Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Manufaktur Asia Bangkit, tapi Ancaman Tarif Trump Mengintai

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 02 December 2024 | Penulis: Moh. Alpin Pulungan | Editor: Redaksi
Manufaktur Asia Bangkit, tapi Ancaman Tarif Trump Mengintai

KABARBURSA.COM - Aktivitas pabrik di negara-negara manufaktur terbesar Asia meningkat pada November 2024. Pemulihan ekonomi Tiongkok, didorong oleh stimulus negara tersebut dan lonjakan ekspor menjadi motor utama gairah manufaktur ini. Namun, ada beberapa titik lemah di wilayah lain yang menjadi tantangan serius.

Dilansir dari Reuters, Senin, 2 Desember 2024, risiko global tengah membayangi dengan potensi kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis Senin hari ini menggambarkan situasi yang beragam bagi negara-negara Asia yang bergantung pada ekspor.

PMI Caixin menunjukkan aktivitas pabrik Tiongkok tumbuh tercepat dalam lima bulan terakhir, berkat lonjakan pesanan baru, termasuk dari luar negeri. Hal ini sejalan dengan survei resmi sebelumnya, yang menandakan stimulus mulai berdampak pada ekonomi terbesar kedua dunia itu.

Kabar baik dari Tiongkok membawa angin segar bagi negara-negara manufaktur Asia lainnya seperti Korea Selatan dan Taiwan, yang aktivitas pabriknya juga meningkat. Menurut Xing Zhaopeng, analis senior ANZ, pemulihan Tiongkok saat ini sebagian besar didorong oleh ekspor.

“Pesanan ekspor baru melonjak, baik di PMI resmi maupun PMI Caixin. Namun, permintaan domestik masih lemah, terlihat dari PMI non-manufaktur yang hanya mencapai angka 50,” kata Xing.

Banyak eksportir Tiongkok bergegas mengirim barang ke pasar utama seperti AS dan Uni Eropa untuk menghindari tarif baru. Risiko tarif ini menambah tantangan yang dihadapi pembuat kebijakan.

Sejak paruh kedua tahun ini, Beijing menggelontorkan berbagai paket stimulus besar untuk mencegah penurunan tajam dalam konsumsi dan produksi. Meski analis menyebut langkah lanjutan masih diperlukan, tanda-tanda perbaikan mulai terlihat, dengan stabilnya belanja ritel dan pasar properti.

Namun, ancaman tarif dari Trump tetap menjadi bayang-bayang besar. Presiden AS terpilih itu berjanji menerapkan tarif agresif untuk membangkitkan industri dan lapangan kerja Amerika. Baru-baru ini, Trump mengancam akan mengenakan tarif 10 persen pada barang-barang Tiongkok dengan alasan Negeri Tirai Bambu itu harus bertindak lebih tegas dalam memerangi penyelundupan bahan kimia untuk produksi fentanyl.

Sementara itu, di Jepang, situasinya memburuk. PMI menunjukkan penurunan aktivitas tercepat dalam delapan bulan terakhir akibat lemahnya permintaan. Namun, data resmi menunjukkan belanja perusahaan pada peralatan dan fasilitas justru meningkat di kuartal ketiga.

Di Asia Tenggara, aktivitas pabrik masih menurun di Indonesia dan Malaysia, sementara pertumbuhan melambat di Thailand dan Vietnam.

PMI Manufaktur Indonesia Naik Tipis

PMI manufaktur Indonesia masih terkontraksi di level 49,6 pada November 2024. Meski ada kenaikan dari bulan sebelumnya (49,2), angka ini masih menunjukkan sektor manufaktur belum benar-benar pulih.

Menurut laporan S&P Global, PMI manufaktur Indonesia mencatat penurunan yang lebih lambat dibandingkan lima bulan terakhir. Economics Director S&P Global Market Intelligence, Paul Smith, menjelaskan kenaikan PMI ini didorong oleh ekspansi produksi untuk pertama kalinya sejak Juli 2024.

[caption id="attachment_103404" align="alignnone" width="1600"] Tren PMI Manufaktur Indonesia. Sumber: S&P Global diolah KabarBursa.com.[/caption]

“Perusahaan mulai meningkatkan produksi untuk mengisi inventaris dan menyelesaikan pekerjaan menjelang potensi kenaikan penjualan dan permintaan tahun depan,” kata Paul.

Namun, sisi penjualan masih menjadi catatan negatif. Kinerja penjualan terus menurun selama lima bulan berturut-turut, sementara pesanan baru dan permintaan pasar tetap lemah. Kondisi pasar yang sepi ini diperburuk dengan pesanan ekspor yang merosot selama sembilan bulan terakhir, bahkan dengan tingkat kontraksi yang semakin tajam.

Paul menambahkan, kondisi ini membuat perusahaan berhati-hati dalam mengelola tenaga kerja. Banyak yang memilih tidak menggantikan karyawan yang keluar, bahkan ada yang melakukan PHK.

“Tanpa peningkatan penjualan, kinerja sektor ini akan tetap tertekan, meskipun ada optimisme dari pelaku industri,” tegasnya.

Dengan produksi yang naik tapi pesanan baru menurun, perusahaan memanfaatkan output berlebih untuk menyelesaikan backlog pekerjaan dan meningkatkan stok barang di gudang. November mencatat penurunan backlog pekerjaan selama enam bulan berturut-turut, meski tipis.

Sementara itu, stok barang di gudang tumbuh lebih cepat, membantu perusahaan bersiap menghadapi kebutuhan produksi yang mungkin meningkat dalam beberapa bulan ke depan.

Meski kondisi saat ini masih berat, kepercayaan terhadap prospek masa depan mencapai level tertinggi sejak Februari 2024. Perusahaan mulai percaya permintaan dan penjualan akan meningkat tahun depan, yang diharapkan dapat mendukung lonjakan produksi.

Aktivitas pembelian juga meningkat untuk pertama kalinya dalam lima bulan terakhir. Pertumbuhan pembelian yang kuat menunjukkan langkah perusahaan dalam membangun stok input dan mendukung kenaikan output sesuai proyeksi positif.

Namun, tantangan tetap ada. Volume tenaga kerja kembali menurun selama dua bulan berturut-turut. Tingkat kontraksi tenaga kerja ini bahkan yang paling tajam dalam tiga tahun terakhir. Banyak perusahaan melaporkan tidak menggantikan karyawan yang keluar dan beberapa melakukan PHK.

Di sisi lain, inflasi harga input naik tipis pada November, meskipun masih di bawah rata-rata survei. Kenaikan harga bahan baku, terutama bahan pangan, menjadi penyebab utama. Faktor nilai tukar juga berkontribusi meningkatkan harga barang impor.

Untuk menekan dampak kenaikan biaya input, perusahaan menaikkan harga output pabrik. Namun, tingkat inflasi keseluruhan masih tergolong moderat.(*)