KABARBURSA.COM - Menjelang musim liburan, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICI), Prof. Azril Azahari, menyatakan bahwa destinasi wisata di Indonesia sudah mulai berbenah.
Berbagai persiapan dilakukan, mulai dari peningkatan kualitas destinasi hingga penyediaan fasilitas pendukung seperti akomodasi dan jasa agen perjalanan.
Namun, Prof. Azril menggarisbawahi bahwa tingginya harga tiket pesawat menjadi salah satu kendala utama dalam meningkatkan kunjungan wisatawan domestik maupun internasional.
“Kebijakan pemerintah terkait penurunan harga tiket masih belum jelas, meskipun Satgas telah dibentuk. Ada banyak komponen biaya yang memengaruhi, bukan hanya avtur,” ujarnya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Jumat, 27 November 2024.
Prof. Azril memaparkan, biaya avtur yang menyumbang 30 persen dari total biaya penerbangan di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Singapura. Selain itu, beban operasional maskapai juga dipengaruhi oleh PPN yang akan naik menjadi 12{3004e6a2a23c8250adb56aedfee72f5f48434ae90303b3f2342c4d8b034836ab} pada Januari 2025.
Kemudian kewajiban penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF) untuk mendukung dekarbonisasi dan mencapai zero emission, dan penyesuaian beban liability oleh ICAO, sebesar 17,9 persen per 28 Desember 2024.
“Khusus untuk SAF, meskipun dapat menurunkan emisi karbon hingga 80{3004e6a2a23c8250adb56aedfee72f5f48434ae90303b3f2342c4d8b034836ab}, biayanya jauh lebih mahal, yaitu sekitar 6-10 kali lipat dari avtur biasa. Negara seperti Singapura sudah mulai menetapkan aturan ini, dan kita akan tertinggal jika tidak bersiap,” jelasnya.
Prof. Azril mempertanyakan kesiapan maskapai nasional seperti Garuda Indonesia dalam menghadapi beban biaya tambahan tersebut.
“Apakah realistis tiket bisa turun jika beban seperti ini terus meningkat? Kecuali ada langkah konkret, seperti menurunkan harga avtur dari Pertamina,” tegasnya.
Ia juga menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor untuk memastikan harga tiket lebih terjangkau, tanpa mengorbankan keberlanjutan maskapai.
“Pemerintah perlu merancang kebijakan yang mendorong efisiensi sekaligus melindungi daya beli masyarakat. Jika tidak, sektor pariwisata sulit bersaing,” katanya.
Dengan persiapan destinasi wisata yang terus ditingkatkan, Prof. Azril berharap pemerintah segera memberikan solusi konkret untuk menurunkan harga tiket pesawat.
"Momentum liburan akhir tahun ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin, tapi itu hanya bisa terwujud jika aksesibilitas, terutama harga tiket, tidak menjadi hambatan besar," tutupnya.
Wakil Ketua Komisi V DPR RI Syaiful Huda, mendesak pemerintah untuk mengkaji skema penurunan tiket pesawat sebesar 10 persen secara permanen, sebab menurutnya saat ini masih bersifat temporal.
“Penurunan tiket pesawat yang akan dilakukan pemerintah saat ini masih bersifat temporal karena hanya berlaku 16 hari saja selama Libur Nataru mulai 19 Desember 2024-3 Januari 2025. Setelah tanggal 3 Januari 2025 tarif tiket pesawat akan kembali normal. Padahal skema tiket pesawat saat ini dianggap banyak kalangan terlalu mahal,” ujar Syaiful Huda, dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat, 29 November 2024.
Huda menekankan skema penurunan tiket pesawat secara permanen penting untuk memastikan peningkatan okupansi penumpang pesawat di tanah air.
Menurutnya jika skema penurunan tiket pesawat bersifat temporal maka harus ada peninjauan tarif tiket pesawat di setiap momentum besar seperti libur Nataru, mudik idul fitri, atau momentum-momentum lain yang melibatkan banyak aktivitas publik.
“Nanti publik bisa bertanya-tanya jika Nataru tiket pesawat turun, tapi di mudik idul fitri tidak atau sebaliknya. Jadi kajian untuk menurunkan tiket pesawat secara permanen sangat penting,” ujarnya.
Ia menjelaskan tiga langkah utama yang diambil pemerintah untuk menurunkan harga tiket pesawat. Langkah pertama adalah pengurangan airport tax sebesar 50 persen, kedua, penurunan fuel surcharge untuk maskapai dari 10 persen menjadi 2 persen, dan ketiga, pemberian diskon harga avtur.
“Kalau melihat komponen penurun tiket pesawat memang masih bersifat sementara. Artinya tidak bisa dilakukan dalam jangka panjang karena akan memicu kerugian bagi Angkasa Pura sebagai pengelola bandara, merugikan Pertamina sebagai penyedia utama avtur,” katanya.
Syaiful juga mengatakan ada beberapa opsi yang bisa dilakukan agar tiket pesawat turun secara permanen. Di antaranya opsi PPN ditanggung pemerintah, menurunkan pajak avtur, dan membuka ruang penyediaan dan pengelolaan avtur agar tidak didominasi oleh satu pihak.
“Saya kira masih terbuka ruang bagi penurunan tiket pesawat secara permanen. Pemerintah kami rasa perlu mengajak pelaku industri penerbangan bicara bersama agar menemukan formulasi penurunan tiket yang bisa menguntungkan semua pihak,” pungkasnya.
Analis independen bisnis penerbangan nasional Gatot Rahardjo menilai bahwa pemerintah hanya mengincar pengurangan fuel surcharge dalam wacana penurunan harga tiket pesawat. Wacananya, pemerintah menurunkan harga sebelum libur Natal dan Tahun Baru (Nataru).
“Sebenarnya, yang diturunkan itu fuel surcharge, yang akan berimbas pada penurunan harga tiket pesawat karena ini merupakan komponen yang secara otomatis membuat harga tiket lebih murah,” kata Gatot saat dihubungi oleh Kabarbursa.com,
Bagi maskapai penerbangan sendiri, ujar Gatot, kemungkinan tidak akan begitu terdampak pada pemangkasan fuel surcharge. Ia juga tidak yakin akan mengurangi secara signifikan margin pendapatan maupun laba mereka.
“Penurunan harga tiket ini tidak akan banyak mempengaruhi margin maskapai. Sebab, beberapa biaya operasional lainnya seperti biaya PJP2U (biaya pelayanan penumpang di bandara) dan PSC (Passenger Service Charge) juga diturunkan 50 persen, serta harga avtur tetap stabil di 19 bandara utama,” jelas dia.(*)