KABARBURSA.COM - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada impor pangan, dengan total impor pangan mencapai 30 juta ton.
Jumlah tersebut setara dengan produksi beras dalam negeri. Beberapa komoditas yang diimpor antara lain gula, beras, garam, terigu, dan kedelai.
"Indonesia sangat tergantung pada impor pangan, dengan total 30 juta ton yang hampir setara dengan produksi beras kita. Beberapa komoditas yang diimpor termasuk gula, beras, garam, terigu, dan kedelai,” kata Zulkifli Hasan dalam acara Indonesia ‘Marine and Fisheries’ di Hotel Raffles, Jakarta Selatan, Selasa, 10 Desember 2024.
Melihat kondisi tersebut, Zulkifli mengakui bahwa pencapaian target swasembada pangan pada 2027 tidak akan mudah. Ia mencontohkan bahwa kebijakan untuk swasembada beras sangat rumit karena melibatkan berbagai kementerian dan lembaga (K/L), seperti Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang bertanggung jawab atas pembangunan irigasi, serta Kementerian BUMN untuk penyediaan subsidi pupuk.
“Memang tidak mudah. Kebijakan swasembada pangan itu sangat rumit dan tersebar di berbagai sektor. Kami mencoba untuk menyederhanakan kebijakan-kebijakan ini agar dapat lebih cepat dilaksanakan untuk mencapai swasembada pangan,” tuturnya.
Sebagai langkah konkret, pihaknya telah menetapkan beberapa strategi, antara lain penentuan neraca komoditas pangan yang mempengaruhi impor dan ekspor, serta penyederhanaan alur distribusi pupuk subsidi yang sebelumnya melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah.
“Kini, pupuk disalurkan langsung oleh Menteri Pertanian kepada petani. Kami juga telah menyelesaikan sejumlah isu teknis dalam bidang penyuluhan yang sangat krusial. Meskipun ini teknis, kami harus menyelesaikannya dengan cepat karena kebijakan jangka pendek ini sangat penting untuk mencapai swasembada pangan pada 2027,” ungkap Zulhas.
Di kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Zulkifli Hasan memastikan ketersediaan stok pangan tetap terjamin di tengah ancaman cuaca ekstrem yang melanda Indonesia.
Ia menegaskan, produksi pangan tahun ini menunjukkan perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya, termasuk di sektor perikanan dan pertanian.
“Kami perkirakan tahun ini lebih baik dari tahun lalu, baik dari segi perikanan, pertanian, maupun produksi garam. PT Garam melaporkan stok garam konsumsi mencapai 883.000 ton. Untuk beras, stok di Perum Bulog mencapai 2 juta ton, ditambah dengan stok di masyarakat dan ritel, totalnya lebih dari 8,5 juta ton. Jadi, tidak perlu khawatir,” ujar Zulkifli Hasan.
Dia juga menyebut stok gula konsumsi saat ini mencapai 1,4 juta ton. Dengan produksi nasional yang diproyeksikan mencapai 2,6 juta ton pada 2025, ia optimistis Indonesia tidak perlu mengimpor gula konsumsi tahun depan.
“Selama Natal dan Tahun Baru (Nataru), stok pangan seperti beras, garam, daging ayam, telur, dan gula mencukupi. Tahun depan kita tidak impor gula konsumsi karena stok aman,” tegasnya.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini terkait cuaca ekstrem yang diperkirakan berlangsung hingga April 2025. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyebut fenomena La Nina lemah dapat meningkatkan curah hujan hingga 20 persen, terutama selama periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025.
“Cuaca ekstrem ini berpotensi berlangsung hingga Maret-April 2025 akibat pengaruh La Nina lemah,” jelas Dwikorita, Minggu, 8 Desember 2024.
Dengan kesiapan stok pangan yang memadai, pemerintah optimistis kebutuhan masyarakat selama cuaca ekstrem tetap dapat terpenuhi.
Selain itu, lanjut Zulkifli Hasan, pemerintah berencana menghentikan impor gula konsumsi mulai 2025. Untuk mewujudkan target tersebut, pemerintah akan mempelajari tata kelola pengembangan perkebunan tebu dari negara-negara seperti Vietnam, Thailand, Brasil, hingga Australia.
Menurut Zulhas, Brasil memiliki sistem tata kelola perkebunan tebu yang efisien dan terorganisasi dengan baik. Di negara tersebut, satu pabrik mampu mengelola hingga 100.000 hektare lahan tebu dengan pembagian hasil yang adil.
“Di Brasil, kebun tebunya mencapai 100.000 hektare untuk satu pabrik. Sistemnya bagus, 30 persen keuntungan digunakan untuk membayar sewa tanah, sementara 70 persen untuk perusahaan,” jelas Zulkifli.
Menurut dia, sistem serupa dapat diterapkan di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas gula. Ia menyoroti perbedaan kondisi di Indonesia, di mana perkebunan seperti sawit lebih banyak melibatkan masyarakat sebagai buruh. Oleh karena itu, pemerintah mulai mengadopsi model tata kelola berbasis bagi hasil melalui kolaborasi dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).
“Kami bekerja sama dengan PTPN untuk mengelola lahan rakyat. Lahan-lahan tebu rakyat dikonsolidasikan menjadi unit 50 hektare dan dikelola oleh satu generasi muda sebagai pengelola. Bagi hasilnya 70 persen untuk pemilik lahan dan 30 persen untuk PTPN. Manajemen dikelola PTPN, sementara keuangan akan didukung oleh perbankan,” jelas Zulhas.
Pemerintah optimistis produksi gula konsumsi domestik akan meningkat. Zulhas menargetkan produksi gula dalam negeri mencapai 2,6 juta ton pada 2025, naik dari 2,2 juta ton pada 2023 dan 2,4 juta ton pada 2024.
“Kami akan terus belajar dan mengembangkan model tata kelola ini agar target produksi tercapai dan Indonesia tidak lagi bergantung pada impor gula,” pungkas Zulkifli Hasan. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.