Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Pemerintah harus Rinci Barang yang Terkena Kenaikan PPN 12 Persen

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 08 December 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Pemerintah harus Rinci Barang yang Terkena Kenaikan PPN 12 Persen

KABARBURSA.COM - Anggota Komisi XII DPR RI Rokhmat Ardiyan meminta pemerintah menjelaskan dan merinci barang-barang apa saja yang akan terkena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.

“Jangan sampai ada salah paham. Kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang mewah. Kebutuhan dasar masyarakat, seperti transportasi, pendidikan, dan kesehatan, tetap tidak akan mengalami kenaikan,” kata Rokhmat, Minggu, 8 Desember 2024.

Dengan begitu, lanjut Rokhmat, masyarakat tidak khawatir terkait rencana kenaikan tarif PPN yang direncanakan mulai Januari 2025.

Katanya, kebijakan kenaikan PPN sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan negara yang nantinya akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan nasional.

Rokhmat menyatakan dirinya mendukung langkah-langkah yang diambil oleh Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan kemajuan bagi bangsa Indonesia, termasuk salah satunya menaikkan tarif PPN untuk barang mewah.

Akan Berimbas pada Kebutuhan Pokok

Sementara itu, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menjelaskan bahwa definisi “barang mewah” yang digunakan pemerintah sering kali kabur dan dapat menimbulkan kerugian.

Barang seperti kendaraan bermotor premium, perhiasan, dan properti mahal memang termasuk kategori ini. Namun, inflasi dan kenaikan harga barang dapat menyebabkan barang kebutuhan sekunder, seperti ponsel atau laptop kelas menengah atas, turut terimbas.

“Barang yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan sekunder bisa saja masuk dalam kategori barang mewah seiring perubahan harga. Akibatnya, masyarakat menengah yang mengandalkan barang tersebut untuk bekerja atau belajar juga akan terbebani,” ujar Achmad, Minggu, 8 Desember 2024.

Achmad juga mengingatkan adanya efek domino dari kenaikan tarif PPN barang mewah ini. Peningkatan tarif pada kendaraan bermotor mewah, misalnya, dapat berdampak pada sektor pendukung seperti jasa perbaikan, asuransi, dan suku cadang. Biaya tambahan ini, menurutnya, sering kali dibebankan kepada konsumen menengah yang menggunakan layanan tersebut.

Hal serupa juga berlaku pada sektor properti. Properti mewah yang dikenakan pajak lebih tinggi dapat memengaruhi harga sewa, biaya perawatan, hingga harga bahan bangunan, yang ujung-ujungnya turut membebani masyarakat kecil.

“Kebijakan ini dapat secara tidak langsung melemahkan daya beli dan memengaruhi perekonomian sektor menengah ke bawah,” tambahnya.

Achmad juga menilai kebijakan ini berisiko memperlebar kesenjangan sosial dan digital. Kenaikan harga barang elektronik yang dianggap mewah, seperti laptop dan ponsel, dapat menyulitkan akses teknologi bagi masyarakat menengah ke bawah. Hal ini dapat menghambat mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut Achmad, kelompok menengah menjadi pihak yang paling rentan terhadap kebijakan ini. Mereka sering menggunakan produk atau jasa terkait barang mewah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, menyewa kendaraan premium untuk acara, membeli barang elektronik berkualitas untuk pekerjaan, atau menggunakan jasa hotel yang tarifnya naik akibat kenaikan pajak.

Selain itu, kelompok kecil yang bekerja di sektor pendukung barang mewah juga akan terdampak.

“Pekerja di sektor perhotelan, katering, hingga pedagang kecil di kawasan mewah bisa kehilangan pendapatan jika permintaan barang mewah menurun,” jelasnya.

Achmad mengusulkan beberapa langkah untuk membuat kebijakan ini lebih adil. Pertama, pemerintah perlu menetapkan definisi yang jelas tentang barang mewah agar tidak membebani barang yang menjadi kebutuhan masyarakat menengah.

Kedua, penerapan pajak progresif, di mana tarif meningkat sesuai dengan nilai barang. Ketiga, memberikan insentif bagi produsen lokal untuk menyediakan alternatif lebih terjangkau. Dan, keempat, memastikan pengawasan yang ketat agar tidak ada penyelewengan.

“Pajak harus menjadi alat untuk menciptakan keadilan sosial, bukan malah menambah beban bagi kelompok rentan,” pungkasnya.

UU HPP harus Direvisi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penerapan tarif PPN yang berbeda disesuaikan jenis barang merupakan pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia dan berpotensi membuat bingung masyarakat dan pelaku usaha.

“Selama ini, Indonesia mengenal skema PPN satu tarif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perbedaan tarif ini membuat proses administrasi lebih kompleks, terutama bagi pelaku usaha ritel yang menjual barang kena PPN dan PPnBM sekaligus,” ujar Bhima, Jumat, 6 Desember 2024.

Bhima juga menggarisbawahi perlunya pemerintah merinci definisi barang mewah yang akan dikenakan PPN 12 persen dalam aturan teknis, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Sementara, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, menekankan bahwa penerapan PPN multitarif memerlukan revisi UU HPP. Saat ini, UU tersebut hanya mengenal tarif tunggal sebesar 12 persen, yang berlaku untuk semua jenis transaksi barang terutang PPN.

“Jika pemerintah ingin menerapkan tarif multitarif, diperlukan revisi pasal-pasal terkait dalam UU HPP, terutama Pasal 4 dan Pasal 7. Proses ini dapat dilakukan melalui Perppu atau mekanisme legislasi normal,” jelas Prianto.

Pengamat dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menegaskan, tanpa revisi UU maka penerapan tarif multitarif PPN berisiko melanggar aturan hukum yang berlaku.

“Proses revisi undang-undang membutuhkan waktu, sementara kebijakan ini direncanakan berlaku dalam waktu kurang dari sebulan,” ujar Fajry.

Sebelumnya, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menyampaikan bahwa kebijakan ini merupakan hasil diskusi dengan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, baik pada barang mewah dalam negeri maupun impor, sehingga beban pajak hanya ditujukan kepada konsumen kelas atas.

“Pemerintah sedang mengkaji penerapan multitarif ini lebih mendalam untuk memastikan keadilan,” ujar Misbakhun di Istana Negara, Kamis, 5 Desember 2024. (*)