Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kebijakan Trump Berpotensi Perlemah Rupiah dan Obligasi RI

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 16 December 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Kebijakan Trump Berpotensi Perlemah Rupiah dan Obligasi RI

KABARBURSA.COM - Kebijakan ekonomi yang akan diambil oleh Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, Donald Trump, diperkirakan dapat mengurangi minat investasi di mata uang rupiah dan obligasi Indonesia. Investor cenderung lebih berhati-hati dan memilih untuk mengalihkan dananya ke instrumen investasi di AS.

Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C Permana mengatakan bahwa ketidakpastian seputar kebijakan Trump menjadi perhatian utama bagi pasar keuangan global. Pasar masih menantikan langkah-langkah yang akan diambil oleh Trump setelah pelantikannya pada 20 Januari 2025 mendatang.

Salah satu kebijakan yang mungkin diambil adalah pemotongan tarif pajak perusahaan di AS, yang berpotensi memicu fluktuasi tinggi di pasar keuangan.

Fikri menilai, kebijakan Trump tersebut dapat membatasi penurunan inflasi di AS pada tahun 2025. Dengan inflasi yang tidak turun signifikan, pengurangan suku bunga oleh The Fed mungkin tidak sebesar yang diharapkan pasar. Jika Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Inggris (BoE) memotong suku bunga lebih agresif, dolar AS diperkirakan akan tetap kuat.

Fikri memperkirakan bahwa meskipun The Fed kemungkinan akan memangkas suku bunga pada tahun 2025, penurunan tersebut tidak akan sebesar ekspektasi pasar, yang sebesar 100 basis poin. Ia memperkirakan The Fed hanya akan memangkas sekitar 50-75 basis poin.

Hal ini berimbas pada kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI), yang diperkirakan juga akan lebih berhati-hati.

“BI mungkin akan mengikuti The Fed dan memangkas suku bunga sekitar 25 basis poin pada akhir tahun 2024, namun jika depresiasi rupiah berlanjut, BI bisa menahan suku bunga di level 6 persen,” kata Fikri, Minggu, 15 Desember2024.

Fikri juga mencatat bahwa ketidakpastian kebijakan AS, yang disertai dengan ekspektasi penguatan dolar AS, berpotensi menyebabkan aliran dana keluar (capital outflow) dari pasar keuangan Indonesia. Hal ini dapat mempengaruhi pasar saham dan obligasi domestik, dengan yield Surat Utang Negara (SUN) yang sudah bergerak di atas 7 persen. Selain itu, nilai tukar rupiah juga tercatat menguat tipis di atas Rp16.000 per dolar AS pada Jumat, 13 Desember kemarin.

Pelemahan yield obligasi dan mata uang domestik ini, menurut Fikri, juga bisa dipicu oleh penerbitan SUN dalam jumlah besar pada tahun depan.

“Jika penerbitan obligasi tidak terserap dengan baik di pasar, yield obligasi dapat meningkat, yang menunjukkan adanya tekanan pasar,” ujarnya.

Fikri menyarankan solusi untuk mengatasi hal tersebut dengan diversifikasi mata uang dalam penerbitan obligasi. Selain dolar AS dan euro, Bank Indonesia (BI) mungkin dapat mempertimbangkan penerbitan obligasi dalam mata uang lain, seperti riyal Arab Saudi, untuk membuka pasar baru.

“Diversifikasi mata uang dan pasar pembeli obligasi akan membantu memperkecil ketergantungan pada dolar AS dan meningkatkan daya tarik obligasi Indonesia di pasar internasional,” ujarnya.

Prospek Rupiah dan Yield SUN pada 2025

Menurut Fikri, meskipun ada beberapa faktor positif seperti penurunan suku bunga The Fed dan BI, rupiah masih berpotensi melemah pada tahun 2025, dengan proyeksi bergerak di kisaran Rp16.000-Rp16.100 per dolar AS. Hal ini dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan ekonomi AS, defisit transaksi berjalan Indonesia yang berlanjut, serta rendahnya minat asing terhadap instrumen investasi domestik, meskipun berbagai upaya seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) telah dilakukan.

Sementara itu, yield SUN tenor 10 tahun diperkirakan akan berada di kisaran 6,5 persen pada tahun depan. Jika ketidakpastian terkait kebijakan Trump mereda, imbal hasil obligasi dapat turun atau menguat sesuai dengan perubahan kondisi pasar.

Fikri juga mengingatkan bahwa meskipun beberapa sentimen mungkin mendukung pasar, ketidakpastian tetap ada. Pelantikan Donald Trump pada 20 Januari 2025 dan kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh Menteri Keuangan AS yang baru, Scott Bessent, akan menjadi faktor penting yang harus dipantau.

“Kita harus menunggu dan melihat apa kebijakan yang akan diambil oleh Trump dan Menteri Keuangan AS, yang diharapkan dapat memberikan stabilitas bagi pasar keuangan global,” pungkasnya.

Menkeu Sri Mulyani Waspadai Kebijakan Trump

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden A) dapat menciptakan dinamika baru yang berpotensi memengaruhi kebijakan fiskal dan perekonomian global.

Menurut Sri Mulyani, meskipun kebijakan Trump kemungkinan besar akan serupa dengan masa jabatan pertamanya, tapi kali ini bisa lebih cepat diterapkan dan berdampak lebih luas. Salah satunya adalah kebijakan pemotongan pajak korporasi yang bersifat populis, namun di sisi lain juga berpotensi mengurangi berbagai manfaat yang diterima masyarakat. Hal ini, kata Sri Mulyani, pada gilirannya dapat memengaruhi keseimbangan fiskal AS.

“Di satu sisi, kebijakan ini populis karena memotong pajak korporasi, tetapi di sisi lain juga akan mengurangi banyak manfaat yang dinikmati masyarakat. Oleh karena itu, dampaknya terhadap keseimbangan fiskal AS masih perlu diamati,” ujar Sri dalam konferensi pers APBN KiTA di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.

Mantan pejabat Bank Dunia (World Bank) ini juga mengingatkan bahwa kebijakan Trump terkait imigrasi, hubungan dengan Rusia, serta perubahan sikap AS terhadap isu perubahan iklim dapat meningkatkan ketegangan internasional.

Sebelumnya, Trump telah mengancam akan mengenakan tarif hingga 100 persen terhadap negara-negara BRICS yang dianggap mengancam dominasi dolar AS, serta berencana menaikkan tarif impor dari China sebesar 60 persen.

Selain itu, Sri Mulyani juga menggarisbawahi potensi dampak kebijakan fiskal Trump terhadap pasar global, terutama terkait dengan defisit fiskal AS yang terus meningkat.

Meskipun kebijakan Trump dapat mendongkrak pasar saham, peningkatan defisit dan utang negara AS dapat membebani perekonomian negara tersebut.

Kenaikan imbal hasil obligasi AS sebagai dampak dari defisit fiskal yang terus membengkak juga mempengaruhi pasar global, termasuk yield US Treasury.

“Ini tentu memengaruhi perekonomian dunia secara keseluruhan,” kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga menyoroti ketidakpastian yang muncul di pasar komoditas, khususnya minyak, yang dapat terpengaruh oleh kebijakan Trump dalam sektor energi dan komitmennya terhadap perubahan iklim. Ia mengingatkan bahwa ketidakpastian lainnya, seperti gangguan rantai pasokan akibat ketegangan geopolitik serta embargo ekspor chip, juga dapat menambah ketidakpastian dalam aliran barang di pasar global.

“Ketidakpastian ini menciptakan dampak besar terhadap aliran barang dan kestabilan pasar,” jelasnya.

Penurunan Bunga The Fed

Soal kebijakan tarif impor tinggi yang rencananya akan diterapkan Donald Trump, menurut Sri Mulyani, berpotensi menahan penurunan inflasi AS.

Kenaikan harga akibat kebijakan tersebut dapat memengaruhi kestabilan ekonomi global, terutama melalui dampaknya terhadap suku bunga dan aliran modal internasional.

“Inflasi yang sebelumnya diperkirakan akan menurun, kini terhambat karena kebijakan tarif yang menyebabkan kemungkinan kenaikan harga. Hal ini pada gilirannya akan menahan penurunan inflasi di Amerika Serikat,” jelas Sri Mulyani.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyatakan, bahwa kebijakan fiskal dan moneter AS, yang dipengaruhi oleh kebijakan tarif, menimbulkan ketidakpastian terkait dengan penurunan suku bunga acuan Federal Reserve (Fed Funds Rate). Meskipun pasar sebelumnya memperkirakan adanya penurunan suku bunga, kebijakan tarif yang menghambat penurunan inflasi membuat prediksi tersebut semakin tidak pasti.

“Dengan demikian, masa depan penurunan Fed Funds Rate menjadi dipertanyakan. Apakah suku bunga akan turun? Jika iya, seberapa cepat? Ini akan menghambat perekonomian global dan mempengaruhi aliran modal internasional,” jelasnya.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, memproyeksikan bahwa Federal Reserve hanya akan menurunkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun 2025.

Sebelumnya, ia memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga hingga empat kali pada tahun tersebut. Namun, meningkatnya inflasi global dan kebijakan tarif impor tinggi yang diusung Trump telah mempengaruhi proyeksi tersebut.

“Inflasi global yang terus meningkat, ditambah dengan rencana peningkatan tarif impor yang tinggi oleh Trump, menjadi faktor pemicu. Oleh karena itu, kami perkirakan The Fed hanya akan menurunkan suku bunga dua kali pada 2025,” ujar Perry dalam Seminar ‘KAFEGAMA: Menuju Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju,’ Sabtu, 14Desember 2024. (*)