KABARBURSA.COM – Permintaan batu bara dari China diprediksi akan melandai pada 2025 seiring evaluasi negara tersebut terhadap kelebihan pasokan batu bara. China, sebagai pelanggan utama batu bara Indonesia, tengah bergulat dengan stok yang berlimpah di tengah pemulihan ekonomi yang masih lemah.
Ekspor batu bara Indonesia ke China menunjukkan tren peningkatan yang cukup signifikan dalam tiga tahun terakhir, baik dari segi volume maupun nilai. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengiriman batu bara Indonesia ke China naik dari 62,49 juta ton pada 2020 menjadi 81,68 juta ton pada 2023.
Pada 2020, total volume batu bara yang diekspor ke China tercatat sebesar 62,49 juta ton. Angka ini melonjak drastis pada 2021 menjadi 108,48 juta ton. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan China di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun, angka ini kembali mengalami penurunan pada 2022 menjadi 69,68 juta ton, sebelum akhirnya naik lagi ke 81,68 juta ton pada 2023.
[caption id="attachment_107053" align="alignnone" width="1979"] Tren ekspor batu bara RI ke China.[/caption]
Dari sisi nilai ekspor, peningkatan ini juga terlihat besar. Pada 2020, nilai ekspor batu bara ke China tercatat sebesar USD2,65 miliar (Rp42,4 triliun). Seiring melonjaknya volume pada 2021, nilai ekspor turut melesat menjadi USD9,14 miliar (Rp146,24 triliun). Meski volume sempat turun pada 2022, nilai ekspor tetap kuat di angka USD7,79 miliar (Rp124,64 triliun). Tren menurun berlanjut hingga 2023, di mana nilai ekspor tercatat sebesar USD6,97 miliar (Rp111,52 triliun).
Di sisi lain, tren produksi batu bara China terus mencetak rekor tertinggi sejak 2021. Berdasarkan data CEIC--perusahaan penyedia data ekonomi global yang berbasis di Hongkong--pada tahun tersebut, produksi mencapai 4,12 miliar ton sebelum melonjak drastis menjadi 4,56 miliar ton pada 2022 dan kembali mencetak rekor 4,71 miliar ton pada 2023. Tren peningkatan produksi ini mencerminkan strategi China dalam memperkuat ketahanan energi domestik di tengah permintaan yang tinggi.
[caption id="attachment_107054" align="alignnone" width="1580"] Tren produksi batu bara China.[/caption]
Meski produksi batu bara domestik China terus meningkat, impor tetap tumbuh, terutama untuk memenuhi kebutuhan energi tambahan. Menurut Biro Statistik Nasional China, produksi batu bara pada Agustus 2024 tercatat sebesar 400 juta ton, naik 2,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Rata-rata produksi harian mencapai 12,79 juta ton. Di sisi lain, impor batu bara pada bulan yang sama mencapai 45,84 juta ton, tumbuh 3,4 persen secara tahunan atau year-on-year.
Secara kumulatif, periode Januari-Agustus 2024 mencatat produksi batu bara China sebesar 3,05 miliar ton, turun tipis 0,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, angka impor justru mengalami lonjakan signifikan, mencapai 340 juta ton atau naik 11,8 persen. Kenaikan ini menjadi indikasi bahwa meskipun produksi dalam negeri meningkat, China masih membutuhkan batu bara impor untuk menjaga stabilitas pasokan energi, khususnya batu bara spesifik seperti yang dipasok dari Indonesia.
Sebagai pasar terbesar, China menyerap sekitar 21,5 persen dari total ekspor batu bara Indonesia pada 2023. Jika permintaan dari China melandai hingga 50 persen, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan ekspor hingga Rp78,4 triliun, bergantung pada harga batu bara global.
Analis Pasar Modal dari Mikirduit.com, Surya Rianto, menilai potensi turunnya serapan batu bara Indonesia oleh China dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, mulai dari kelebihan stok batu bara domestik hingga pemulihan ekonomi China yang belum sepenuhnya stabil. Produksi batu bara dalam negeri yang terus mencetak rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir membuat China lebih selektif dalam mengatur impor, terutama di tengah tekanan ekonomi domestik dan upaya menyeimbangkan permintaan energi dengan kapasitas produksi yang ada.
Ia juga menyoroti lonjakan impor China belakangan ini lebih bersifat temporer, sebagai langkah untuk mengamankan pasokan jangka pendek di tengah ketidakpastian global.
“Bukan dikurangi. Karena China ini supply batu baranya lebih sedangkan ekonomi dia (China) belum terlalu pulih untuk menyerap batu bara yang sudah ada sekarang,” kata Surya Rianto, kepada KabarBursa.com, Senin, 16 Desember 2024.
Dengan melandainya permintaan, Indonesia sebagai salah satu pemasok utama batu bara global, harus bersiap menghadapi dampak penurunan ini pada pendapatan ekspor. Surya menjelaskan, pengurangan ekspor batu bara bukan hanya masalah bagi Indonesia, melainkan tantangan global. Ia menyebut ekspektasi harga batu bara saat ini masih belum membaik dan berkisar di level USD120-130 per ton.
“Sebenarnya itu jadi tekanan tersendiri untuk industri batu bara di seluruh dunia, bukan Indonesia saja,” kata Surya.
Sebagai salah satu pemasok batu bara terbesar dunia, Indonesia sangat bergantung pada pemulihan ekonomi China yang kini sedang tiarap. Menurut Surya, jika China melakukan devaluasi yuan, hal ini akan menambah tekanan terhadap perekonomian global.
Namun, ketika industri China pulih, permintaan batu bara dari Indonesia akan kembali meningkat. Sebab, pada dasarnya, China tidak akan berhenti meminta batu bara dari Indonesia untuk menjalankan industri baja.
Surya memprediksi sektor batu bara masih akan stabil dalam lima tahun ke depan dengan permintaan yang cenderung tetap. Namun, ia mengingatkan stabilitas ini bukan tanpa ancaman. Menurutnya, permintaan ekspor batu bara mulai melandai akibat perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh perang serta tingginya suku bunga.
“Gara-gara suku bunga tinggi, ekonomi global cenderung melemah. Harapannya, ketika suku bunga mulai turun pada 2025 dan berlanjut lebih signifikan di 2026, permintaan batu bara bisa meningkat, dengan asumsi ekonomi China mulai pulih,” kata Surya.
Membaiknya perekonomian global akan mendorong peningkatan kebutuhan industri, termasuk batu bara. Meski begitu, Surya menilai harga batu bara tidak akan kembali ke level tertinggi USD400 seperti pada 2022. Harga batu bara kemungkinan akan berada di kisaran USD150-170 per ton.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia – Indonesia Mining Association (API-IMA), Hendra Sinadia, menilai penggunaan batu bara global masih akan tumbuh setiap tahunnya. Ia mengatakan dalam lima tahun terakhir, permintaan global terus menunjukkan kenaikan, termasuk dari China.
"Produksi batu bara di berbagai negara, termasuk China, terus meningkat,” kata Hendra.
Ia menjelaskan oversupply batu bara di China sudah terjadi sejak dua tahun terakhir akibat tingginya produksi dalam negeri. Dengan produksi yang melimpah, stok batu bara China semakin bertambah.
Hendra pun mengatakan China tidak pernah secara resmi mengumumkan rencana atau target impor batu bara mereka. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang memiliki target ekspor yang lebih terukur. Prediksi pengurangan impor batu bara China, kata dia, berasal dari analisis para pakar yang memperkirakan produksi domestik akan terus meningkat.
"Pada 2023, produksi batu bara China mencapai 4,2 miliar ton, dan tahun ini diperkirakan meningkat menjadi 4,5 miliar ton,” jelas Hendra.
Menurutnya, impor batu bara dari negara lain, termasuk Indonesia, kemungkinan akan dikurangi. Namun, ini bukan kebijakan resmi dari pemerintah China, melainkan analisis yang didasarkan pada tren produksi dan permintaan di pasar. Hendra menambahkan, penentu jumlah ekspor batu bara di tahun 2025 akan sangat bergantung pada keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Jika stok di China tetap tinggi, maka jumlah impor dari Indonesia berpotensi turun.
“Meskipun diprediksi berkurang, tapi batu bara Indonesia masih diminati di China karena spesifikasi yang dibutuhkan, seperti kadar sulfur rendah dan harga yang kompetitif,” kata mantan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia ini.
Hendra mengatakan faktor utama yang memengaruhi impor adalah harga domestik. Jika harga batu bara dalam negeri China lebih tinggi dibandingkan harga impor, maka impor akan tetap dilakukan. Selain itu, kebutuhan batu bara Indonesia untuk keperluan blending di beberapa pembangkit listrik China turut menopang permintaan.
Surya Rianto turut menyoroti peran PLN sebagai pembeli terbesar batu bara di dalam negeri. Ia menegaskan bahwa batu bara domestik terikat dengan aturan Domestic Market Obligation (DMO).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara Indonesia menunjukkan tren peningkatan sejak 2020. Pada tahun tersebut, produksi batu bara tercatat sebesar 564 juta ton, dengan alokasi untuk kewajiban pasar domestik atau DMO sebesar 132 juta ton dan ekspor mencapai 405 juta ton.
Pada 2021, produksi naik menjadi 614 juta ton dengan DMO sebesar 133 juta ton dan ekspor tercatat sebesar 435 juta ton. Tren ini berlanjut pada 2022, di mana produksi batu bara mencapai 687 juta ton. Pasokan untuk DMO melonjak menjadi 216 juta ton, sementara ekspor mencapai 465 juta ton.
[caption id="attachment_107055" align="alignnone" width="1980"] Tren produksi batu bara Indonesia.[/caption]
Produksi batu bara semakin melesat pada 2023, mencapai 775 juta ton atau jauh melampaui target yang ditetapkan pemerintah sebesar 695 juta ton. Di tahun tersebut, kebutuhan DMO sebesar 213 juta ton di samping mengekspor 518 juta ton. Sementara itu, pada 2024, pemerintah mematok target produksi batu bara sebesar 710 juta ton.
Menurut Surya, meski pasar domestik cukup besar, margin keuntungan di dalam negeri cenderung tipis akibat aturan DMO yang menetapkan harga batu bara sebesar USD70 per ton. Hal ini, kata dia, membuat margin emiten seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menjadi yang terkecil karena porsi pasokan ke pasar lokal cukup besar.
"Paling yang lagi menarik itu batu bara metalurgi, cuma emang enggak banyak pemainnya. Cuma ada ADMR (PT Adaro Minerals Indonesia Tbk) sama DOID (PT Delta Dunia Makmur Tbk) sekarang,” jelas Surya.
Surya megimbuhkan, batu bara metalurgi menjadi salah satu sektor menarik karena dibutuhkan untuk operasional smelter nikel. Permintaan batu bara jenis ini terus meningkat di tingkat domestik karena harganya tidak terkena gangguan DMO.
Dengan demikian, meskipun pasar ekspor ke China diprediksi melandai, sektor batu bara domestik masih memiliki peluang, terutama untuk mendukung industri hilirisasi nikel yang tengah berkembang pesat di Indonesia.
Wacana transisi energi menjadi salah satu tantangan besar bagi Indonesia sebagai negara pengekspor batu bara. Meski prosesnya tidak akan berlangsung secara drastis, analis Surya Rianto sepakat tren ini akan menurunkan permintaan batu bara secara bertahap dan signifikan di masa mendatang.
Ia memprediksi transisi energi baru akan benar-benar terealisasi pada 2035. Menurutnya, Indonesia masih memiliki waktu sekitar 10 tahun sebelum permintaan batu bara mulai berkurang secara bertahap.
“Kalau dalam jangka pendek, mustahil kita tiba-tiba langsung beralih dari PLTU atau pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara menuju bahan bakar yang renewable karena itu costly banget,” kata Surya.
Transisi dari sumber energi yang tidak ramah lingkungan, seperti batu bara, ke energi terbarukan tidak bisa dilakukan tanpa biaya besar. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu menyiapkan anggaran yang signifikan untuk mewujudkan target ini. Sayangnya, kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN saat ini sedang tidak sehat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan total defisit tahun ini diperkirakan mencapai Rp609,7 triliun atau 2,7 persen dari PDB. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan target awal dalam APBN yang ditetapkan sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29 persen dari PDB. Sementara itu, untuk tahun 2025, pemerintah merancang APBN dengan defisit sebesar Rp616,2 triliun atau setara 2,53 persen dari PDB.
“Kondisi APBN lagi enggak bagus. Yang ada ekonomi kita kacau. Jadi saya masih ekspektasi di tahun 2035 atau 2040 itu bertahap dan baru kemudian mulai gencar,” kata Surya.
Wacana penghapusan batu bara di dalam negeri semakin mencuat melalui program PLTU phase down. Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dari Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, Ira Ayuthia Herdiani, menjelaskan penghentian operasional PLTU batu bara menjadi salah satu langkah menuju target Net Zero Emission (NZE) 2060.
“Jadi di sini dikatakan phase down adalah untuk PLTU yang sudah ada dan tentunya pengembangan EBT. Selain itu, pengembangan energi terbarukan, baik off grid dan on grid, serta pengembangan energi baru seperti nuklir, hidrogen, dan amonia,” kata Ira.
Agar pensiun dini PLTU batu bara bisa direalisasikan, diperlukan penggantinya berupa pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Tiga jenis energi yang diandalkan adalah tenaga surya, angin, dan hidrogen.
Pemerintah menargetkan share dari ketiga sumber energi tersebut mencapai 41,6 persen, sedangkan non-intermitten seperti tenaga nuklir dan pembangkit listrik lain menyumbang sekitar 58,4 persen. Adapun PLTU yang masih beroperasi akan dilengkapi dengan teknologi carbon capture storage (CCS) untuk mengurangi emisi karbon.
“Jadi tidak hanya coal secara konvensional, tapi disertai ada cofiring dengan biomassa ataupun dengan CCS. Kemudian untuk green hydrogen ataupun green ammonia pun juga berperan, di mana ini bisa dilakukan untuk green hydrogen sebagai pengganti PLT gas dan amonia untuk PLTU,” jelas Ira.
Demi mencapai target ambisius ini, pemerintah memproyeksikan kebutuhan investasi sebesar USD55,18 miliar untuk pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan berkapasitas 20,9 gigawatt pada 2030.
Di tengah potensi penurunan permintaan dari China, transisi energi menuju sumber daya terbarukan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Diversifikasi pasar batu bara dan percepatan pengembangan energi bersih dapat menjadi strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas ekonomi sektor energi nasional.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.