KABARBURSA.COM - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi memastikan bahwa beras premium tidak akan terdampak oleh kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku mulai 1 Januari 2025.
“Tidak terdampak. Beras premium juga tidak. Mungkin nanti ada beras khusus, tapi itu masih dalam pembahasan,” ujar Arief, saat ditemui setelah rapat koordinasi terbatas di Gedung BPPT I, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Desember 2024.
Arief menambahkan, barang-barang yang termasuk dalam kategori komoditas strategis, seperti pangan pokok, tidak akan terpengaruh oleh kebijakan kenaikan PPN ini.
“Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, barang-barang komoditas strategis tidak akan dikenakan PPN,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Kebijakan perpajakan ini menjunjung tinggi prinsip keadilan, gotong royong, dan kesejahteraan masyarakat,” kata Airlangga dalam konferensi pers tentang paket stimulus ekonomi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Meski begitu, lanjut Airlangga, sejumlah barang dan jasa yang penting bagi masyarakat, termasuk bahan kebutuhan pokok akan dibebaskan dari PPN. Rinciannya diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020.
Beberapa barang yang termasuk dalam kategori ini antara lain beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, dan gula konsumsi, serta berbagai layanan seperti pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, dan asuransi.
“Jadi, barang-barang kebutuhan pokok akan tetap bebas dari PPN,” jelas Airlangga.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, bahan makanan premium seperti daging sapi wagyu dan kobe, yang harga per kilogramnya berkisar antara Rp3-3,5 juta, akan dikenakan PPN sebesar 12 persen.
Sebaliknya, bahan makanan pokok seperti daging sapi biasa, yang harganya sekitar Rp150.000 hingga Rp200.000 per kilogram, akan tetap bebas dari PPN karena masuk dalam kategori kebutuhan pokok masyarakat.
“Barang-barang yang termasuk dalam kategori mewah dan dikonsumsi oleh kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi tinggi, seperti daging wagyu dan kobe, akan dikenakan PPN 12 persen,” kata Sri Mulyani.
Tarif PPN 12 persen juga akan diberlakukan untuk barang dan jasa yang tergolong premium, seperti layanan pendidikan internasional dengan biaya yang mencapai ratusan juta rupiah, serta layanan kesehatan medis premium.
Dalam perinciannya, Sri Mulyani mengungkapkan beberapa barang dan jasa yang sebelumnya bebas PPN dan mulai tahun depan akan dikenakan tarif PPN 12 persen.
Beberapa contoh tersebut antara lain beras premium, buah-buahan premium, daging premium seperti wagyu dan kobe, ikan mahal seperti salmon dan tuna premium, serta berbagai jenis makanan laut premium seperti king crab.
Selain itu, jasa pendidikan dan layanan kesehatan premium, serta tagihan listrik untuk pelanggan rumah tangga dengan daya 3.500-6.600 volt ampere (VA) juga akan dikenakan PPN 12 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang saat ini masih 11 persen masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, baik di kawasan regional maupun anggota G20.
“Tarif PPN di Indonesia, jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia, masih relatif rendah. Baik di negara-negara emerging maupun di kawasan regional dan G20,” kata Sri Mulyani di Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Rabu, 18 Desember 2024.
Sri Mulyani memberikan contoh beberapa negara dengan ekonomi serupa yang memiliki tarif PPN dan rasio pajak (Tax Ratio) yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Misalnya, Brasil menetapkan tarif PPN sebesar 17 persen dengan tax ratio mencapai 24,67 persen. Afrika Selatan memberlakukan tarif PPN sebesar 15 persen dengan tax ratio 21,4 persen, sementara India mengenakan tarif PPN 18 persen dengan tax ratio 17,3 persen.
Selain itu, Turki menetapkan tarif PPN 20 persen dengan tax ratio 16 persen. Di Asia Tenggara, Filipina saat ini mengenakan tarif PPN 12 persen dengan tax ratio mencapai 15,6 persen, sementara Meksiko mengenakan tarif PPN 16 persen dengan tax ratio 14,46 persen.
Namun, jika dibandingkan dengan tarif PPN di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) lainnya, Indonesia lebih tinggi.
Vietnam, misalnya, memiliki tarif PPN sebesar 10 persen, sementara Vietnam yang sebelumnya menerapkan tarif PPN 10 persen kini memperpanjang insentif dengan tarif yang dipangkas menjadi 8 persen. Begitu pula dengan Singapura mengenakan tarif PPN sebesar 9 persen, sementara Thailand hanya 7 persen.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa keputusan kenaikan tarif PPN ini mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Menurutnya, pemerintah berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak tanpa membebani konsumsi rumah tangga secara berlebihan.
“Kami memahami pandangan berbagai pihak. Kami juga melihat data konsumsi rumah tangga yang tetap stabil, serta inflasi yang rendah, yakni hanya 1,5 persen,” kata Sri Mulyani.
Dia juga memastikan bahwa implementasi kebijakan PPN 12 persen akan dilakukan secara hati-hati, dengan mempertimbangkan stabilitas konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
Selain itu, pemerintah berfokus pada peningkatan rasio pajak (tax ratio) untuk memperkuat basis penerimaan negara.
Sri Mulyani menilai, penerapan tarif PPN 12 persen pada 2025 merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kontribusi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). (*)