Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Ekonomi Target 8 Persen di 2029, BKPM Fokus Hilirisasi dan Investasi Rp13.528 Triliun

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 11 December 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Ekonomi Target 8 Persen di 2029, BKPM Fokus Hilirisasi dan Investasi Rp13.528 Triliun

KABARBURSA.COM - Menteri Penanaman Modal/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Perkasa Roeslani, menegaskan pentingnya akselerasi hilirisasi dan investasi berkelanjutan dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Hal ini disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) bertema "Akselerasi Hilirisasi dan Investasi Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas".

Rosan menekankan bahwa tema Rakornas sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto untuk melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi demi meningkatkan nilai tambah ekonomi dalam negeri.

“Empat prioritas utama Presiden ke depan adalah ketahanan pangan, ketahanan energi, makanan bergizi gratis, dan hilirisasi,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) di Jakarta, Rabu, 11 Desember 2024.

Indonesia diproyeksikan mempertahankan pertumbuhan ekonomi stabil sebesar 5,1–5,2 persen pada 2025, menurut laporan East Asia and Pacific Economic Update dari World Bank yang dirilis Oktober 2024. Menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen pada 2028–2029.

Untuk mencapai target tersebut, Rosan menyebutkan bahwa sektor investasi akan menjadi motor utama. Selama lima tahun mendatang, rata-rata pertumbuhan investasi diperkirakan mencapai 16,75 persen per tahun. Total kebutuhan investasi diproyeksikan sebesar Rp13.528 triliun hingga 2029. Pada 2025 saja, target investasi mencapai Rp1.906 triliun dan akan meningkat secara bertahap hingga 2029.

“Ini tugas berat yang membutuhkan sinergi dan kolaborasi lintas kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah,” tegas Rosan.

Hingga September 2024, BKPM telah mencatatkan realisasi investasi sebesar Rp1.261,43 triliun, atau 76,45 persen dari target tahunan. Kontribusi investasi terbagi hampir merata antara Jawa (50,34 persen) dan luar Jawa (49,66 persen), dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 1.873.214 orang.

Rosan menegaskan bahwa penyerapan tenaga kerja berkualitas dan berkelanjutan merupakan salah satu prioritas utama. “Hilirisasi tidak hanya meningkatkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga menciptakan lapangan kerja yang lebih baik,” pungkasnya.

Mendorong Industri Nasional

Direktur Program Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menyoroti salah satu poin utama dalam program 8 Asta Cita Prabowo, yaitu upaya mendorong industri nasional melalui proses hilirisasi selama periode 2024-2029. Namun, apakah hilirisasi benar-benar dapat mengubah wajah ekonomi Indonesia yang masih bertumpu pada komoditas menjadi negara industri yang tangguh?

Menurut Eisha, hilirisasi, meskipun mulai digencarkan di ranah kebijakan, masih kurang mendapat perhatian di ranah akademik internasional sebagai strategi kunci transformasi ekonomi.

“Hilirisasi sebetulnya jika dilihat pada academic paper di jurnal-jurnal internasional masih sedikit sekali, atau kurang dipakai untuk melihat perubahan ekonomi satu negara dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasi peran manufaktur yang tinggi,” kata Eisha dalam diskusi publik tentang ‘Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo’ Minggu, 22 September 2024.

Sebaliknya, istilah industrialisasi lebih sering dipakai untuk menggambarkan bagaimana negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) mampu mencapai status negara maju melalui industrialisasi besar-besaran.

“Istilah Industrialiasi lebih banya dipakai untuk mengukur satu negara yang masuk ke negara maju,” ujarnya.

Sayangnya, di Indonesia, industrialisasi seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tertinggal di masa lalu.

Indonesia sebenarnya pernah menikmati masa keemasan industrialisasi pada era Orde Baru, di mana pertumbuhan industri manufaktur mencapai 8 hingga 9 persen setiap tahunnya antara 1989 hingga 1996.

Industri manufaktur kala itu menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi, menyumbang hingga 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Pada 1989 dari 19 persen terus meningkat menjadi 25 persen, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu,” jelas Eisha.

Namun, pada dekade terakhir menunjukkan tren yang jauh berbeda. Pada 2023, kontribusi sektor industri hanya tumbuh 18 persen, sebuah kemunduran tajam dibandingkan dengan era 80-an.

Dia menyebut fenomena ini sebagai deindustrialisasi dini, di mana sektor industri mengalami penurunan sebelum sempat mencapai potensi maksimalnya.

“Hal itu (pertumbuhan industri manufaktur)  salah satu titik cukup rendah dibandingkan prestasi di tahun 80-an. Seolah-olah kembali terjadi de-industrialisasi dini,” tuturnya.

Menurut Eisha, Indonesia sedang terjebak dalam transisi menuju sektor jasa, tetapi tidak seperti negara-negara maju yang transisi tersebut ditopang oleh sektor jasa bernilai tinggi seperti teknologi, jasa keuangan, dan layanan digital.

Di Indonesia, sektor jasa masih didominasi oleh sektor informal yang rapuh dan kurang memberikan nilai tambah signifikan.

“Itu adalah gejala deindustrialisasi dini. Perubahan pada sektor jasa pun masih didominasi oleh sektor informal, yang rapuh,” imbuhnya.

Oleh karena itu, menurut Eisha, lebih baik jika pertumbuhan industri manufaktur tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Namun yang kini terjadi, pertumbuhan industri selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Maka peran konstribusi sektor industri akan terus tumbuh terhadap GDP.

Produk Berbasis Komoditas

Lebih lanjut dia mengatakan, masih ada kendala lainnya bagi sektor manufaktur untuk jadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini terkait ketergantungan industri manufaktur Indonesia yang masih bertumpu pada produk-produk berbasis komoditas. Sementara produk manufaktur medium hitech masih lebih rendah.

“Industri pengolahan kita masih bertumpu pada komoditas,” terangnya.

Produktivitas industri juga masih cukup rendah, dengan masalah tenaga kerja dan kapasitas SDM, itu menjadi tantangan tersendiri. Juga inovasi dan teknologi.

Lalu, masalah kawasan industri yang banyak dibangun tapi operasional, utilitas masih menjadi tantangan. Begitu pula infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk produk industri pengolahan, beserta penggunaan material saat ini masih tergantung impor.

“Produktivitas manufaktur kita terus menurun sejak 2010 dan menjadi semacam red light yang harus diperbaiki,” ungkapnya.

Produk manufaktur berbasis teknologi menengah hingga tinggi masih sangat rendah, hanya mencapai 37,32 persen.(*)