi mencatat bahwa momentum Ramadhan dan Idul Fitri di awal tahun depan mungkin akan membantu menahan penurunan penjualan.
“Menjelang puasa dan Lebaran, penurunan penjualan kemungkinan tidak begitu terlihat karena kebutuhan masyarakat meningkat. Namun, untuk produk pangan sekunder dan tersier yang bukan kebutuhan pokok, ada potensi penurunan permintaan,” jelasnya.
Adhi menyatakan, GAPMMI telah menyampaikan kekhawatiran para pelaku usaha kepada pemerintah. Selain mengusulkan peninjauan ulang kebijakan PPN, pihaknya juga berharap pemerintah mempertimbangkan pemberian insentif atau kompensasi bagi industri makanan dan minuman jika kenaikan pajak tetap diberlakukan.
“Kami berharap pemerintah dapat meninjau kembali keputusan ini, apakah dengan membatalkan kenaikan PPN atau memberikan pengecualian untuk produk pangan pokok yang dibutuhkan masyarakat,” ujar Adhi.
Ia menyoroti bahwa beberapa negara tetangga justru menurunkan PPN untuk mendukung daya beli masyarakat.
“Mengapa di tengah situasi yang belum kondusif ini, pemerintah justru menaikkan PPN?” tanyanya.
GAPMMI juga meminta pemerintah mengevaluasi berbagai regulasi yang berpotensi membebani biaya produksi. Adhi menekankan pentingnya keseimbangan antara kebijakan fiskal dan keberlangsungan industri makanan dan minuman yang menjadi bagian penting dari perekonomian nasional. (*)