Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

China Longgarkan Kebijakan Moneter untuk Dongkrak Ekonomi di 2025

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 09 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
China Longgarkan Kebijakan Moneter untuk Dongkrak Ekonomi di 2025

KABARBURSA.COM - China mengumumkan akan mengadopsi kebijakan moneter yang longgar untuk tahun depan demi mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini dilaporkan langsung oleh media pemerintah China, Xinhua, pada Senin, 11 Desember 2024. Langkah ini menandai pergeseran kebijakan pelonggaran pertama sejak 2010.

Selain itu, kebijakan fiskal yang lebih proaktif juga akan diterapkan, disertai peningkatan langkah-langkah yang tidak konvensional untuk mengatasi siklus ekonomi. "China harus secara aktif mendorong konsumsi dan memperluas permintaan domestik di segala lini," tulis laporan Xinhua yang mengutip pertemuan Politbiro Partai Komunis, dikutip dari Reuters.

Pernyataan ini muncul menjelang Konferensi Kerja Ekonomi Pusat tahunan yang akan menetapkan target dan kebijakan utama untuk 2025. "Kebijakan fiskal yang lebih proaktif dan kebijakan moneter yang longgar secara tepat harus diimplementasikan, memperkuat alat kebijakan yang luar biasa dan memperbaiki penyesuaian kontra-siklus," tambah laporan itu.

Pertama Sejak 2010

Pergeseran ke arah pelonggaran ini adalah yang pertama kali sejak akhir 2010. Sebelumnya, China menerapkan kebijakan pelonggaran moneter secara tepat setelah krisis keuangan global 2008, sebelum beralih ke kebijakan prudent atau hati-hati pada akhir 2010.

Bank sentral China memiliki lima pendekatan kebijakan, yakni longgar, longgar secara tepat, prudent, ketat secara tepat, dan ketat. Masing-masing memiliki fleksibilitas bergantung pada kondisi ekonomi. Dengan kebijakan baru ini, China berupaya menjaga stabilitas sekaligus mendorong inovasi di tengah tantangan ekonomi global yang semakin kompleks.

Pelonggaran kebijakan moneter yang direncanakan China tahun depan tampaknya menjadi langkah strategis untuk menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Dengan inflasi yang terus melambat dan permintaan domestik yang masih lesu, langkah-langkah seperti kebijakan fiskal proaktif dan penyesuaian kontra-siklus diharapkan dapat mendongkrak konsumsi sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.

Pasalnya, realita di lapangan menunjukkan bahwa efek dari kebijakan yang ada sejauh ini belum cukup signifikan. Inflasi konsumen yang mencapai titik terendah dalam lima bulan terakhir pada November 2024 menjadi salah satu indikasinya. Ditambah lagi, tekanan deflasi di sektor pabrik terus berlanjut. Hal ini mempertegas pemulihan ekonomi China masih menghadapi jalan terjal.

Dilansir dari Reuters, Senin, 9 Desember 2034, Data dari Biro Statistik Nasional China (NBS) menunjukkan indeks harga konsumen (CPI) naik hanya 0,2 persen secara tahunan pada November 2024. Angka ini lebih rendah dibandingkan kenaikan 0,3 persen pada Oktober dan prediksi kenaikan 0,5 persen dalam jajak pendapat Reuters.

Secara bulanan, CPI turun 0,6 persen pada November, lebih tajam dari penurunan 0,3 persen pada Oktober dan proyeksi penurunan 0,4 persen. Statistisi NBS, Dong Lijuan, mengatakan penurunan bulanan ini dipicu oleh turunnya harga pangan sebesar 2,7 persen akibat faktor cuaca.

“Suhu rata-rata nasional pada November adalah yang tertinggi untuk periode serupa sejak 1961. Hal ini mendukung produksi dan transportasi hasil pertanian sehingga menekan harga pangan segar,” jelas Dong.

Deflasi Pabrik Berlanjut, Inflasi Inti Naik Tipis

Inflasi inti, yang mengecualikan harga makanan dan bahan bakar, naik tipis menjadi 0,3 persen pada November dari 0,2 persen pada Oktober.

Sementara itu, indeks harga produsen (PPI) turun 2,5 persen secara tahunan pada November. Meskipun penurunan ini lebih lambat dibandingkan penurunan 2,9 persen pada Oktober dan proyeksi penurunan 2,8 persen, deflasi di sektor pabrik telah berlangsung selama 26 bulan berturut-turut.

“Inflasi inti sedikit meningkat dan deflasi PPI mulai mereda yang menunjukkan bahwa langkah-langkah stimulus mendukung tekanan harga secara mendasar, meskipun belum cukup kuat. Kami memperkirakan kelebihan kapasitas akan terus menekan inflasi hingga 2025 dan seterusnya,” ujar Gabriel Ng, asisten ekonom di Capital Economics.

Pertumbuhan Ekonomi Masih Tertahan

Walaupun belanja rumah tangga meningkat dalam beberapa bulan terakhir–didorong oleh subsidi untuk kendaraan dan peralatan rumah tangga–hal ini belum cukup untuk membalikkan arah ekonomi China. Alih-alih menyuntikkan uang langsung ke pasar, Beijing mengumumkan paket utang sebesar 10 triliun yuan (sekitar USD1,37 triliun atau Rp21,79 triliun) pada November untuk meringankan beban pembiayaan pemerintah daerah.

Penasihat pemerintah China mendorong target pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen untuk 2025. Mereka meminta stimulus fiskal yang lebih kuat guna mengurangi dampak tarif baru Amerika Serikat terhadap ekspor China

Namun, prospek ekonomi China masih suram. Tantangan berupa tarif baru dari pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat dan sektor properti yang masih rapuh terus membayangi.

Fitch Ratings bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China untuk 2025 menjadi 4,3 persen dari 4,5 persen, sementara untuk 2026 menjadi 4,0 persen dari 4,3 persen. Penurunan ini disebabkan oleh risiko tarif AS yang lebih tinggi pada produk China.

Jadi, meskipun ada secercah perbaikan dari beberapa indikator, jelas ekonomi China masih menghadapi jalan terjal. Beijing perlu bertindak lebih agresif jika ingin menjaga ekonomi tetap bertumbuh dalam jangka panjang.(*)