Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

AI Mendorong Indonesia Menuju Industri 4.0 yang Lebih Cerdas

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 04 December 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
AI Mendorong Indonesia Menuju Industri 4.0 yang Lebih Cerdas

KABARBURSA.COM - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meluncurkan program "Making Indonesia 4.0" pada 2018, sebagai langkah strategis untuk mengakselerasi adopsi teknologi industri 4.0 dalam sektor manufaktur di Indonesia. Program ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara ekonomi terbesar dunia pada 2030.

Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menyatakan bahwa terdapat tiga sasaran utama dalam program ini. Pertama, kontribusi ekspor netto terhadap PDB yang ditargetkan mencapai 10 persen.

Kedua, peningkatan produktivitas industri dua kali lipat terhadap biaya. Ketiga, pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D) yang diharapkan mencapai 2 persen dari PDB.

"Sasaran ini bukan hanya untuk memajukan sektor industri, tetapi juga untuk mempersiapkan Indonesia agar mampu bersaing di pasar global pada 2030," jelas Faisol dalam acara AI Sovereignty: The Future of National Security, di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Rabu, 4 Desember 2024.

Program Making Indonesia 4.0 ini fokus pada tujuh sektor utama: industri makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, dan alat kesehatan.

Lima dari tujuh sektor tersebut dipilih karena kontribusinya yang besar terhadap PDB manufaktur Indonesia, yakni sekitar 70 persen, serta menyumbang 65 persen ekspor manufaktur dan menyerap 60 persen tenaga kerja industri.

Faisol menjelaskan bahwa industri Indonesia perlu mengadopsi teknologi digital dan fisik dalam proses produksinya, dengan beberapa teknologi unggulan seperti Internet of Things (IoT), Kecerdasan Buatan (AI), Cloud Computing, Augmented Reality (AR), Big Data, dan Robotika Lanjutan.

AI, khususnya, telah menjadi teknologi yang revolusioner dalam meningkatkan efisiensi industri. "AI tidak hanya meningkatkan operasional, tetapi juga mempercepat inovasi dan memungkinkan adaptasi terhadap perubahan pasar secara realtime," kata Faisol.

Salah satu contoh adopsi teknologi AI di Indonesia adalah di sektor industri semen, di mana perusahaan menggunakan AI dan IoT untuk meningkatkan produktivitas, stabilitas, dan efisiensi energi.

Melalui implementasi teknologi ini, diharapkan Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai pusat industri global di masa depan dan mewujudkan visi besar sebagai salah satu negara ekonomi terbesar pada 2030.

Salah satu tantangan utama, menurut Faisol, adalah keterbatasan infrastruktur teknologi yang merata di seluruh Indonesia. "Konektivitas yang belum merata, kurangnya infrastruktur data, serta kurangnya talenta digital menjadi hambatan besar bagi implementasi teknologi ini di sektor industri," ujarnya

Selain itu, Faisol juga menyoroti biaya implementasi yang tinggi dan sulit dijangkau oleh industri kecil dan menengah (IKM), serta kurangnya kesadaran dan kepercayaan konsumen terhadap penggunaan teknologi seperti AI dalam sektor manufaktur.

"Regulasi dan kebijakan yang lemah juga menjadi faktor penghambat, karena belum memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan industri berbasis teknologi," tambahnya.

Namun demikian, Faisol tetap optimis bahwa AI akan membuka peluang besar bagi industri Indonesia, terutama dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi.

"AI dapat mempercepat inovasi dalam produksi dan layanan, memperbaiki rantai pasok, memprediksi kebutuhan inventori dengan lebih akurat, serta mengoptimalkan logistik dan pengelolaan material," jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya AI untuk mendukung daya saing Indonesia di pasar global, baik untuk produksi massal maupun analitik pasar secara real-time.

"Dengan pemanfaatan teknologi ini, kita bisa lebih berkelanjutan, efisien dalam penggunaan material, serta lebih tanggap terhadap perubahan pasar dan lingkungan," ujarnya.

Untuk mendukung adopsi AI di industri, Kemenperin berkomitmen untuk memberikan berbagai insentif fiskal dan non-fiskal, seperti fasilitas pajak dan pemberdayaan sektor pendidikan sebagai agen perubahan. "Kami juga sedang membahas kebijakan insentif yang akan mempercepat implementasi AI di sektor industri," jelas Faisol.

Faisol menambahkan bahwa optimalisasi digitalisasi dalam kegiatan manufaktur sangat penting untuk mencapai "smart manufacturing," yang sejalan dengan program Making Indonesia 4.0.

"Smart manufacturing melibatkan penggunaan IoT, AI, big data, robotika, cloud computing, augmented reality, dan sistem cyber-physical digital twin," katanya.

Dengan adanya penerapan teknologi ini, Kemenperin berharap Indonesia dapat memperkokoh ketahanan ekonomi domestik dan meningkatkan daya saing di pasar global.

"Kami bekerja keras untuk mewujudkan smart manufacturing di seluruh sektor industri manufaktur, agar Indonesia menjadi kekuatan utama dalam ekonomi digital global," pungkas Faisol.

Menkomdigi Ingin Indonesia Jadi Pemimpin Teknologi AI

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan keinginan pemerintah menjadi pemimpin dalam teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, khususnya di tingkat regional.

Langkah pertama untuk menggapai cita-cita besar itu, kata Meutya, adalah dengan menyambutnya. Selanjutnya, ujar dia, teknologi kecerdasan buatan ini akan menjadi prioritas pemerintah dan fondasi utama pembangunan khususnya ekonomi digital.

“AI adalah masa depan yang harus kita sambut dengan semangat,” ungkapnya dalam paparannya pada acara AI Sovereignty: The Future of National Security, di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Rabu, 4 Desember 2024.

Ia menambahkan bahwa pemerintah memimpikan Indonesia menjadi pemain utama sekaligus pemimpin teknologi AI di kawasan Asia Tenggara. “Indonesia tidak hanya ingin menjadi peserta, tetapi juga pemimpin teknologi kecerdasan buatan di Asia Tenggara,”  imbuhnya.

Untuk menyokong hal tersebut, Meutya menjelaskan, diperlukan infrastruktur digital yang kuat. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) telah membangun infrastruktur pada tiga tingkatan utama dalam lima tahun terakhir meliputi backbone, middle mile, dan last mile.

Soal backbone, pemerintah melalui Komdigi telah mengulur kabel serat optik sepanjang 12.229 kilometer yang menghubungkan jaringan darat dan laut.

“Kemudian middle mile yakni peluncuran satelit multifungsi SATRIA I dengan kapasitas 150 Gbps, yang telah mendukung lebih dari 4.000 titik layanan publik dari target 37.000 titik hingga 2025,” ujar Meutya.

Selanjutnya adalah pembangunan 7.285 Base Transceiver Station (BTS) 4G di daerah terpencil, ditambah penyediaan akses internet di hampir 18.697 titik layanan publik.

“Kami juga tengah mempersiapkan pusat data nasional yang akan mengintegrasikan layanan satu data Indonesia. Ini sangat penting untuk memastikan validitas dan kontinuitas data yang menjadi dasar pengembangan AI,” jelas Meutya.

Meutya mencatat bahwa investasi pada teknologi AI global telah melonjak drastis dari USD4 miliar pada 2021 menjadi USD25 miliar pada 2023. Dampak penggunaan AI terhadap sektor pekerjaan juga signifikan: sebesar 60 persen di negara maju, 40 persen di negara berpendapatan menengah, dan 26 persen di negara berpenghasilan rendah.

Namun, dominasi pasar tenaga kerja AI masih berada di negara maju seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Belanda. Hal ini menjadi tantangan bagi negara-negara di Global South, termasuk Indonesia, untuk mendorong penciptaan talenta digital di bidang AI.

“Kami sedang bekerja sama dengan perusahaan teknologi global untuk menciptakan talenta digital khusus AI. Ini adalah langkah penting agar Indonesia tidak tertinggal dalam persaingan teknologi global,” tambah Meutya.

Pemerintah telah mulai menerapkan teknologi AI di berbagai layanan publik, termasuk sektor keuangan. Salah satunya adalah penggunaan chatbot berbasis AI untuk membantu wajib pajak. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk memanfaatkan AI dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan publik.

“Kita tidak hanya bicara soal teknologi, tetapi juga bagaimana AI dapat membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Indonesia harus mampu bersaing, bahkan dengan perusahaan besar seperti Kumparan, karena ini adalah tugas negara,” tutup Meutya. (*)