KABARBURSA.COM - Pemerintah China berencana meningkatkan defisit anggaran hingga empat persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025. Defisit kali ini merupakan level tertinggi dalam sejarah. Langkah ini diambil untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen di tengah ancaman peningkatan tarif impor dari AS setelah Donald Trump kembali menduduki Gedung Putih pada Januari mendatang.
Dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024, meski belum diumumkan, rencana defisit ini disepakati dalam pertemuan Central Economic Work Conference (CEWC) pekan lalu. Defisit ini lebih besar dibanding target awal 3 persen dari PDB untuk 2024.
Kenaikan 1 poin persentase dalam anggaran ini setara dengan 1,3 triliun yuan atau sekitar USD179,4 miliar (Rp2.870triliun dengan kurs Rp16.000). Menurut dua sumber yang mengetahui rencana ini, dana tambahan akan diperoleh melalui penerbitan obligasi khusus di luar anggaran.
Dorongan fiskal yang lebih kuat ini menjadi bagian dari strategi China untuk mengantisipasi lonjakan tarif AS yang diprediksi melebihi 60 persen terhadap impor China. Jika janji kampanye Trump direalisasikan, tarif ini akan menekan industri China yang mengekspor barang senilai lebih dari USD400 miliar (Rp6.400 triliun) per tahun ke AS.
Para eksportir memperingatkan tarif tersebut akan memangkas margin keuntungan, mengganggu lapangan kerja, serta menahan laju investasi dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, langkah ini juga berpotensi memperburuk masalah kelebihan kapasitas industri dan tekanan deflasi yang saat ini membayangi perekonomian China.
Sumber resmi menyebutkan China akan mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen pada 2025. Ringkasan hasil CEWC menegaskan perlunya menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil, meningkatkan rasio defisit fiskal, dan menerbitkan lebih banyak utang pemerintah.
Dalam waktu yang sama, bank sentral China atau PBOC juga diperkirakan akan mengadopsi kebijakan moneter yang lebih longgar. Upaya ini membuka peluang pemangkasan suku bunga dan injeksi likuiditas tambahan. Ini menandai perubahan dari kebijakan prudent alias hati-hati yang dipegang selama 14 tahun terakhir, di mana utang pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan melonjak lebih dari 5 kali lipat, sementara ekonomi hanya tumbuh sekitar 3 kali lipat dalam periode yang sama.
Perekonomian China saat ini masih terseok akibat krisis properti, tingginya utang pemerintah daerah, dan lemahnya permintaan domestik. Sementara ekspor yang selama ini menjadi salah satu penopang utama ekonomi, kini dihadapkan pada ketidakpastian tarif perdagangan AS.
Sebagai langkah mitigasi, sumber menyebutkan para pemimpin China tengah mempertimbangkan opsi untuk melemahkan yuan demi meredam dampak tarif perdagangan. Namun, dalam pernyataan resmi CEWC, Beijing menegaskan komitmen untuk menjaga stabilitas nilai tukar dalam level yang wajar dan seimbang.
Dengan defisit fiskal yang lebih lebar dan kebijakan moneter yang lebih longgar, China diprediksi akan mengandalkan stimulus fiskal sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi tahun depan. Namun, tekanan dari kebijakan perdagangan AS dan tantangan internal seperti utang dan konsumsi lemah masih menjadi ujian besar bagi pemulihan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Paket kebijakan ini mencerminkan keseriusan Beijing dalam menjaga stabilitas ekonomi di tengah dinamika global yang semakin tidak pasti, meskipun risiko dari utang yang meningkat tetap menjadi bayang-bayang besar.
Rencana China untuk meningkatkan defisit anggaran hingga 4 persen dari PDB dan menggencarkan stimulus fiskal memberi sinyal positif bagi mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Meskipun kebijakan tersebut baru akan diimplementasikan pada 2025, tren nilai ekspor Indonesia ke Tiongkok menunjukkan pemulihan yang kuat sepanjang tahun ini.
Berdasarkan data CEIC–perusahaan penyedia data ekonomi global yang berbasis di Hongkong–total ekspor Indonesia ke China naik menjadi USD5,56 miliar (Rp88,96 triliun) pada September 2024, dibandingkan USD5,46 miliar (Rp87,36 triliun) di Agustus 2024.
[caption id="attachment_107004" align="alignnone" width="1200"] Grafik menunjukkan nilai ekspor Indonesia ke China dalam USD miliar per bulan. Ekspor mengalami penurunan signifikan pada awal tahun 2024 sebelum akhirnya pulih kembali di kuartal ketiga, dengan kenaikan bertahap dari USD4,11 miliar pada Februari menjadi USD5,56 miliar pada September. Sumber: Data CEIC.[/caption]
Peningkatan ini melanjutkan tren positif sejak titik terendah pada Februari 2024 di USD4,11 miliar (Rp65,76 triliun). Walaupun masih di bawah rekor tertinggi USD6,46 miliar (Rp103,36 triliun) pada November 2022, tren ini menunjukkan adanya pemulihan permintaan komoditas unggulan Indonesia, seperti batubara, nikel, dan minyak sawit (CPO).
Stimulus fiskal China yang akan difokuskan pada pembangunan infrastruktur dan industri diharapkan bisa mendorong permintaan komoditas dari Indonesia. Dengan porsi perdagangan yang signifikan ke China, kebijakan ini membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas pasar dan menjaga laju ekspor di tengah tekanan ekonomi global.
Namun, Indonesia juga harus siap menghadapi dinamika baru. Jika China benar-benar melemahkan yuan untuk meredam dampak tarif AS, daya saing harga komoditas ekspor Indonesia bisa terdampak. Hal ini menuntut strategi perdagangan yang lebih fleksibel agar ekspor Indonesia tetap kompetitif.
Tekanan tarif dari AS terhadap produk China berpotensi mendorong relokasi industri manufaktur ke kawasan Asia Tenggara. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menarik investasi di sektor hilirisasi yang saat ini menjadi prioritas pemerintah Indonesia.
Dengan tren ekspor yang terus membaik, kebijakan ekonomi China di tahun mendatang menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya dalam rantai pasok global. Namun, diperlukan kesiapan strategis untuk menjaga keseimbangan di tengah dinamika pasar internasional yang terus bergerak.(*)