KABARBURSA.COM - Pemerintah Indonesia berencana menarik utang baru sebesar Rp775,86 triliun pada tahun 2025. Rencana ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025, yang diteken Presiden Prabowo pada 30 November 2024.
Pembiayaan utang ini terdiri dari dua sumber utama, yaitu Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman.
SBN menjadi komponen terbesar dengan target penerbitan mencapai Rp642,56 triliun. Sementara itu, pembiayaan melalui pinjaman ditetapkan sebesar Rp133,30 triliun, yang terbagi atas pinjaman dalam negeri sebesar Rp5,17 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp128,13 triliun.
Selain pembiayaan utang, pemerintah juga mencatat anggaran untuk pembiayaan investasi sebesar Rp154,50 triliun. Dana ini akan dialokasikan untuk investasi ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Organisasi internasional dan badan usaha lainnya, serta investasi pemerintah oleh Bendahara Umum Negara (BUN).
Di sisi lain, pemberian pinjaman tercatat sebesar Rp5,44 triliun, sedangkan pembiayaan lainnya sebesar Rp262 miliar.
Dengan rencana penarikan utang yang signifikan, pemerintah diharapkan mampu memanfaatkan dana tersebut secara optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta investasi strategis lainnya.
Di sisi lain, pengelolaan utang yang efisien menjadi tantangan untuk menjaga stabilitas fiskal dalam jangka panjang.
Beberapa waktu lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa posisi utang luar negeri Indonesia pada Oktober 2024 meningkat sebesar USD2,7 miliar, menjadi USD427,8 miliar, dibandingkan dengan posisi pada Agustus yang tercatat sebesar USD425,1 miliar.
Secara tahunan, utang luar negeri mengalami pertumbuhan sebesar 8,3 persen (year on year / YoY). Dalam rupiah, posisi utang luar negeri (ULN) tersebut setara dengan Rp6.790,9 triliun (dengan kurs Rp15.874 per dolar AS).
Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Ramdan Denny Prakoso, menyampaikan bahwa perkembangan ULN tersebut sebagian besar berasal dari sektor publik.
“Posisi ULN kuartal III-2024 juga dipengaruhi oleh pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk rupiah,” ujar Denny dalam keterangan resmi, Sabtu, 16 November 2024.
Meski terjadi kenaikan secara keseluruhan, Denny menekankan bahwa utang luar negeri pemerintah tetap terjaga dengan baik. Pada kuartal III-2024, posisi ULN pemerintah tercatat sebesar USD204,1 miliar, atau tumbuh 8,4 persen YoY, setelah sebelumnya mengalami kontraksi sebesar 0,8 persen pada kuartal II/2024.
Perkembangan ini dipengaruhi oleh penarikan pinjaman luar negeri serta peningkatan aliran masuk modal asing pada SBN domestik, yang menunjukkan tetap terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, ULN swasta justru mengalami penurunan. Pada kuartal III-2024, posisi ULN swasta tercatat sebesar USD196 miliar, atau mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,6 persen YoY, setelah mencatatkan pertumbuhan tipis sebesar 0,02 persen pada kuartal II/2024. Penurunan ini terutama dipengaruhi oleh kontraksi pertumbuhan ULN lembaga keuangan yang tercatat sebesar 3,2 persen YoY.
Berdasarkan sektor ekonomi, ULN swasta terbesar berasal dari sektor Industri Pengolahan, Jasa Keuangan dan Asuransi, Pengadaan Listrik dan Gas, serta Pertambangan dan Penggalian. Total kontribusi sektor-sektor tersebut mencapai 79,3 persen dari total ULN swasta.
Denny menekankan bahwa untuk menjaga struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah akan terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN.
“Peran ULN akan terus dioptimalkan untuk mendukung pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan, dengan meminimalkan risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” ujarnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi rasio utang pemerintah Indonesia akan mengalami penurunan dalam lima tahun mendatang, atau di masa pemerintahan Prabowo Subianto, dengan mencapai tingkat 38,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada tahun 2029.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan di Kemenko Perekonomian Ferry Irawan mengatakan pemerintah tetap konsisten dalam mengelola utang secara hati-hati dan terukur.
Menurut Ferry, pemerintah menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo dengan optimal, sehingga APBN bisa tetap sehat, kredibel, dan berkesinambungan.
“Pembiayaan melalui utang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN ketika pendapatan negara belum sepenuhnya mampu membiayai keseluruhan belanja negara atau ketika dibutuhkan pembiayaan investasi,” kata Ferry, Senin, 26 Agustus 2024.
Kata Ferry, pengelolaan utang yang terkendali ini telah berkontribusi dalam menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada periode 2014 hingga 2019 tercatat jauh lebih rendah dibandingkan saat ini, yaitu berada di kisaran 24,68 persen hingga 30,23 persen. Namun, angka tersebut mulai meningkat dengan laju moderat, terutama untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur.
Meskipun sempat melonjak tajam selama pandemi COVID-19, pemerintah berhasil mengendalikan laju kenaikan utang sejak 2021 hingga sekarang.
Ferry menjelaskan bahwa utang juga menjadi alat strategis untuk mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, terpenting untuk memperkuat daya tahan ekonomi nasional terhadap guncangan global.
Per Juli 2024, utang pemerintah tercatat sebesar Rp8.502,69 triliun, naik Rp57,82 triliun dibandingkan akhir Juni 2024.Meskipun ada kenaikan nominal, rasio utang terhadap PDB justru turun dari 39,13 persen pada Juni 2024 menjadi 38,68 persen pada akhir Juli lalu.
Posisi rasio utang ini masih berada di bawah batas aman sebesar 60 persen dari PDB, sesuai ketentuan dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Ke depan, pemerintah berkomitmen untuk terus menurunkan rasio utang terhadap PDB dengan berbagai strategi, seperti optimalisasi pendapatan negara melalui reformasi perpajakan yang efektif, serta pemberian insentif fiskal yang terukur untuk mendorong akselerasi investasi sambil tetap menjaga iklim investasi yang kondusif.
Meskipun pemerintah berencana untuk membiayai utang senilai Rp775,9 triliun tahun depan, proyeksi rasio utang terhadap PDB tahun 2025 diperkirakan berada di kisaran 37,82 persen hingga 38,71 persen.
Sebelumnya, IMF dan S&P Global Ratings memberikan penilaian positif terhadap manajemen utang Indonesia. IMF dalam Article IV Consultation 2024 menyatakan bahwa Indonesia menunjukkan disiplin fiskal yang kuat, dengan proyeksi penurunan rasio utang menjadi sekitar 38,3 persen PDB dalam jangka menengah. S&P Global Ratings mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada level ‘BBB’ dengan prospek stabil. (*)