KABARBURSA.COM - Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen terhadap produk pakaian membuat resah pedagang Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pedagang khawatir kenaikan ini akan menekan daya beli masyarakat yang sudah melemah, sehingga omzet usaha mereka ikut terdampak.
Rian Abdullah (43), pedagang busana muslim di Blok A lantai 3, mengaku cemas kebijakan ini memperburuk kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
“Kalau PPN naik, otomatis harga barang juga bisa naik, dan daya beli masyarakat nanti pasti turun lagi,” ujar Rian kepada Kabar Bursa, Rabu 18 Desember 2024.
Rian yang berdagang sejak 2015 menuturkan omzetnya belum pulih sepenuhnya. Selama pandemi, ia bahkan sempat menutup lapaknya. Kini, meski kembali berdagang, omzetnya masih belum kembali normal
"Dulu sehari bisa dapat Rp1 juta-an, sekarang Rp500 ribu saja sudah untung," keluhnya.
Kekhawatiran serupa diungkapkan Indah Putri Dewi (31), pedagang pakaiandi Blok B lantai 5. Menurutnya, penurunan daya beli sudah terasa, bahkan pada akhir pekan yang biasanya ramai pembeli.
"Biasanya Sabtu-Minggu itu ramai, sekarang sepi, apalagi hari biasa. Sekarang orang beli baju saja mikir-mikir, Apalagi PPN naik, lebih baik beli kebutuhan pokok dulu," ujar Indah.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 juga menuai kritik dari para pengamat. Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai kebijakan ini berisiko menciptakan efek domino pada ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah.
“Faktanya, kenaikan PPN ini tidak mengurangi daftar produk yang dikenakan pajak, malah justru menambahnya,” ungkap Andri kepada Kabar Bursa, Selasa 17 Desember 2024.
Lalu Andri memaparkan kebohongan yang dilakukan pemerintah, yaitu tidak dikenakannya PPN pada beras dan angkutan umum. Katanya, hal itu memang sudah diterapkan sejak lama berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.
Dalam aturan tersebut dijelaskan, barang yang tidak dikenakan PPN dibagi menjadi dua kategori, yaitu barang tertentu yang dibebaskan dari PPN, dan barang tertentu yang tidak dipungut PPN.
Justru, lanjut Andri, produk-produk seperti beras premium, ikan salmon, listrik di atas 3.500 Volt Ampere (VA), rumah sakit VIP, jasa pendidikan dan sejenisnya, yang sebelumnya tidak dikenakan PPN, kini dikenakan tarif PPN 12 persen.
“Produk-produk tersebut sebelumnya masuk dalam kategori barang yang tidak dibebani PPN, tapi sekarang hanya barang yang digolongkan nonpremium yang dibebaskan PPN,” jelas Andri.
Ia juga mempertanyakan narasi pemerintah yang menyebut kenaikan ini tidak akan menyentuh barang kebutuhan pokok dan penting (bapokting). Pasalnya, hanya tiga produk yang mendapatkan penangguhan sementara, yakni tepung terigu, Minyakita, dan gula industri.
“Hanya tiga barang yang disebutkan akan ditangguhkan dari kenaikan PPN. Tepung terigu, Minyakita, dan gula industri. Ini bukan tidak naik tarif PPN-nya, tapi untuk sementara waktu ditanggung oleh negara, dengan kata lain Ditanggung Pemerintah (DTP),” tegas Andri.
Menurut Andri, pemberlakuan kenaikan PPN ini akan berdampak luas, termasuk pada barang-barang yang sebelumnya dianggap esensial. Kondisi ini dikhawatirkan memperburuk daya beli masyarakat yang sudah tertekan, seperti yang dirasakan oleh pedagang di pasar tradisional.
“Jadi, dikenakan tarif PPN 12 persen, namun pemerintah membayarkan yang 1 persen. Kita tidak tahu sampai kapan pemerintah akan menanggung PPN untuk tiga produk tersebut,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan diterapkan sesuai jadwal yang diatur dalam UU HPP, mulai 1 Januari 2025,” kata Airlangga dalam konferensi pers bertema ‘Paket Stimulus Ekonomi untuk Kesejahteraan’ di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Namun, pemerintah telah menetapkan sejumlah kebijakan untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah. Airlangga menegaskan, barang kebutuhan pokok tetap dibebaskan dari PPN dengan fasilitas PPN 0 persen.
“Barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, dan gula konsumsi diberikan fasilitas PPN 0 persen. Demikian juga jasa pendidikan, kesehatan, angkutan umum, tenaga kerja, jasa keuangan, asuransi, vaksin polio, dan air bersih,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan stimulus ekonomi khusus untuk barang tertentu seperti minyak goreng, tepung terigu, dan gula industri. Airlangga menyebut, pemerintah akan menanggung 1 persen dari kenaikan tarif PPN untuk barang-barang tersebut, sehingga masyarakat hanya dikenakan tarif 11 persen.
“Pemerintah memberikan dukungan berupa stimulus untuk bahan pokok seperti minyak, tepung terigu, dan gula industri, dengan menanggung sebagian kenaikan PPN. Tarif efektifnya tetap 11 persen bagi kebutuhan tersebut,” ujar Airlangga.
Di kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 akan mengedepankan prinsip keadilan dan gotong royong, serta mempertimbangkan aspirasi masyarakat.
Menurut Sri Mulyani, kebijakan ini juga didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen untuk menjaga daya beli masyarakat agar roda perekonomian tetap bergerak di tengah tantangan global maupun domestik.
“Ekonomi kita tetap bisa berjalan meski dihadapkan pada dinamika global dan situasi dalam negeri yang terus kita waspadai,” jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan, prinsip keadilan diterapkan dengan membedakan kebijakan antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Kelompok mampu diwajibkan membayar pajak sesuai aturan, sedangkan kelompok tidak mampu akan dilindungi melalui bantuan pemerintah. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.