Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Sri Mulyani Waspadai Kebijakan Trump, Ancam Ekonomi Indonesia

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 15 December 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Sri Mulyani Waspadai Kebijakan Trump, Ancam Ekonomi Indonesia

KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dapat menciptakan dinamika baru yang berpotensi memengaruhi kebijakan fiskal dan perekonomian global.

Menurut Sri Mulyani, meskipun kebijakan Trump kemungkinan besar akan serupa dengan masa jabatan pertamanya, tapi kali ini bisa lebih cepat diterapkan dan berdampak lebih luas. Salah satunya adalah kebijakan pemotongan pajak korporasi yang bersifat populis, namun di sisi lain juga berpotensi mengurangi berbagai manfaat yang diterima masyarakat. Hal ini, kata Sri Mulyani, pada gilirannya dapat memengaruhi keseimbangan fiskal AS.

“Di satu sisi, kebijakan ini populis karena memotong pajak korporasi, tetapi di sisi lain juga akan mengurangi banyak manfaat yang dinikmati masyarakat. Oleh karena itu, dampaknya terhadap keseimbangan fiskal AS masih perlu diamati,” ujar Sri dalam konferensi pers APBN KiTA di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.

Mantan pejabat Bank Dunia (World Bank) ini juga mengingatkan bahwa kebijakan Trump terkait imigrasi, hubungan dengan Rusia, serta perubahan sikap AS terhadap isu perubahan iklim dapat meningkatkan ketegangan internasional.

Sebelumnya, Trump telah mengancam akan mengenakan tarif hingga 100 persen terhadap negara-negara BRICS yang dianggap mengancam dominasi dolar AS, serta berencana menaikkan tarif impor dari China sebesar 60 persen.

Selain itu, Sri Mulyani juga menggarisbawahi potensi dampak kebijakan fiskal Trump terhadap pasar global, terutama terkait dengan defisit fiskal AS yang terus meningkat.

Meskipun kebijakan Trump dapat mendongkrak pasar saham, peningkatan defisit dan utang negara AS dapat membebani perekonomian negara tersebut.

Kenaikan imbal hasil obligasi AS sebagai dampak dari defisit fiskal yang terus membengkak juga mempengaruhi pasar global, termasuk yield US Treasury.

“Ini tentu memengaruhi perekonomian dunia secara keseluruhan,” kata Sri Mulyani.

Sri Mulyani juga menyoroti ketidakpastian yang muncul di pasar komoditas, khususnya minyak, yang dapat terpengaruh oleh kebijakan Trump dalam sektor energi dan komitmennya terhadap perubahan iklim. Ia mengingatkan bahwa ketidakpastian lainnya, seperti gangguan rantai pasokan akibat ketegangan geopolitik serta embargo ekspor chip, juga dapat menambah ketidakpastian dalam aliran barang di pasar global.

“Ketidakpastian ini menciptakan dampak besar terhadap aliran barang dan kestabilan pasar,” jelasnya.

Penurunan Bunga The Fed

Soal kebijakan tarif impor tinggi yang rencananya akan diterapkan Donald Trump, menurut Sri Mulyani, berpotensi menahan penurunan inflasi AS.

Kenaikan harga akibat kebijakan tersebut dapat memengaruhi kestabilan ekonomi global, terutama melalui dampaknya terhadap suku bunga dan aliran modal internasional.

“Inflasi yang sebelumnya diperkirakan akan menurun, kini terhambat karena kebijakan tarif yang menyebabkan kemungkinan kenaikan harga. Hal ini pada gilirannya akan menahan penurunan inflasi di Amerika Serikat,” jelas Sri Mulyani.

Lebih lanjut, Sri Mulyani menyatakan, bahwa kebijakan fiskal dan moneter AS, yang dipengaruhi oleh kebijakan tarif, menimbulkan ketidakpastian terkait dengan penurunan suku bunga acuan Federal Reserve (Fed Funds Rate). Meskipun pasar sebelumnya memperkirakan adanya penurunan suku bunga, kebijakan tarif yang menghambat penurunan inflasi membuat prediksi tersebut semakin tidak pasti.

“Dengan demikian, masa depan penurunan Fed Funds Rate menjadi dipertanyakan. Apakah suku bunga akan turun? Jika iya, seberapa cepat? Ini akan menghambat perekonomian global dan mempengaruhi aliran modal internasional," jelasnya.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, memproyeksikan bahwa Federal Reserve hanya akan menurunkan suku bunga sebanyak dua kali pada tahun 2025.

Sebelumnya, ia memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga hingga empat kali pada tahun tersebut. Namun, meningkatnya inflasi global dan kebijakan tarif impor tinggi yang diusung Trump telah mempengaruhi proyeksi tersebut.

“Inflasi global yang terus meningkat, ditambah dengan rencana peningkatan tarif impor yang tinggi oleh Trump, menjadi faktor pemicu. Oleh karena itu, kami perkirakan The Fed hanya akan menurunkan suku bunga dua kali pada 2025,” ujar Perry dalam Seminar ‘KAFEGAMA: Menuju Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju,’ Sabtu, 14Desember 2024.

Pasar Saham Tertekan

Untuk diketahui, November 2024 menjadi bulan yang cukup berat bagi pasar saham Indonesia, yaitu terjadi penurunan signifikan yang terjadi. Indeks utama pasar saham Indonesia mengalami tekanan, turun 6,07 persen atau berada level 7.114,27 per 29 November 2024.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penurunan pasar saham tersebut dipengaruhi oleh kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan meskipun pasar saham melemah, pihaknya tetap akan memantau dampak kebijakan Trump yang diperkirakan akan memengaruhi perekonomian Indonesia di tahun depan.

“Pasar saham domestik per akhir November 2024 melemah 6,07 persen month to date (MtD), mencapai level 7.114,27. Secara year to date (YtD), turun 2,18 persen,” kata Inarno dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK, Jumat, 13 Desember 2024.

Secara keseluruhan, kapitalisasi pasar saham Indonesia turun 5,48 persen mtd, meskipun secara tahunan mengalami kenaikan 2,87 persen. Investor asing tercatat melakukan net sell sebesar Rp16,81 triliun, meskipun secara tahunan mereka masih tercatat net buy senilai Rp21,6 triliun.

Di kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar juga mengungkapkan bahwa pelemahan pasar saham Indonesia dipengaruhi oleh kemenangan Trump.

“Investor cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang, yang menyebabkan pelemahan mayoritas pasar emerging market, baik di saham, obligasi, maupun nilai tukar,” ujar Mahendra.

Mahendra menambahkan bahwa kemenangan Trump dan Partai Republik meningkatkan ketegangan dalam perang dagang global, ditambah dengan ketidakstabilan geopolitik di beberapa kawasan, terutama Timur Tengah. Penguatan sektor tenaga kerja dan permintaan domestik AS juga turut memperburuk situasi.

Situasi ini mendorong bank sentral global untuk lebih berhati-hati dalam melonggarkan kebijakan moneternya, sehingga ekspektasi terhadap terminal rate suku bunga pun meningkat.

“Di tengah ketegangan geopolitik yang masih tinggi dan potensi dampak rencana proteksionisme perdagangan yang akan dijalankan oleh pemerintahan Trump, OJK terus mencermati perkembangan terkini dan dampaknya terhadap sektor jasa keuangan domestik,” ujar Mahendra. (*)