KABARBURSA.COM - Pasar saham Wall Street ditutup tajam lebih rendah pada hari Rabu, 18 Desember 2024 waktu setempat atau Kamis, 19 Desember 2024 dinihari WIB, dengan indeks Dow Jones anjlok lebih dari 1.100 poin. Melemahnya Wall Street terjadi setelah Federal Reserve AS memangkas suku bunga sesuai ekspektasi.
Indeks Dow Jones mencatatkan penurunan harian terbesar sejak Agustus serta kerugian harian kesepuluh berturut-turut. Ini adalah rangkaian kerugian terpanjang sejak tahun 1974. Nasdaq dan S&P 500 juga mengalami penurunan harian terbesar dalam beberapa bulan terakhir.
Setelah keputusan Fed, imbal hasil obligasi AS meningkat tajam, sedangkan dolar AS menguat terhadap mata uang utama lainnya.
Mengutip Reuters, Ryan Detrick, kepala strategi pasar di Carson Group, menyebut bahwa reaksi awal pasar terhadap keputusan Fed cenderung emosional, tetapi sering kali lebih terkendali keesokan harinya. Menurutnya, ekonomi AS tetap kuat dan Fed tidak berencana menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, meski pemangkasan selanjutnya kemungkinan baru akan terjadi pada 2025.
Pada pertemuan terakhirnya tahun ini, Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, sesuai prediksi pasar. Namun, mereka juga menurunkan proyeksi jumlah pemangkasan suku bunga tahun depan, dari empat kali menjadi dua kali hingga akhir 2025.
Fed juga mengisyaratkan kemungkinan jeda dalam kebijakan moneter pada Januari mendatang. Keputusan ini sangat mengecewakan beberapa pelaku pasar yang berharap pernyataan Fed akan lebih akomodatif.
Dalam konferensi persnya, Ketua Fed Jerome Powell menegaskan bahwa perekonomian AS tetap kuat, inflasi juga semakin mendekati target 2 persen, dan kebijakan moneter saat ini sudah cukup untuk menghadapi berbagai risiko. Meskipun demikian, keputusan Fed ini memicu aksi jual di pasar saham.
Indeks Dow Jones turun 1.123,03 poin atau 2,58 persen menjadi 42.326,87. S&P 500 kehilangan 178,57 poin atau 2,95 persen menjadi 5.872,03, sementara Nasdaq anjlok 716,37 poin atau 3,56 persen menjadi 19.392,69.
Sementara itu, pasar Eropa mencatat kinerja beragam menjelang pengumuman kebijakan Fed. Indeks STOXX 600 naik tipis 0,15 peraen, sedangkan indeks FTSEurofirst 300 menguat 0,13 persen. Namun, pasar negara berkembang dan Asia melemah, dengan indeks MSCI untuk Asia-Pasifik di luar Jepang ditutup turun 0,05 persen, sementara indeks Nikkei Jepang kehilangan 0,72 persen.
Keputusan Fed juga mendorong kenaikan imbal hasil obligasi AS. Imbal hasil obligasi 10 tahun naik 11,3 basis poin menjadi 4,498 persen, sementara obligasi 30 tahun naik 7,3 basis poin menjadi 4,6525 persen.
Dolar AS memperpanjang penguatannya terhadap mata uang dunia, dengan indeks dolar naik 1,09 persen ke 108,09. Euro melemah 1,13 persen terhadap dolar menjadi USD1,037, sementara dolar AS menguat 0,76 persen terhadap yen Jepang ke 154,63.
Di pasar komoditas, harga minyak mentah naik setelah keputusan Fed. Minyak mentah AS menguat 0,71 persen menjadi USD70,58 per barel, sementara Brent naik 0,27 persen menjadi USD73,39 per barel. Namun, harga emas mengalami penurunan karena penguatan dolar. Emas spot turun 1,94 persen menjadi USD2.594,24 per ons, sementara emas berjangka AS kehilangan 2,05 persen ke USD2.590,20 per ons.
Pasar aset kripto juga terpukul setelah Powell mengatakan bahwa Fed tidak berniat memegang bitcoin di tengah spekulasi apakah pemerintahan Trump yang akan datang akan mempertimbangkan cadangan bitcoin. Bitcoin jatuh 5,17 persen menjadi USD100.916, sementara Ethereum turun 6,14 persen menjadi USD3.692,50.
Keputusan Federal Reserve yang lebih hawkish daripada yang diharapkan mencerminkan pendekatan hati-hati mereka terhadap kebijakan moneter di tengah tanda-tanda bahwa ekonomi masih tetap tangguh, meskipun inflasi belum sepenuhnya terkendali. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi pasar keuangan, terutama dengan meningkatnya ketidakpastian menjelang tahun 2025.
Tahun ini menjadi momen gemilang bagi pasar saham AS, yang ditandai dengan pencapaian bersejarah indeks Nasdaq Composite yang menembus level 20.000 untuk pertama kalinya. Indeks berbasis teknologi ini telah mencatat kenaikan sebesar 32 persen sepanjang tahun, sementara indeks S&P 500 meningkat sekitar 27 persen.
Namun, pekan depan pasar akan menghadapi salah satu ujian terakhir dengan digelarnya pertemuan Federal Reserve, yang dinantikan untuk memberikan panduan terkait kebijakan suku bunga.
Ekspektasi penurunan suku bunga oleh The Fed telah menjadi salah satu faktor pendorong lonjakan pasar saham. Meski bank sentral diharapkan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam pertemuan mendatang, investor mulai mengurangi ekspektasi terkait seberapa agresif kebijakan moneter akan dilonggarkan tahun depan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat dan inflasi yang sulit untuk turun.
Di pasar obligasi, imbal hasil obligasi pemerintah AS dengan tenor 10 tahun meningkat dalam beberapa sesi terakhir, mencapai 4,38 persen pada Jumat, tertinggi dalam tiga minggu terakhir. Kenaikan ini berbanding terbalik dengan harga obligasi.
Meskipun pasar saham tetap stabil di tengah kenaikan imbal hasil, level 4,5 persen dianggap sebagai titik kritis yang dapat memicu gejolak pasar yang lebih luas.
Investor khawatir bahwa jika The Fed memutuskan untuk bergerak lebih lambat dalam menurunkan suku bunga daripada ekspektasi awal, pasar saham dapat mengalami tekanan. Hal ini dijelaskan oleh Jim Baird, Chief Investment Officer Plante Moran Financial Advisors, yang menyoroti bahwa arah kebijakan moneter sangat memengaruhi biaya pinjaman serta penilaian saham.
Selain itu, kenaikan imbal hasil obligasi dapat mengurangi daya tarik saham, karena obligasi pemerintah AS dianggap sebagai investasi tanpa risiko jika dipegang hingga jatuh tempo.
Berdasarkan data CME FedWatch, peluang The Fed menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada pertemuan mendatang mencapai 96 persen. Namun, proyeksi penurunan suku bunga untuk tahun depan masih belum jelas.
Data LSEG menunjukkan bahwa Fed fund futures memperkirakan suku bunga berada di level 3,8 persen pada Desember tahun depan, turun dari 4,5 persen hingga 4,75 persen saat ini, tetapi sekitar 100 basis poin lebih tinggi dibandingkan prediksi pada September.
Dalam pertemuan mendatang, proyeksi ekonomi terbaru dari The Fed akan memberikan gambaran tentang arah kebijakan suku bunga di masa depan. Pada proyeksi terakhir di bulan September, median suku bunga diperkirakan di level 3,4 persen pada akhir 2025.
Namun, ekonomi AS kini menunjukkan kinerja yang lebih kuat daripada yang diperkirakan pada September, seperti yang diungkapkan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell. Hal ini menjadi salah satu alasan The Fed dapat memperlambat laju penurunan suku bunga.
Faktor lain yang berpotensi membuat The Fed lebih berhati-hati adalah kebijakan ekonomi pro-pertumbuhan Presiden terpilih Donald Trump. Kebijakannya, termasuk pemotongan pajak dan tarif perdagangan, dapat memicu inflasi lebih tinggi tahun depan. Dalam hal ini, para analis dari BNP Paribas memproyeksikan pemotongan suku bunga "hawkish," yang memungkinkan The Fed untuk membuka peluang jeda pemangkasan suku bunga tanpa batas waktu tertentu.
Selain itu, para analis dan investor akan mengamati seberapa besar perhatian The Fed terhadap risiko inflasi yang terus membandel. Data terbaru menunjukkan bahwa penurunan inflasi menuju target 2 persen hampir terhenti.
Meski begitu, momentum pasar tampaknya masih mendukung kenaikan harga saham hingga akhir tahun. Sentimen investor, berdasarkan berbagai survei, tetap optimis.
Namun, secara teknikal, reli di pasar saham kemungkinan mulai menunjukkan tanda-tanda jenuh. Persentase saham Nasdaq yang mencapai harga tertinggi dalam 52 minggu, menurun sejak lonjakan pasca pemilu 5 November. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah saham yang menopang kenaikan indeks semakin terbatas.
Adam Turnquist, Chief Technical Strategist di LPL Financial, mencatat bahwa sejarah menunjukkan indeks Nasdaq mungkin membutuhkan jeda sebelum momentum jangka panjangnya kembali berlanjut.(*)