KABARBURSA.COM – Dua raksasa otomotif Jepang, Honda dan Nissan, tengah berdiskusi untuk memperdalam kerja sama, termasuk potensi untuk merger. Langkah ini mencerminkan dinamika industri otomotif Jepang yang semakin terdesak oleh kebangkitan Tesla dan pesaing dari China seperti BYD.
Jika benar terjadi, merger antara Honda dan Nissan akan membentuk perusahaan senilai USD54 miliar (Rp864 triliun) dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 7,4 juta unit kendaraan. Angka ini menempatkan mereka sebagai grup otomotif terbesar ketiga dunia setelah Toyota dan Volkswagen.
Kolaborasi antara Honda dan Nissan sebenarnya sudah dimulai sejak Maret lalu dalam pengembangan mobil listrik. Namun, kondisi Nissan yang semakin terjepit secara finansial mempercepat urgensi kerja sama lebih dalam.
Bulan lalu, Nissan mengumumkan rencana pemangkasan biaya sebesar USD2,6 miliar, termasuk pengurangan 9.000 tenaga kerja dan 20 persen kapasitas produksi global. Langkah ini diambil setelah penurunan penjualan di pasar utama seperti China dan Amerika Serikat yang memicu anjloknya laba kuartal kedua hingga 85 persen.
“Kesepakatan ini tampaknya lebih untuk menyelamatkan Nissan, tetapi Honda sendiri tidak dalam posisi aman,” kata analis senior di Itochu Research Institute, Sanshiro Fukao, dikutip dari China Daily di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024.
Menurut Fukao, arus kas Honda diprediksi memburuk tahun depan, sementara penjualan mobil listriknya belum menunjukkan hasil memuaskan.
Meski kabar ini disambut baik oleh pasar, reaksi investor cukup beragam. Saham Nissan melonjak hampir 24 persen pada penutupan perdagangan Rabu di Tokyo, sementara saham Honda justru melemah 3 persen. Di sisi lain, saham Mitsubishi ikut terkerek hingga 20 persen.
Diskusi yang pertama kali dilaporkan media Nikkei ini berfokus pada kolaborasi teknologi dan pembentukan aliansi yang lebih kuat untuk menyaingi dominasi Toyota di pasar domestik. Selain itu, opsi mendirikan holding company hingga potensi merger penuh juga menjadi bagian dari pembicaraan kedua perusahaan. Mitsubishi Motors, di mana Nissan memiliki 24 persen saham, turut disebut dalam rencana tersebut.
Namun, hingga saat ini, ketiga perusahaan—Honda, Nissan, dan Mitsubishi—masih menegaskan belum ada kesepakatan yang diumumkan. Meskipun begitu, sumber anonim menyebut ketiganya berencana menggelar konferensi pers bersama di Tokyo pada Senin, 23 Desember 2024.
Sementara itu, muncul kabar bahwa Foxconn, raksasa manufaktur asal Taiwan yang juga memproduksi iPhone untuk Apple, sempat mendekati Nissan untuk mengambil alih kepemilikan mayoritas. Namun, tawaran tersebut ditolak. Foxconn saat ini tengah gencar mengembangkan bisnis manufaktur mobil listrik, namun belum ada tanggapan resmi dari perusahaan terkait kabar ini.
Perubahan lanskap industri otomotif global semakin memaksa Honda dan Nissan untuk berbenah. Perang harga mobil listrik yang dipicu Tesla dan BYD selama setahun terakhir semakin menekan produsen yang masih merugi pada segmen kendaraan generasi baru ini. Bagi Honda dan Nissan, opsi merger menjadi langkah besar untuk memangkas biaya dan mempercepat pengembangan kendaraan listrik mereka.
“Untuk jangka menengah hingga panjang, ini positif bagi industri otomotif Jepang karena menciptakan poros kedua setelah Toyota,” ujar Seiji Sugiura, analis senior di Tokai Tokyo Intelligence Laboratory.
Menurutnya, persaingan konstruktif dengan Toyota bisa menjadi dorongan baru bagi industri otomotif Jepang yang stagnan, terutama di tengah persaingan sengit dengan produsen China, Tesla, dan lainnya.
Namun, jalan menuju merger tidak akan mulus. Rencana ini diperkirakan akan mendapat pengawasan ketat dari Amerika Serikat, terutama di bawah Presiden terpilih Donald Trump yang berjanji untuk bersikap keras terhadap impor kendaraan.
Trump bahkan mengancam tarif sebesar 25 persen untuk mobil yang dikirim dari Kanada dan Meksiko, dua negara di mana Honda dan Nissan memiliki fasilitas produksi untuk pasar AS. Beberapa pejabat industri menyebutkan, Trump bisa saja meminta konsesi dari kedua perusahaan untuk menyetujui kesepakatan ini.
Di balik potensi efisiensi, para analis menyoroti tantangan internal yang akan dihadapi Honda dan Nissan jika merger ini benar-benar terjadi. Integrasi dua budaya perusahaan yang berbeda diyakini menjadi pekerjaan rumah besar bagi kedua pihak.
“Honda memiliki budaya unik yang berfokus pada teknologi dan unggul dalam pengembangan powertrain. Akan ada resistensi internal untuk bergabung dengan Nissan, pesaing dengan budaya berbeda yang kini sedang terpuruk,” kata Tang Jin, peneliti senior di Mizuho Bank.
Dominasi produsen mobil listrik China seperti BYD semakin menambah tekanan bagi pemain lama industri otomotif global, seperti Honda dan Nissan. Persaingan ketat ini diperburuk oleh keunggulan teknologi dan harga kompetitif dari BYD yang mampu menguasai pasar domestik sekaligus mencatatkan lonjakan penjualan global.
Dilansir dari Reuters, dengan penjualan yang kuat di pasar domestik China, BYD diproyeksi akan melewati target tahunan 4 juta kendaraan, mengungguli penjualan global Honda dan Ford pada 2024. Hingga November, BYD telah mengirimkan 3,76 juta kendaraan, termasuk 506.804 unit yang terjual di bulan November saja.
Kesuksesan ini didorong oleh rangkaian model kompetitif, terutama dengan teknologi plug-in hybrid terbaru mereka. Data penjualan November dari Asosiasi Mobil Penumpang China (CPCA) diperkirakan akan menunjukkan BYD kembali meraih pangsa pasar yang lebih besar.
Hingga Oktober, BYD telah menguasai 16,2 persen pasar mobil di China, naik signifikan dari 12,5 persen pada 2023, menurut data CPCA. Sebagai perbandingan, dua usaha patungan Volkswagen dengan SAIC dan FAW Group hanya mengambil pangsa pasar gabungan 12,5 persen pada periode Januari-Oktober, turun dari 14,2 persen tahun lalu.
Jika momentum ini berlanjut, BYD bisa menjual lebih dari 6 juta kendaraan dalam 12 bulan ke depan. Angka ini akan menempatkan mereka setara dengan grup otomotif global seperti General Motors dan Stellantis. Bahkan, menurut analis Citi, BYD menargetkan pengiriman 5-6 juta kendaraan pada 2025.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.