Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kebijakan Pajak Trump: Ambisius dan Serba tidak Pasti

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 15 December 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Kebijakan Pajak Trump: Ambisius dan Serba tidak Pasti

KABARBURSA.COM - Menghadapi tahun 2025, terdapat ketidakpastian terkait kebijakan pajak di Amerika Serikat. Presiden terpilih Donald Trump kembali mengusung rencana ekonomi yang ambisius, tetapi pembahasan ini belum menghasilkan keputusan pasti. Meskipun begitu, pelajaran dari Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Pekerjaan (Tax Cuts and Jobs Act/TCJA) 2017 bisa menjadi panduan bagi para investor dan pembayar pajak dalam menghadapi perubahan pajak mendatang.

Reformasi Pajak 2017

Reformasi TCJA 2017 memberikan sejumlah perubahan besar bagi individu dan bisnis. Peraturan ini memperkenalkan pengurangan tarif pajak, peningkatan standar pengurangan, kredit pajak anak yang lebih besar, dan pembebasan pajak warisan yang lebih tinggi. Namun, manfaat tersebut hanya berlaku hingga 2025, kecuali Kongres memperpanjangnya.

Selama kampanye, Trump berjanji untuk mempermanenkan reformasi pajak ini, sekaligus mengusulkan kebijakan baru, seperti penghapusan pajak untuk tip, pajak manfaat Jaminan Sosial bagi lansia, dan pencabutan batas pengurangan pajak SALT (state and local tax) sebesar USD10.000.

Namun, anggaran defisit federal menjadi tantangan utama bagi proposal ini. Situasi ini memaksa para investor dan wajib pajak untuk bersiap menghadapi skenario perubahan pajak yang kompleks dan tidak menentu.

Strategi Pajak Sebelum 2025

TCJA menciptakan peluang strategi pajak sebelum aturan baru berlaku. Misalnya, pada akhir 2017, banyak pembayar pajak dengan penghasilan tinggi di negara bagian dengan pajak tinggi, seperti California, New Jersey, dan New York, melakukan pembayaran pajak properti atau pajak penghasilan negara bagian lebih awal. Tujuannya adalah untuk memanfaatkan pengurangan pajak sebelum diberlakukannya batas maksimum SALT sebesar USD10.000.

Dengan berulangnya potensi reformasi besar seperti 2017, para ahli pajak menyarankan agar pembayar pajak bersiap dengan strategi serupa tetapi menunda keputusan final hingga legislasi ditetapkan secara resmi.

Perencanaan Warisan dan Pajak

Salah satu isu krusial adalah batas pengecualian pajak warisan dan hadiah yang meningkat menjadi USD13,99 juta per individu pada 2025. Jika tidak diperpanjang, batas ini akan kembali ke level tahun 2017, disesuaikan dengan inflasi.

Menurut Ryan Losi, pakar pajak di Piascik CPA, mereka yang memiliki aset di atas ambang batas pengecualian sebaiknya berkonsultasi dengan pengacara dan merencanakan strategi untuk meminimalkan pajak warisan. Kongres yang didominasi Republik mungkin lebih berpeluang memperpanjang batas pengecualian ini, meskipun ketidakpastian tetap ada.

Belajar dari Proses 2017

Saat TCJA diberlakukan pada Desember 2017, waktu penyesuaian sebelum 1 Januari 2018 sangat singkat. Banyak penasihat pajak menghadapi kebingungan dalam menginterpretasi aturan baru, seperti kalkulasi untuk potongan pendapatan usaha (qualified business income deduction) sebesar 20 persen untuk bisnis pass-through.

Ketidakjelasan ini sering kali membutuhkan arahan lanjutan dari IRS, menambah tantangan bagi pelaku usaha dan penasihat keuangan.

Antisipasi di Tengah Ketidakpastian

Bagi pembayar pajak dan investor, fleksibilitas menjadi kunci menghadapi ketidakpastian kebijakan. Menurut para ahli, keputusan strategis sebaiknya dilakukan berdasarkan regulasi yang sudah berlaku saat ini. Namun, persiapan tetap diperlukan untuk menyesuaikan langkah ketika kebijakan baru diberlakukan.

Jika belajar dari tahun 2017, legislasi besar sering kali diikuti dengan perubahan mendadak menjelang akhir tahun, yang disebut oleh para pakar sebagai "kejutan akhir tahun." Oleh karena itu, perencanaan yang cermat dan konsultasi dengan penasihat keuangan menjadi sangat penting di tengah ketidakpastian ini.

Indonesia Waspadai Trump

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan akan potensi disrupsi atau hambatan dalam perdagangan global terkait dengan komitmen Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif bea masuk dan pajak yang lebih tinggi. Kondisi ini muncul di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih sangat dinamis.

“Kita tidak bisa mengharapkan adanya perbaikan di sisi politik global. Dengan terpilihnya Presiden Trump, banyak dinamika baru terkait kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahannya,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers APBN KiTa di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa dalam periode kedua kepemimpinannya, Trump telah beberapa kali mengancam untuk mengenakan tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS seperti Brasil dan India, serta tarif 60 persen terhadap China.

“Tarif perdagangan ini menjadi instrumen yang digunakan dalam persaingan politik dan ketegangan global, yang tentunya akan berdampak langsung pada perekonomian dunia,” ungkapnya.

Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini menilai kebijakan Trump berpotensi memicu sentimen positif bagi pasar keuangan AS, yang dapat menyebabkan lonjakan pasar saham. Namun, di sisi lain, kenaikan utang AS juga berimbas pada pasar obligasi yang semakin meningkat.

“Seharusnya kita mengharapkan pasar saham naik dan yield AS turun, namun yang terjadi adalah yield US Treasury justru naik, seiring dengan meningkatnya defisit fiskal AS. Ini tentu memengaruhi perekonomian global,” jelas Sri Mulyani.

Lebih lanjut, kondisi ini diperkirakan akan berdampak pada inflasi dan suku bunga di AS. Sri Mulyani menyatakan bahwa kemungkinan penurunan Fed Fund Rate akan tertahan, mengingat kebijakan tarif dapat menyebabkan kenaikan harga-harga.

“Karena kebijakan tarif ini, inflasi di AS kemungkinan akan tetap tinggi, yang membuat masa depan penurunan Fed Fund Rate menjadi dipertanyakan, dan jika penurunan itu terjadi, seberapa cepat hal tersebut akan terwujud,” terangnya.(*)