KABARBURSA.COM - Tahun 2025 diprediksi akan menjadi tahun dengan tatanan global yang baru, terutama bagi pertumbuhan pasar modal Indonesia. Perubahan besar ini tentu akan mempengaruhi hubungan bilateral dan multilateral antar negara, baik dengan pemerintahan yang baru maupun dengan para mitra dagang utama di dunia.
Dalam konteks ini, ekonomi global dan Indonesia akan menghadapi tantangan serta peluang yang besar, yang menciptakan potensi volatilitas dan dinamika di pasar keuangan.
Henan Putihrai Sekuritas melihat, salah satu fenomena utama yang diperkirakan akan terjadi adalah kembalinya perang dagang. Namun, harapannya, ketegangan ini akan lebih berupa persaingan ekonomi yang menggantikan ketegangan bersenjata yang sempat memanas di berbagai belahan dunia.
Ketegangan tersebut akan berpotensi mengubah alur perdagangan global, yang akan memberikan dampak langsung pada kawasan Asia, termasuk Indonesia. Dampak dari perang dagang ini diperkirakan akan mengalihkan rute perdagangan tradisional, yang dapat mengubah peta ekonomi dan strategi perdagangan negara-negara di kawasan ini.
Untuk Indonesia, pemerintah diharapkan akan menghadapi tantangan besar dalam merumuskan strategi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil di tengah ketidakpastian global.
Sementara itu, Indonesia tetap berpotensi mengalami pertumbuhan ekonomi sekitar 5,05 hingga 5,1 persen pada tahun 2025, meskipun sedikit lebih rendah dari proyeksi APBN 2025 yang mengharapkan pertumbuhan sebesar 5,2 persen.
Penopang utama ekonomi Indonesia di tahun 2025 diperkirakan datang dari belanja negara dan ekspansi sektor swasta yang berpotensi menciptakan lapangan kerja serta mendorong konsumsi domestik.
Inflasi, meskipun terkendali, diperkirakan akan berada sedikit lebih tinggi dari target pemerintah. Diperkirakan inflasi akan berkisar antara 2,6 hingga 2,7 persen, yang sedikit lebih tinggi dari asumsi dalam APBN yang sebesar 2,5 persen.
Peningkatan ini diprediksi berasal dari kenaikan upah dan ekspansi sektor swasta yang lebih cepat. Namun, secara umum, inflasi masih dianggap terkendali, yang memberikan ruang bagi pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Nilai tukar Rupiah diprediksi akan menguat menuju kisaran Rp15.300 per dolar AS, didorong oleh aliran dana masuk yang kuat, terutama seiring dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (7 days reverse repo rate) yang diperkirakan akan turun ke level 5 persen pada tahun 2025.
Penguatan mata uang ini diharapkan dapat mendukung stabilitas ekonomi Indonesia dan meningkatkan daya tarik investasi asing.
Dengan turunnya biaya modal atau cost of capital, perusahaan-perusahaan Indonesia diharapkan dapat mencatatkan laba yang lebih baik. EPS konsolidasi untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan akan mencapai Rp507,9 per saham dengan Return on Equity (ROE) sebesar 14,4 persen.
Dengan valuasi Price to Earnings (PE) sebesar 16,9x, IHSG berpotensi mencapai 8.600 pada tahun 2025. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan global, pasar saham Indonesia tetap memiliki potensi untuk tumbuh, didorong oleh faktor-faktor domestik yang solid, termasuk kebijakan moneter yang mendukung dan pertumbuhan sektor swasta yang dinamis.
Kesimpulannya, meskipun Indonesia akan menghadapi tantangan besar yang berasal dari perubahan global, kondisi domestik yang mendukung, seperti kebijakan fiskal dan moneter yang pro-investasi, serta sektor swasta yang terus berkembang, memberi harapan bahwa pasar modal Indonesia dapat terus mencatatkan kinerja yang positif.
Tahun 2025 akan menjadi tahun dengan peluang baru bagi para investor untuk meraih keuntungan di tengah ketidakpastian yang mengglobal.
Pasar modal Indonesia di tahun depan juga dihadapkan pada beberapa tantangan, salah satunya terkait beragam pungutan pajak dan non-pajak yang akan membebani masyarakat serta pelaku usaha. Kenaikan pungutan sendiri ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara.
Secara rinci, beberapa pungutan yang dimaksud meliputi pengenaan asuransi wajib kendaraan bermotor, cukai untuk minuman berpemanis, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, serta iuran dana pensiun wajib yang masih menunggu peraturan teknis.
Ada juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dan normalisasi Pajak Penghasilan Final (PPh Final) bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Kebijakan-kebijakan ini, meskipun dirancang untuk menambah penerimaan negara, tidak terelakkan dapat menambah beban bagi masyarakat dan pelaku usaha, yang berpotensi mengurangi daya beli.
Jika daya beli masyarakat terus menurun, dampaknya akan terasa pada sektor konsumsi, yang merupakan salah satu motor penggerak utama ekonomi Indonesia. Ketika daya beli melemah, kinerja perusahaan-perusahaan yang bergantung pada konsumsi domestik bisa terdampak, dan ini pada gilirannya akan memengaruhi kinerja pasar modal.
Selain faktor domestik, kinerja pasar modal Indonesia juga masih dipengaruhi oleh sentimen global. Pemilu di Amerika Serikat dan kemenangan Donald Trump sebagai presiden terpilih pada awal November 2024, memberikan dampak langsung pada pasar keuangan global, terutama di Amerika Serikat.
Kebijakan ekonomi yang ditetapkan oleh Trump berpotensi memperkuat ekonomi AS, yang menarik aliran modal asing keluar dari pasar Indonesia dan mengarahkannya ke pasar AS yang lebih menguntungkan. Sentimen positif ini mengarah pada penguatan pasar AS, yang membuat investor asing menarik dana dari pasar Indonesia, sehingga menyebabkan penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
IHSG, yang sempat mencapai rekor tertinggi di 7.900 pada pertengahan September 2024, terus melorot pada triwulan IV-2024, mencerminkan pengaruh sentimen global terhadap pasar domestik.
Di Indonesia, meskipun jumlah investor asing hanya sekitar 40.000 dari total 14,3 juta investor, mereka menguasai sekitar 45 persen dari total aset yang ada di pasar modal Indonesia. Ini menunjukkan bahwa keputusan yang diambil oleh investor asing memiliki pengaruh besar terhadap arah pasar.
Para investor asing tidak hanya memperhatikan perkembangan global, tetapi juga kondisi domestik Indonesia. Sentimen negatif terhadap ekonomi Indonesia, yang dipicu oleh kebijakan fiskal dan penurunan daya beli, dapat memperburuk persepsi mereka terhadap pasar modal Indonesia, membuat mereka enggan berinvestasi lebih lanjut.
Namun, meskipun ada tantangan ini, pasar Indonesia tetap memiliki potensi jangka panjang. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah, meskipun berpotensi menambah beban bagi masyarakat dan sektor usaha, juga dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih terstruktur dalam jangka panjang. Selain itu, investor asing juga akan memperhatikan dinamika domestik, termasuk reformasi struktural dan kebijakan yang mendorong daya saing Indonesia di kancah global.
Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa kebijakan ekonomi yang diambil dapat menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan pendapatan negara dan dukungan terhadap daya beli masyarakat serta keberlanjutan kinerja pasar modal.
Dengan melihat faktor-faktor yang ada, baik dari sisi domestik maupun global, 2025 akan menjadi tahun yang penuh tantangan bagi pasar modal Indonesia. Pemerintah dan pelaku pasar harus dapat merespons dengan strategi yang tepat untuk mengatasi tantangan ini, menjaga stabilitas ekonomi domestik, dan mengoptimalkan potensi pertumbuhan pasar modal di tengah gejolak ekonomi global.(*)