Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kemnaker Ungkap 6 Provinsi Belum Tetapkan Kenaikan UMP

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 12 December 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Kemnaker Ungkap 6 Provinsi Belum Tetapkan Kenaikan UMP

KABARBURSA.COM - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengumumkan adanya keterlambatan dalam penetapan upah minimum di enam provinsi Indonesia untuk tahun 2025. Padahal, berdasarkan peraturan pemerintah, seluruh provinsi diwajibkan mengumumkan kenaikan upah minimum paling lambat tanggal 11 Desember.

Berdasarkan data terakhir pada Rabu, 11 Desember 2024, pukul 20.45 WIB, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Kemnaker melaporkan bahwa enam provinsi belum menyelesaikan proses penetapan upah minimum provinsi untuk tahun 2025.

“Ada 6 Provinsi yang belum menetapkan UMP dan UMSP yaitu NTT, NTB, Sulawesi Utara, Papua Pegunungan, Papua Barat, Papua Selatan,” kata Indah seperti dalam pernyataannya di Jakarta, Kamis 12 Desember 2024.

Indah menambahkan bahwa semua provinsi yang telah melaporkan kenaikan UMP telah mengikuti ketentuan kenaikan sebesar 6,5 persen. "Semua provinsi naik 6,5 persen untuk UMP 2025, naik 6,5 persen dari UMP 2024-nya,” tambahnya.

Untuk diketahui, kenaikan UMP tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024, yakni; seluruh provinsi diwajibkan mengumumkan upah minimum provinsi dan sektoral paling lambat 11 Desember 2024.

Sementara itu, batas akhir penetapan upah minimum untuk tingkat kabupaten/kota adalah tanggal 18 Desember 2024. Semua kenaikan upah minimum yang telah ditetapkan akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Besaran kenaikannya telah ditentukan sebesar 6,5 persen.

Besaran kenaikan upah ditentukan berdasarkan beberapa faktor, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, serta peran tenaga kerja dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi. Dalam perhitungannya, pemerintah juga mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan perusahaan dan pekerja.

Berpotensi Menjadi “Bom Waktu”

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin, mengkritisi kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 yang hanya sebesar 6,5 persen. Ia menilai, kebijakan ini berpotensi menjadi “bom waktu” bagi perekonomian Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Hanif menjelaskan bahwa kenaikan UMP yang tidak signifikan dibandingkan kebutuhan hidup layak (KHL) dapat menciptakan dampak berantai yang negatif. Dalam jangka pendek, ia mencatat ketidaksesuaian kenaikan UMP dengan inflasi serta kenaikan harga kebutuhan pokok.

“Upah buruh praktis tidak meningkat secara substansial. Kenaikan ini tidak cukup untuk mengimbangi inflasi dan lonjakan harga kebutuhan pokok. Akibatnya, konsumsi domestik tidak akan terdongkrak, yang berarti roda perekonomian di level akar rumput pun terhambat,” ujar Hanif kepada Kabarbursa.com, Jumat, 6 Desember 2024.

Hanif menilai, dampak jangka panjang dari kebijakan ini bahkan lebih mengkhawatirkan. Salah satunya adalah ancaman stabilitas ketenagakerjaan nasional. Menurutnya, pengusaha yang merasa terbebani dengan kondisi ekonomi saat ini dapat memilih langkah efisiensi berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Risiko besar di masa depan adalah semakin banyaknya pekerja yang kehilangan pekerjaan, sementara lapangan kerja layak kian menyempit. Ini akan mengancam stabilitas ketenagakerjaan nasional,” ungkap Hanif.

Ia menambahkan, situasi ini akan semakin memperburuk preseden kebijakan di mata publik. Kebijakan kenaikan UMP yang minim, disertai dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan, justru menambah beban kelas menengah ke bawah.

“Rakyat menengah ke bawah akan merasa kebijakan ini tidak berpihak kepada mereka. Sementara itu, kelas atas justru menerima pengampunan pajak pada 2025. Kepercayaan publik terhadap pemerintah bisa semakin menurun jika pola kebijakan seperti ini terus berlanjut,” tambahnya.

Hanif mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengevaluasi kebijakan ekonomi yang langsung berdampak pada kesejahteraan rakyat. Ia menekankan pentingnya kebijakan yang lebih inklusif untuk menyeimbangkan kebutuhan buruh dan pengusaha.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan fiskal seperti subsidi langsung kepada buruh untuk menutupi kesenjangan KHL. Selain itu, insentif kepada pengusaha harus diprioritaskan agar mereka tidak terbebani dengan kenaikan UMP. Langkah ini dapat mencegah PHK massal,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hanif merekomendasikan agar pemerintah melakukan reformasi kebijakan pajak yang lebih adil.

“Pemerintah sebaiknya fokus mempersempit kesenjangan dengan memungut pajak lebih progresif dari kelas atas, bukan membebani rakyat kecil dengan kenaikan PPN,” tegasnya.

Kenaikan UMP 6,5 persen yang seharusnya menjadi kabar baik bagi buruh kini justru menjadi sorotan berbagai pihak. Dengan risiko yang mengintai di sektor konsumsi, ketenagakerjaan, dan kepercayaan publik, pemerintah diharapkan segera mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak kebijakan ini.

Langkah-Langkah Alternatif

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia hasil Musyawarah Luar Biasa (Munaslub), Anindya Bakrie, meminta pengusaha untuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan menyusul kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen yang akan berlaku mulai 2025.

Anindya menekankan pentingnya langkah-langkah alternatif agar kebijakan kenaikan UMP tidak menyebabkan peningkatan angka pengangguran akibat PHK.

“Kami berharap perusahaan melakukan segala cara untuk menghindari PHK,” kata Anindya Bakrie dalam jumpa pers usai Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Kadin 2024 di Jakarta, Minggu, 1 November 2024.

Menurut dia, PHK merupakan opsi terakhir bagi pengusaha, karena dampaknya yang memperburuk kondisi ekonomi dengan menambah jumlah masyarakat yang kehilangan pendapatan.

Kadin juga menyoroti pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) oleh pemerintah. Anindya berharap satgas tersebut bisa bekerja sama dengan dunia usaha untuk mencari solusi agar PHK dapat dihindari.

“Kami ingin melihat bagaimana Satgas ini bekerja, karena yang melakukan PHK adalah dunia usaha, baik itu BUMN, koperasi, atau swasta,” katanya.

Meski demikian, Anindya mengakui bahwa kondisi perusahaan tidak selalu seragam. Beberapa pengusaha mungkin menghadapi tekanan berat dalam menyeimbangkan kelangsungan bisnis dan kesejahteraan karyawan. Namun, ia tetap berharap perusahaan dapat menemukan langkah inovatif untuk menghindari keputusan sulit seperti PHK.

Sebagai organisasi yang mewadahi pelaku usaha, Kadin terus mendorong pengusaha untuk berpikir jangka panjang.(*)