KABARBURSA.COM - Dalam beberapa tahun terakhir, arbitrase semakin diminati pelaku bisnis sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI) Prof. Sabela Gayo mengungkapkan alasan utama arbitrase menjadi pilihan adalah prosesnya yang cepat, bersifat rahasia, serta putusan yang final dan mengikat.
“Perusahaan yang terdaftar di bursa saham menghadapi risiko kerusakan reputasi jika sengketa mereka dipublikasikan. Dengan arbitrase, kerahasiaan terjamin, sehingga reputasi dan kredibilitas emiten tetap terjaga,” ujar Sabela dalam acara Indonesia Arbitration Week & Indonesia Mediation Summit 2024 di Jakarta, Senin, 2 Desember 2024.
Acara ini berlangsung hingga 5 Desember 2024 dan dihadiri oleh sekitar 200 arbiter dari berbagai daerah, serta pembicara internasional seperti Tudi Langkjaer Larsen dan Reinert Kamoy dari Mediation Institute of Nordic Mediation.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), sengketa yang dibawa ke forum arbitrase harus diselesaikan dalam waktu maksimal 180 hari. Putusannya yang dihasilkan pun bersifat final dan mengikat, sehingga memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.
Sabela menekankan bahwa arbitrase juga menjadi sarana pembelajaran internasional bagi para mediator dan arbiter.
“Kami mengundang pembicara dari Norwegia, Denmark, dan Australia untuk berbagi pengalaman terkait pelaksanaan arbitrase di negara mereka,” jelasnya.
Pada penghujung acara, sebanyak 47 peserta akan menerima penghargaan “Indonesia Alternative Dispute Resolution Award 2024” sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi mereka dalam penyelesaian sengketa bisnis.
Dalam forum tersebut, Sabela mengusulkan agar putusan arbitrase yang dikeluarkan lembaga arbitrase negara, seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dapat dieksekusi langsung tanpa harus mendapatkan penetapan dari pengadilan.
Menurutnya, kewajiban mendaftarkan putusan arbitrase ke pengadilan, sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase, menyebabkan eksekusi menjadi tertunda. Saat ini, putusan arbitrase harus didaftarkan dalam waktu 30 hari untuk mendapatkan legalitas pelaksanaan.
“Arbitrase memiliki kewenangan peradilan, dan putusannya bersifat final serta mengikat. Oleh karena itu, semestinya putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa melalui prosedur tambahan di pengadilan,” tegas Sabela.
Dengan berbagai keunggulan dan pembaruan yang diusulkan, arbitrase diyakini akan terus menjadi solusi strategis dalam penyelesaian sengketa bisnis di Indonesia.
Dalam periode 2022-2024, Dewan Sengketa Indonesia (DSI) telah melakukan riset yang menghasilkan temuan menarik mengenai perkara-perkara yang sering muncul di masyarakat Indonesia.
Riset tersebut menunjukkan bahwa di setiap daerah, ada lima jenis sengketa yang paling umum dihadapi oleh masyarakat.
Kelima perkara tersebut antara lain perceraian, sengketa perburuhan atau ketenagakerjaan, sengketa agraria atau pertanahan, sengketa konsumen, serta sengketa terkait pelayanan publik oleh pemerintah. Sementara itu, sengketa lainnya lebih banyak menyangkut masalah perjanjian atau kontrak bisnis.
Presiden Dewan Sengketa Indonesia (DSI) Prof Sabela Gayo mengatakan, kehadiran mediator sangat penting untuk menyelesaikan sengketa-sengketa tersebut secara damai dan efisien tanpa harus berakhir di pengadilan.
"Dengan jumlah mediator yang mencapai 4.800 orang dan tersebar di seluruh Indonesia, kami dapat memberikan layanan yang maksimal kepada masyarakat terkait perkara yang mereka hadapi," ujar Sabela.
Ia menambahkan, peran mediator sangat membantu dalam menyelesaikan berbagai masalah secara lebih cepat dan tanpa perlu melalui proses persidangan yang panjang dan berbelit-belit.
Mediator, menurut Sabela, memiliki peran penting dalam memberikan solusi bagi sengketa yang timbul di masyarakat. Untuk menjadi seorang mediator, seseorang tidak perlu memiliki pendidikan khusus. Yang dibutuhkan hanyalah mengikuti pelatihan mediasi yang diselenggarakan oleh lembaga diklat yang sudah terakreditasi oleh Mahkamah Agung.
"Tidak ada batasan untuk latar belakang pendidikan. Siapapun, baik yang berlatar belakang hukum maupun non-hukum, dapat menjadi mediator setelah mengikuti pelatihan yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung," jelasnya.
Setelah memperoleh sertifikat sebagai mediator, langkah selanjutnya adalah mendaftarkan diri sebagai mediator non-hakim di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Ini memberikan kesempatan bagi individu yang telah terlatih untuk berkontribusi lebih besar dalam proses mediasi di lembaga peradilan, membantu meringankan beban pengadilan dan mempercepat proses penyelesaian sengketa.
Di sisi lain, Ketua DPW DSI Lampung Nova Eva Khotifah membeberkan perkembangan positif terkait profesi mediator di Provinsi Lampung, khususnya dalam penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan masalah kehidupan rumah tangga. Menurut Nova, berbagai perkara seperti sengketa perceraian, pembagian harta gono-gini, hak asuh anak, hingga sengketa harta warisan kini banyak yang diselesaikan melalui mediasi sebelum akhirnya masuk ke persidangan.
"Pada intinya, semua perkara yang muncul di Pengadilan Agama, khususnya di Lampung, wajib melalui mediasi terlebih dahulu. Setiap masalah yang diajukan harus melalui proses mediasi karena ini sangat penting dan sangat dibutuhkan. Kami ingin membantu para pihak menemukan jalan keluar tanpa harus terjebak dalam proses persidangan yang bisa memakan waktu dan biaya tinggi," ujar Nova yang juga berprofesi sebagai mediator di Pengadilan Agama Kalianda, Lampung.
Mediasi sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa, lanjut Nova, telah terbukti efektif dalam mengurangi jumlah perkara yang harus disidangkan. Para pihak yang terlibat dalam sengketa lebih memilih untuk menyelesaikan masalah mereka dengan cara yang lebih damai dan saling menguntungkan. Hal ini, menurutnya, mencerminkan keberhasilan sistem mediasi yang digagas oleh DSI dalam menciptakan solusi alternatif yang lebih baik bagi masyarakat.
Seiring dengan semakin berkembangnya profesi mediator, Nova berharap agar lebih banyak masyarakat yang memahami pentingnya peran mediator dalam menyelesaikan masalah hukum dan kehidupan sosial mereka.
Ia menegaskan, mediasi bukan hanya sekedar cara untuk menghindari pengadilan, tetapi juga sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang bersengketa.
Dalam konteks ini, Sabela juga mengingatkan bahwa keberadaan mediator sangat mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi jumlah perkara yang masuk ke pengadilan. Dengan semakin banyaknya mediator yang terlatih dan terakreditasi, maka proses penyelesaian sengketa di Indonesia akan semakin efisien dan tidak membebani sistem peradilan. Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat untuk lebih mengenal dan memanfaatkan layanan mediasi yang tersedia di berbagai daerah di Indonesia.
Dengan demikian, mediasi tidak hanya menjadi alternatif penyelesaian sengketa, tetapi juga suatu cara untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis dan adil. Harapan kedepannya adalah agar semakin banyak mediator yang siap membantu menyelesaikan masalah di masyarakat, sehingga sistem peradilan di Indonesia menjadi lebih efektif dan efisien. (*)