Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Industri China Meningkat, Penjualan Ritel Melambat di Tengah Ancaman Tarif AS

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 16 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Industri China Meningkat, Penjualan Ritel Melambat di Tengah Ancaman Tarif AS

KABARBURSA.COM - Pertumbuhan output industri China mencatat percepatan tipis pada November 2024. Di samping itu, penjualan ritel Negeri Tirai Bambu ini melambat dan terus menambah tekanan bagi Beijing untuk meningkatkan stimulus guna menopang ekonomi yang masih rapuh. Situasi ini terjadi di tengah potensi eskalasi tarif perdagangan dari Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan kedua Donald Trump.

Dilansir dari Reuters di Jakarta, Senin, 16 Desember 2024, data dari Biro Statistik Nasional (NBS) menunjukkan output industri China tumbuh 5,4 persen secara tahunan pada November, naik tipis dari 5,3 persen pada Oktober dan melebihi prediksi analis yang memperkirakan angka 5,3 persen.

Namun, di sisi lain, penjualan ritel, yang menjadi indikator utama konsumsi domestik, hanya naik 3,3 persen, jauh melambat dibandingkan pertumbuhan 4,8 persen pada bulan sebelumnya. Angka ini juga meleset dari perkiraan analis yang memprediksi pertumbuhan 4,6 persen.

Perlambatan konsumsi terjadi meskipun ada dorongan dari promosi belanja online besar-besaran dan program subsidi pemerintah, seperti program trade-in yang mendongkrak penjualan di sektor otomotif. Investasi aset tetap juga mencatat perlambatan, tumbuh 3,3 persen pada periode Januari-November dibandingkan tahun sebelumnya, turun dari 3,4 persen di periode Januari-Oktober.

Juru bicara NBS Fu Linghui mengatakan tren pemulihan konsumsi tetap ada, namun diperlukan upaya tambahan agar pemulihan ekonomi berlanjut hingga 2025. Pernyataan ini sejalan dengan hasil Central Economic Work Conference (CEWC) pekan lalu, di mana para pemimpin China berkomitmen untuk meningkatkan defisit anggaran dengan menerbitkan lebih banyak utang dan menjadikan peningkatan konsumsi sebagai prioritas utama.

Para pengambil kebijakan juga dihadapkan pada krisis properti berkepanjangan yang telah melemahkan kepercayaan konsumen. Sekitar 70 persen tabungan rumah tangga di China masih tersimpan dalam bentuk properti. Namun, ada sedikit angin segar ketika harga rumah baru mencatat penurunan paling lambat dalam 17 bulan terakhir.

Untuk memacu sektor ini, Beijing telah memangkas suku bunga KPR, menurunkan rasio uang muka minimum, serta memberikan insentif pajak untuk memangkas biaya transaksi properti. Meski demikian, sebagian besar analis menilai pemulihan sektor properti yang stabil masih jauh dari kepastian.

Ancaman tarif tinggi dari Donald Trump juga menambah tekanan pada ekonomi China. Trump telah mengancam menerapkan tarif lebih dari 60 persen terhadap impor barang-barang China. Para penasihat kebijakan China dilaporkan tengah mendorong target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,0 persen untuk tahun depan dengan fokus pada peningkatan permintaan domestik guna mengimbangi dampak dari tarif tersebut.

Sementara itu, Reuters melaporkan China mempertimbangkan pelemahan yuan sebagai respons terhadap kebijakan perdagangan AS. Namun, pernyataan resmi media pemerintah Xinhua setelah CEWC menegaskan kembali komitmen Beijing untuk menjaga stabilitas nilai tukar yuan.

Proyeksi terbaru dari survei Reuters memprediksi pertumbuhan ekonomi China akan mencapai 4,5 persen pada 2025 dengan eskalasi tarif AS diperkirakan memangkas hingga 1 persen dari pertumbuhan tersebut. Hal ini menambah tantangan bagi para pemimpin China untuk menavigasi ekonomi yang rapuh menuju pemulihan yang berkelanjutan.

Tambah Utang untuk Hadapi Gempuran Tarif

Para pemimpin China sebelumnya mengisyaratkan kesiapannya untuk menggelontorkan segala stimulus yang diperlukan guna meredam dampak tarif dagang AS yang diprediksi akan memukul pertumbuhan ekonomi mereka tahun depan.

Dilansir dari Reuters, pernyataan ini disampaikan usai digelarnya rapat Politbiro, sebuah forum para petinggi Partai Komunis China. Para pejabat mengumumkan pergeseran kebijakan ekonomi ke arah yang lebih longgar untuk moneter dan lebih agresif untuk fiskal negara. Ini adalah perubahan besar dari pendekatan yang selama ini penuh kehati-hatian oleh bank sentral China selama 14 tahun terakhir.

Selama periode kebijakan hati-hati itu, utang di berbagai sektor—termasuk pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan—melonjak lebih dari lima kali lipat. Sementara itu, produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh sekitar tiga kali lipat.

Jarang sekali Politbiro secara gamblang menguraikan rencana kebijakan. Namun, perubahan pesan kali ini jelas menunjukkan bahwa China siap mengambil risiko utang yang lebih besar demi memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek.

“Dari sikap pruden ke pendekatan yang cukup longgar, ini perubahan besar. Ini memberikan ruang yang sangat luas untuk berbagai kemungkinan,” kata Kepala Ekonom Standard Chartered untuk China dan Asia Utara, Shuang Ding.

Menurut Profesor Ekonomi Terapan di Universitas Peking, Tang Yao, perubahan ini memang dibutuhkan. Pasalnya, perlambatan pertumbuhan justru akan memperberat beban pembayaran utang China.

Sementara itu, Christopher Beddor dari Gavekal Dragonomics, mengatakan, “Secara umum, mereka (China) telah menerima kenyataan bahwa rasio utang terhadap PDB akan terus meningkat.” Ia juga menegaskan bahwa utang kini bukan lagi pembatas bagi Beijing.

Namun, sejauh mana bank sentral akan melonggarkan kebijakan moneter atau berapa banyak utang yang siap diterbitkan oleh kementerian keuangan tahun depan masih menjadi tanda tanya. Meski demikian, fleksibilitas ini dinilai menguntungkan posisi Beijing.(*)