KABARBURSA.COM - Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso memastikan harga eceran tertinggi (HET) Minyakita akan turun menjadi Rp15.700 per liter dari sebelumnya Rp17.100 per liternya.
"(Aturan berlaku hari ini), ya 2-3 hari sudah turun, sudah normal kembali," kata Budi dalam konferensi pers di kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta Pusat, Kamis, 28 November 2024.
Budi menjelaskan bahwa harga Minyakita di sebagian besar wilayah Jawa dan Sumatera saat ini masih sesuai dengan HET yang ditetapkan, yaitu Rp15.700 per liter. Pemantauan yang dilakukan melalui Sistem Pemantauan dan Pelaporan Kebutuhan Pokok (SP2KP) menunjukkan harga rata-rata di wilayah tersebut cukup stabil.
"Itu secara nasional, jadi kemarin kami ke Klaten, ke Jogja, dan kepantauan dari SP2KP itu memang rata-rata masih sesuai HET Rp15.700 per liter," jelasnya.
Namun, Budi mengakui adanya lonjakan harga di beberapa wilayah di Indonesia bagian timur, seperti Papua Tengah, di mana harga Minyakita mencapai Rp19.000 per liter. Ia menjelaskan bahwa kenaikan harga ini terutama disebabkan oleh masalah distribusi yang panjang dan kompleks.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Kementerian Perdagangan telah mengambil langkah cepat dengan mengirimkan tambahan pasokan ke daerah-daerah terdampak. Langkah ini diharapkan dapat membantu menstabilkan harga di wilayah yang mengalami lonjakan signifikan.
"Masalah ini memang terjadi di wilayah tertentu, Untuk itu kami segera mengirim pasukan tambahan ke daerah-daerah yang terdampak," tutupnya.
Dengan penurunan HET dan langkah-langkah penanganan distribusi, pemerintah berharap harga Minyakita di seluruh Indonesia dapat segera kembali stabil dan terjangkau oleh masyarakat.
Sebelumnya, peralihan kewajiban pasokan domestik atau domestic market obligation(DMO) dari minyak goreng curah ke Minyakita, menuai sorotan tajam.
Menurut Esther Sri Astuti Soeryaningrum Agustin, Direktur Program Indef, langkah ini bisa memperlihatkan pergeseran posisi pemerintah dari sekadar regulator menjadi pemain aktif dalam industri minyak goreng. Akibatnya, kebijakan berpotensi bias dan memunculkan oligopoli.
Esther menegaskan, dalam konteks teori ekonomi, industri yang hanya didominasi segelintir pemain cenderung membentuk harga yang terkonsentrasi.
Dengan demikian, potensi oligopoli pun semakin nyata. “Dalam teori ekonomi, semakin sedikit pemain di industri, semakin terpusat harga yang terbentuk. Hal ini bisa memunculkan kartel. Solusinya, perbanyak pemain di industri minyak goreng agar persaingan lebih sehat,” ungkapnya.
Lebih jauh, Esther menyoroti bahwa perubahan regulasi ini bisa mengindikasikan adanya upaya pemerintah untuk menguasai pasar secara langsung, padahal semestinya tugas tersebut diemban oleh BUMN yang memang ditugaskan untuk menjalankan fungsi sebagai agen pemerintah dalam penyediaan barang publik, sembari tetap meraup profit.
Bagi Esther, tanggung jawab dalam mengelola dan menguasai pasar seharusnya sepenuhnya berada di tangan BUMN, bukan pemerintah secara langsung. “Ini tanggung jawab BUMN, bukan pemerintah. Dalam teorinya saja sudah keliru, apalagi ketika regulator dan pemain berada di posisi yang sama, kebijakan bisa sangat bias,” tegasnya.
Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan telah resmi mengeluarkan Permendag No. 18/2024, yang mengatur tata kelola minyak goreng sawit dalam bentuk kemasan Minyakita. Regulasi ini mengubah DMO minyak goreng rakyat yang semula berbentuk minyak goreng curah menjadi Minyakita, dan mulai berlaku sejak 14 Agustus 2024.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Moga Simatupang, menyebutkan bahwa perubahan ini bertujuan untuk mendorong realisasi DMO yang tengah menurun, seiring dengan melemahnya permintaan ekspor produk turunan kelapa sawit serta naiknya harga CPO.
“Ini langkah untuk menyesuaikan dengan dinamika pasar, termasuk harga CPO yang meningkat,” ujarnya dalam konferensi pers.
Pada 2022 silam, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa salah satu faktor penyebab kelangkaan Minyakita adalah penurunan realisasi suplai dalam negeri yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebelum melakukan ekspor, atau domestic market obligation (DMO), sejak November lalu.
Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menyebutkan faktor lain. Ia mengungkapkan adanya “perubahan regulasi” yang memaksa produsen “mengalihkan produksi Minyakita ke minyak curah”.
Menurut Sahat, produsen mengeluhkan biaya produksi yang lebih tinggi untuk minyak goreng Minyakita dibandingkan dengan minyak curah.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengumumkan peluncuran Golden Visa di Jakarta, sementara di tengah antrean BBM bersubsidi, wacana pembatasan BBM bersubsidi masih menjadi topik hangat. (*)