KABARBURSA.COM - Salah satu tantangan Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor batu bara adalah wacara transisi energi. Meski prosesnya tidak berlangsung secara ekstrem, namun para analis sepakat jika wacana ini bakal menurunkan permintaan batu bara secara signifikan.
Analis mikirduit.com Surya Rianto menilai transisi energi baru benar-benar terealisasi pada 2035. Menurutnya, masih ada waktu 10 tahun lagi sebelum permintaannya di pasaran bakal turun seiring waktu.
“Kalau dalam jangka pendek mustahil kita tiba-tiba langsung beralih dari PLTU atau pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara menuju bahan bakar yang renewable karena itu costly banget,” kata Surya kepada kabarbursa.com di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024.
Menurutnya, perpindahan atau transisi energi dari yang tidak ramah lingkungan seperti coal itu tidak gratis. Pemerintah dan stakeholder terkait yang menginginkan adanya transisi energi harus mengeluarkan uang besar demi mewujudkan transisi energi.
“Kondisi APBN juga lagi nggak bagus. Yang ada ekonomi kita kacau. Jasi saya masih ekspektasi di tahun 2035 atau 2040 itu bertahap dan baru kemudian mulai gencar,” kata Surya.
Surya menilai, selama lima tahun ke depan belum ada ancaman berarti di sektor batu bara. Besaran kebutuhan atau demand di pasaran masih sama dengan sebelumnya. Meski demikian, kestabilan sektor batu bara ini bukan tanpa ancaman. Karena, menurutnya, saat ini permintaan ekspor batu bara sudah mulai melandai akibat kondisi ekonomi global akibat perang. Ancaman berikutnya adalah ancaman suku bunga tinggi.
“Gara-gara suku bunga tinggi kan ekonomi global cenderung turun. Sebenarnya harapannya pas suku bunga turun ini dan 2025 bakal turun lebih banyak lagi nanti pada 2026 dengan hargapan ada kenaikan permintaan dari batu bara dengan asumsi ekonomi China pulih,” ujarnya.
Ketika ekonomi global membaik, kebutuhan industri juga turut meningkat. Ketika ekonomi pulih, harga batu bara dapat terkerek naik meski tidak mungkin bisa menembus USD400 seperti halnya yang terjadi pada 2022. Kendati demikian, ia memprediksi harganya bakal mencapai USD150-170 DM.
PLTU Face Down
Wacana penghapusan batu bara di dalam negeri juga sedang gencar dibicarakan dengan menyuarakan PLTU face down. Sub Kerja Sama EBT, Direktur Aneka EBT, Direktorat Jenderal EBTKE, Ira Ayuthia Herdiani mengungkapkan bahwa salah satu upaya menuju NZE 2060 PLTU face down atau atau menghentikan operasional PLTU. Penghentian ini dilakukan karena selama ini operasional PLTU masih menggunakan batu bara.
“Jadi di sini dikatakan face down adalah untuk PLTU yang sudah ada dan tentunya pengembangan EBT. Selain itu, pengembangan energi terbarukan, baik off grid dan on grid serta pengembangan energi baru seperti nuklir, hidrogen dan amonia,” kata Ira.
Agar proses pensiun dini batu bara dapat terealisasi, perlu diganti dengan pembangkit listrik EBT dengan tiga jenis energi terbarukan, yakni tenaga surya, angin dan hidrogen.
Pemerintah menargetkan share dari tiga tenaga tersebut mencapai 41,6 persen. Sedangkan untuk yang non-intermitten sekitar 58,4 persen. Sementara untuk PLTU yang masih beroperasi menggunakan coal, juga akan dilengkapi dengan carbon capture storage.
“Jadi tidak hanya coal secara konvensional, tapi disertai ada cofiring dengan biomasa ataupun dengan CCS. Kemudian untuk green hydrogen ataupun green ammonia pun juga berperan di mana ini bisa dilakukan untuk green hydrogen, itu bisa untuk penggantian PLT gas dan juga ammonia untuk PLTU,” jelasnya.
Adapun kebutuhan investasi dari target ambisius pemerintah ini adalah sebesar USD55,18 miliar untuk 20,9 gigawatt pada tahun 2030.
Harga batu bara dunia bergerak tipis pada Jumat, 13 Desember 2024 dini hari WIB, di tengah pasokan berlimpah dari produsen utama dunia. Kondisi ini turut menekan permintaan batu bara termal, terutama di kawasan Asia.
Harga batu bara Newcastle untuk pengiriman Desember 2024 turun USD1,25 menjadi USD132,5 per ton. Sementara kontrak untuk Januari 2025 naik tipis USD0,5 menjadi USD133 per ton, dan Februari 2025 mencatat kenaikan USD0,4 menjadi USD134 per ton.
Sebaliknya, harga batu bara Rotterdam justru mengalami penurunan lebih dalam. Kontrak Desember 2024 terkoreksi USD1,15 menjadi USD112,55 per ton, sedangkan Januari 2025 dan Februari 2025 masing-masing turun USD2 dan USD1,85 menjadi USD109,7 dan USD109,9 per ton.
Dikutip dari Tradingeconomics, harga batu bara Newcastle kembali turun ke bawah USD135 per ton, level terendah sejak Juli. Pasokan global yang melimpah dan stabilitas pasar gas alam membuat permintaan batu bara termal semakin tertekan.
Negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, yang selama ini mengandalkan batu bara berkualitas tinggi dari Newcastle, memangkas impor masing-masing sebesar 6 juta, 3,1 juta, dan 3,8 juta ton sepanjang tahun ini. Selain itu, kuatnya produksi domestik di India juga mendorong konsumen utama tersebut untuk beralih menggunakan batu bara lokal daripada impor.
Di sisi lain, curah hujan yang tinggi di Yunnan, China, memberikan energi alternatif melalui pembangkit listrik tenaga air. Kondisi ini memungkinkan kawasan manufaktur tersebut mengurangi ketergantungan pada batu bara, yang semakin menekan permintaan global.
Target dekarbonisasi global dan tren diversifikasi sumber energi diperkirakan akan terus memberikan tekanan pada pasar batu bara dalam beberapa waktu mendatang.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.