KABARBURSA.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan akan potensi disrupsi atau hambatan dalam perdagangan global terkait dengan komitmen Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengenakan tarif bea masuk dan pajak yang lebih tinggi. Kondisi ini muncul di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih sangat dinamis.
“Kita tidak bisa mengharapkan adanya perbaikan di sisi politik global. Dengan terpilihnya Presiden Trump, banyak dinamika baru terkait kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahannya,” kata Sri Mulyani dalam acara konferensi pers APBN KiTa di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa dalam periode kedua kepemimpinannya, Trump telah beberapa kali mengancam untuk mengenakan tarif 100 persen terhadap negara-negara BRICS seperti Brasil dan India, serta tarif 60 persen terhadap China.
“Tarif perdagangan ini menjadi instrumen yang digunakan dalam persaingan politik dan ketegangan global, yang tentunya akan berdampak langsung pada perekonomian dunia,” ungkapnya.
Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini menilai kebijakan Trump berpotensi memicu sentimen positif bagi pasar keuangan AS, yang dapat menyebabkan lonjakan pasar saham. Namun, di sisi lain, kenaikan utang AS juga berimbas pada pasar obligasi yang semakin meningkat.
“Seharusnya kita mengharapkan pasar saham naik dan yield AS turun, namun yang terjadi adalah yield US Treasury justru naik, seiring dengan meningkatnya defisit fiskal AS. Ini tentu memengaruhi perekonomian global,” jelas Sri Mulyani.
Lebih lanjut, kondisi ini diperkirakan akan berdampak pada inflasi dan suku bunga di AS. Sri Mulyani menyatakan bahwa kemungkinan penurunan Fed Fund Rate akan tertahan, mengingat kebijakan tarif dapat menyebabkan kenaikan harga-harga.
“Karena kebijakan tarif ini, inflasi di AS kemungkinan akan tetap tinggi, yang membuat masa depan penurunan Fed Fund Rate menjadi dipertanyakan, dan jika penurunan itu terjadi, seberapa cepat hal tersebut akan terwujud,” terangnya.
Beberapa waktu lalu, Presiden AS terpilih, Donald Trump, menyatakan ia tak bisa menjamin kebijakan tarif terhadap mitra dagang utama AS tidak akan memengaruhi kenaikan harga barang.
Dia juga mengkritik tajam terhadap beberapa rival politik dan pejabat federal yang menurutnya layak dipenjara atas kasus hukum yang diarahkan padanya.
Selain itu, Trump berbicara tentang kebijakan moneter, imigrasi, aborsi, layanan kesehatan, hingga keterlibatan AS di Ukraina dan Israel. Namun, seperti biasa, Trump kerap menggabungkan pernyataan tegas dengan catatan pengaman di akhir.
“Segala sesuatu bisa berubah,” ujarnya, seperti dikutip Apnews, Senin, 9 Desember 2024.
Mengenai ancaman tarif perdagangan, Trump tidak sepenuhnya percaya dengan prediksi para ekonom yang mengatakan tarif impor akan membuat harga barang di AS melonjak. Namun, ia juga tidak memberikan jaminan bahwa masyarakat Amerika akan bebas dari dampak kenaikan harga tersebut.
“Saya tidak bisa menjamin apa pun. Bahkan saya tidak bisa menjamin untuk besok,” kata Trump, seolah mengakui bahwa tarif impor biasanya memang berdampak pada kenaikan harga barang di pasar.
Pernyataan ini cukup berbeda dengan retorikanya selama masa kampanye 2024. Ketika itu, Trump sering menyampaikan bahwa dirinya adalah solusi untuk menekan inflasi. Namun, dalam wawancara kali ini, dia tetap membela kebijakan tarif secara umum dan mengatakan, “Tarif akan membuat kita kaya.”
Trump juga berjanji, begitu resmi menjabat pada Januari nanti, ia akan langsung memberlakukan tarif 25 persen untuk semua barang impor dari Meksiko dan Kanada. Tarif ini berlaku jika kedua negara tersebut tidak segera menghentikan imigrasi ilegal dan aliran narkoba seperti fentanyl ke Amerika.
Selain itu, Trump juga mengancam akan memberlakukan tarif tambahan untuk China agar negara tersebut lebih serius dalam memberantas produksi fentanyl.
“Yang saya inginkan hanya lapangan permainan yang adil, cepat, tetapi juga setara,” tegasnya.
Meskipun Trump masih berpegang pada tarif sebagai instrumen penting, sikapnya mulai terlihat lebih realistis terhadap dampak kebijakan ini, terutama pada potensi kenaikan harga barang bagi konsumen Amerika. Dengan kata lain, masyarakat AS tampaknya harus bersiap-siap menghadapi kenaikan harga di pasar.
Sementara itu, China kembali pasang badan untuk menjaga ekonominya. Para pemimpin China mengisyaratkan kesiapannya untuk menggelontorkan segala stimulus yang diperlukan guna meredam dampak tarif dagang AS yang diprediksi akan memukul pertumbuhan ekonomi mereka tahun depan.
Dilansir dari Reuters, Selasa, 10 Desember 2024, pernyataan ini disampaikan usai digelarnya rapat Politbiro, sebuah forum para petinggi Partai Komunis China. Para pejabat mengumumkan pergeseran kebijakan ekonomi ke arah yang lebih longgar untuk moneter dan lebih agresif untuk fiskal negara. Ini adalah perubahan besar dari pendekatan yang selama ini penuh kehati-hatian oleh bank sentral China selama 14 tahun terakhir.
Selama periode kebijakan hati-hati itu, utang di berbagai sektor, termasuk pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan melonjak lebih dari lima kali lipat. Sementara itu, produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh sekitar tiga kali lipat.
Jarang sekali Politbiro secara gamblang menguraikan rencana kebijakan. Namun, perubahan pesan kali ini jelas menunjukkan bahwa China siap mengambil risiko utang yang lebih besar demi memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek.
“Dari sikap pruden ke pendekatan yang cukup longgar, ini perubahan besar. Ini memberikan ruang yang sangat luas untuk berbagai kemungkinan,” kata Kepala Ekonom Standard Chartered untuk China dan Asia Utara, Shuang Ding.
Menurut Profesor Ekonomi Terapan di Universitas Peking, Tang Yao, perubahan ini memang dibutuhkan. Pasalnya, perlambatan pertumbuhan justru akan memperberat beban pembayaran utang China.
Sementara itu, Christopher Beddor dari Gavekal Dragonomics, mengatakan, “Secara umum, mereka (China) telah menerima kenyataan bahwa rasio utang terhadap PDB akan terus meningkat.” Ia juga menegaskan bahwa utang kini bukan lagi pembatas bagi Beijing.
Namun, sejauh mana bank sentral akan melonggarkan kebijakan moneter atau berapa banyak utang yang siap diterbitkan oleh kementerian keuangan tahun depan masih menjadi tanda tanya. Meski demikian, fleksibilitas ini dinilai menguntungkan posisi Beijing. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.