KABARBURSA.COM - Pemerintah Arab Saudi akan menerapkan sejumlah kebijakan baru pada penyelenggaraan ibadah haji 1446 Hijriah/2025 Masehi, yang salah satunya adalah penerapan kontrak layanan haji jangka panjang, bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi jamaah.
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Hilman Latief menjelaskan bahwa kebijakan baru ini mencakup beberapa perubahan signifikan. Salah satunya adalah penerapan kontrak layanan jangka panjang untuk menjaga kesinambungan kualitas pelayanan. Selama ini, kontrak layanan haji di Makkah dan Madinah, ujar Hilman, dilakukan setiap tahun atau per musim haji. Seperti dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat 29 November 2024.
Dengan kebijakan yang berlaku sebelumnya, vendor penyedia layanan seperti akomodasi, transportasi, dan konsumsi hanya terikat kontrak untuk satu musim haji. Setelah itu, negara-negara pengirim jamaah haji harus kembali melakukan pembaruan kontrak untuk mempersiapkan musim haji berikutnya. Kebijakan baru ini diharapkan akan menciptakan efisiensi dan stabilitas dalam kualitas pelayanan yang diberikan.
Selain itu, kebijakan baru lainnya adalah pemberlakuan kontrak paket khusus untuk petugas haji di Masyair. Sebelumnya, para petugas haji tidak dikenakan biaya apapun pada saat puncak ibadah haji. Kini, dengan adanya kontrak khusus untuk transportasi dan akomodasi, diharapkan kesejahteraan petugas haji juga bisa lebih terjamin selama pelaksanaan ibadah haji.
Biaya haji yang signifikan setiap tahun memberikan dampak yang cukup besar terhadap perekonomian nasional. Pengamat Haji, Ade Marfuddin, mengatakan jumlah dana haji yang mencapai triliunan tiap tahun bisa dirasakan berbagai sektor ekonomi, baik mikro maupun kecil.
“Kalau dampaknya, harusnya secara nyata berimpas kepada seluruh pelaku-pelaku ekonomi, baik mikro maupun kecil,” kata Ade kepada Kabar Bursa, Senin, 24 Juni 2024.
Setiap tahun, dana sekitar Rp 65 triliun dihabiskan oleh jemaah haji Indonesia di Arab Saudi. Jumlah ini mencakup pengeluaran untuk akomodasi, katering, transportasi, dan kebutuhan hidup selama di tanah suci.
Ade menambahkan, rata-rata setiap jemaah membawa sekitar 3.000 dolar Amerika Serikat (AS) sebagai bekal. “Sekarang misalnya 241 ribu orang. Mau bawa berapa dihabiskan uang di sana?” ujarnya.
Menurut Ade, total pengeluaran jemaah haji Indonesia bisa mencapai lebih dari 720 juta dolar AS setiap musim haji. Hal ini menunjukkan betapa besar aliran dana yang keluar dari Indonesia setiap tahunnya.
Namun, dampak ekonomi ini tidak hanya dirasakan di Arab Saudi. Ade mengungkapkan bahwa banyak peluang ekonomi yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia sendiri. “Yang memanfaatkan ini bukan Indonesia, tapi China,” ungkapnya.
China, lanjut Ade, mampu memanfaatkan peluang ekonomi dari kebutuhan haji dengan memasok berbagai barang dan jasa. “Apa yang tidak ada sekarang produk di Arab Saudi, semua made in China,” katanya.
Ade menekankan pentingnya kerja sama antara pemerintah dan pelaku usaha untuk mengoptimalkan peluang ekonomi terkait haji. “Seluruh makanan yang ada di Arab Saudi, harusnya kan mulai dipilah, dipetakan,” sarannya.
Ia juga menyebut banyak sektor bisnis yang dapat dikelola untuk mendukung kebutuhan haji, seperti produksi perlengkapan haji di dalam negeri. Ade optimistis atribut-atribut haji, seperti tasbih dan sajadah bisa menjadi pemicu gerakan ekonomi.
Selain itu, Ade menyarankan pemanfaatan sumber daya manusia yang ada, termasuk para narapidana di Indonesia, untuk memproduksi barang kebutuhan haji dengan biaya rendah. Menurut Ade, pemerintah perlu mendorong produksi dalam negeri untuk kebutuhan haji, seperti koper, pakaian, dan perlengkapan lainnya.
Ade juga memberikan contoh bagaimana narapidana di China digunakan untuk produksi berbagai barang dengan biaya rendah. “Aneh kan? Kita pengirim jemaah haji terbanyak, tapi China sih yang memanfaatkan ini,” jelasnya.
Dengan melabeli produk-produk tersebut sebagai “Made in Indonesia”, Indonesia bisa bersaing di pasar internasional, khususnya di Arab Saudi. Produk-produk lokal ini dapat menggantikan dominasi produk China di pasar haji.
Ade menekankan bahwa sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha sangat penting untuk mengoptimalkan peluang ekonomi dari kebutuhan haji. “Haji itu lebih besar gerakan ekonominya, kalau dimanfaatkan dengan baik,” katanya.
Dana kelolaan haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dikelola dengan instrumen syariah dan likuid. Mengutip situs resminya, dana yang dikelola BPKH telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Presiden.
Saldo dana haji yang dikelola BPKH terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, saldo dana haji mencapai Rp124,3 triliun. Tahun berikutnya, 2020, terjadi lonjakan hingga Rp144,9 triliun. Pertumbuhan ini berlanjut pada tahun 2021 dengan saldo mencapai Rp158,8 triliun. Pada tahun 2022, saldo meningkat menjadi Rp166,5 triliun, dan pada prognosa Desember 2023, diperkirakan mencapai Rp166,7 triliun, menunjukkan peningkatan sebesar 0,12 persen dari tahun sebelumnya.
Selain itu, BPKH juga mencatat peningkatan pada pencapaian nilai manfaat dana haji. Hingga Desember 2023, nilai manfaat diperkirakan mencapai Rp10,9 triliun, meningkat 7,18 persen dibandingkan tahun 2022. Peningkatan ini mencerminkan keberhasilan BPKH dalam mengoptimalkan pengelolaan dana haji, sehingga memberikan manfaat yang lebih besar bagi para calon jemaah haji.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.