KABARBURSA.COM - Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, menilai bahwa kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen lebih menyerupai "angin segar sementara" bagi buruh. Menurutnya, dampak positif dari kebijakan tersebut cenderung bersifat jangka pendek, terutama jika diiringi kenaikan inflasi.
"Ini hanya hiburan sesaat. Pada akhirnya, daya beli buruh tidak akan meningkat signifikan, bahkan mungkin turun jika inflasi melonjak," jelasnya kepada Kabarbursa.com, Sabtu, 30 November 2024.
Tadjuddin menjelaskan bahwa kenaikan UMP sebesar 6,5 persen sebenarnya telah mempertimbangkan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan inflasi rata-rata sebesar 2,5 hingga 3 persen dari Januari hingga November, buruh diproyeksikan dapat menikmati kenaikan riil sekitar 3,5 persen setelah dikurangi dampak inflasi.
"Kenaikan ini memberikan sedikit ruang bagi pekerja untuk merasakan manfaat riil. Namun, manfaat ini sangat bergantung pada stabilitas inflasi ke depan," jelasnya.
Meski demikian, Tadjuddin menggarisbawahi risiko yang mungkin muncul jika pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kenaikan PPN diprediksi akan memicu lonjakan harga barang, yang pada akhirnya meningkatkan inflasi secara signifikan.
"Jika PPN naik, pedagang akan menyesuaikan harga untuk menutupi beban pajak tambahan. Hal ini dapat mendorong inflasi mendekati 10 persen, sehingga daya beli buruh kembali tergerus," terangnya.
Tadjuddin menilai bahwa kenaikan UMP sebesar 6,5 persen hanya akan memberikan dampak positif yang sangat terbatas. Ia memprediksi kenaikan tersebut mungkin terasa manfaatnya di bulan Desember, tetapi mulai Januari, ketika PPN naik, daya beli buruh justru akan tertekan.
"Kenaikan upah menjadi tidak berarti karena nilainya akan terkikis oleh lonjakan harga barang," katanya.
Dalam menghadapi tantangan ini, Tadjuddin menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan fiskal yang berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Ia menekankan perlunya sinergi antara kebijakan kenaikan UMP dan penyesuaian PPN agar tidak menciptakan efek kontraproduktif.
"Peningkatan harga barang-barang akibat PPN akan langsung dirasakan masyarakat. Beban pajak tersebut akhirnya dibebankan kepada konsumen, yang berarti pekerja dan masyarakat umum akan tertekan," jelasnya.
Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan domestik, Tadjuddin mengingatkan pentingnya langkah konkret untuk menjaga daya beli buruh. Ia menekankan bahwa kebijakan kenaikan UMP harus didukung oleh upaya stabilisasi harga agar esensinya tidak hilang.
"Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini tidak berujung pada beban tambahan bagi buruh dan masyarakat umum. Kesejahteraan buruh harus tetap menjadi prioritas utama," pungkasnya.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama serikat buruh lainnya menyepakati usulan kenaikan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Kesepakatan ini dicapai setelah pertemuan antara perwakilan buruh dan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, pada 29 November 2024.
Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan agenda tersebut tidak hanya mempertemukan buruh dengan presiden, tetapi juga melibatkan sejumlah pejabat penting, seperti Menteri Ketenagakerjaan Yassirlie, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, Sekretaris Kabinet, serta Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad.
Dalam pertemuan itu, Yassierli awalnya mengusulkan kenaikan upah minimum sebesar 6 persen. Usulan tersebut didasarkan pada perhitungan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan sejumlah indeks tertentu. Namun, setelah melalui diskusi yang melibatkan berbagai pihak, angka tersebut direvisi menjadi 6,5 persen.
“Setelah dimasukkan formula inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu, ketemulah 6 persen,” kata Said dalam konferensi pers virtual, Jumat, 29 November 2024.
Kendati begitu, Said menyebut Prabowo mengemukakan keberpihakan terhadap nasib buruh. Pada kesempatan itu, Prabowo pun menggunakan haknya untuk menaikan upah minimum sebesar 0,5 persen menjadi 6,5 persen di tahun 2025.
Serikat buruh menerima usul tersebut. Menurut Said, kenaikan 6,5 persen mendekati usulan awal upah minimum yang dikehendaki para buruh.
“Buruh harapannya 8 persen sampai dengan 10 persen. Karena 6,5 persen mendekati 8 persen, maka buruh menyatakan menerima keputusan Presiden Republik Indonesia, Bapak General Prabowo Subianto,” kata Said.
Anggota Komisi IX DPR RI, Zainul Munasichin, sebelumnya menyatakan dukungan penolakan buruh atas draf Peraturan Menteri Tenaga Kerja atau Permenaker perihal rumus perhitungan upah minimum 2025. Ia menilai, aturan tersebut tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, yang bersifat final dan mengikat.
Putusan MK tersebut telah menghapus aturan lama dalam Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk ketentuan soal penetapan upah minimum. Rumus perhitungan upah minimum 2025 dinilai harus menyesuaikan dengan keputusan hukum tersebut.
Sementara itu, buruh mengusulkan formula perhitungan upah minimum yang berbasis nilai inflasi ditambah indeks tertentu (α) dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi. Rumus tersebut dirumuskan dalam bentuk inflasi + (α x pertumbuhan ekonomi). Untuk 2025, mereka mengajukan indeks α sebesar 1,0 hingga 1,2, yang berlaku seragam untuk semua jenis industri, tanpa membedakan antara sektor padat karya dan padat modal.
“Pemerintah harus tunduk pada putusan MK dalam menentukan upah minum. Putusan itu menghapus aturan lama yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja,” kata Zainul dalam keterangannya di Jakarta, Selasa, 26 November 2024.
Zainul mengatakan penetapan upah juga perlu memperhatikan proporsionalitas kebutuhan hidup layak (KHL). Jika pemerintah merujuk pada putusan tersebut, para buruh pasti akan menerima penetapan upah minimum yang ditetapkan. “Sebaliknya, kalau pemerintah menentukan rumusan di luar yang ditetapkan MK, maka pasti akan menimbulkan penolakan,” katanya.
Zainul menilai, draf Permenaker relatif membuat posisi buruh lemah. Dalam draf Permenaker Upah Minimum 2025 kenaikan upah dibedakan menjadi dua kategori, yakni kenaikan upah minimum untuk industri padat karya, dan kenaikan upah minimum industri padat modal.
Menurutnya, draf Permenaker menetapkan aturan perusahaan yang tidak mampu membayar kenaikan upah minimum dapat dirundingkan di tingkat bipartit perusahaan. “Buruh jelas menolak, karena penetapan upah minimum diputuskan oleh Dewan Pengupahan Daerah seperti yang diatur dalam putusan MK” tegasnya.
Zainul pun mendesak pemerintah bijak dalam menentukan upah. Menurutnya, wajar jika para buruh meminta kenaikan upah hingga 10 persen. “Kami berharap pemerintah segera menentukan Upah Minimum 2024 yang sesuai dengan aspirasi guru,” katanya. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.