Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kenaikan PPN Kemungkinan Ditunda, ini Penjelasan Luhut

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Kenaikan PPN Kemungkinan Ditunda, ini Penjelasan Luhut

KABARBURSA.COM - Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen kemungkinan akan ditunda.

Penundaan itu untuk memberikan waktu terkait dengan perhitungan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat yang terdampak.

Sebelumnya, pemerintah berencana menerapkan PPN 12 persen pada 1 Januari 2025.

“Penerapan PPN 12 persen hampir pasti akan diundur, agar program stimulus ini bisa berjalan terlebih dahulu,” kata Luhut saat ditemui di TPS 004, Kelurahan Kuningan Timur, Jakarta Selatan, Rabu, 27 November 2024.

Dijelaskan Luhut, pemerintah saat ini sedang menghitung jumlah bansos yang akan diberikan. Dia menyebut, pemberian bansos diperkirakan berupa subsidi listrik.

Adapun yang berhak mendapatkan bansos ini adalah golongan masyarakat menengah dan bawah.

“PPN 12 persen harus disertai dengan stimulus untuk masyarakat yang ekonominya tertekan, terutama bagi mereka yang mungkin sedang kesulitan. Saat ini perhitungan sedang dilakukan, baik untuk kelas menengah maupun bawah,” ujar Luhut.

Mengenai alasan pemberian bansos dalam bentuk subsidi listrik, bukan berupa bantuan langsung tunai (BLT). Langkah ini diambil untuk menghindari penyalahgunaan bantuan yang bisa terjadi jika diberikan langsung ke masyarakat.

“Jika bantuan diberikan langsung, ada risiko penyalahgunaan. Jadi kami pertimbangkan untuk menyalurkannya melalui subsidi listrik, mungkin dengan batasan penggunaan listrik untuk yang pemakaian 1.300 hingga 1.200 Watt ke bawah. Semua perhitungan ini masih dalam proses,” jelasnya.

Mengenai anggaran untuk bansos ini, Luhut memastikan bahwa anggaran negara melalui APBN mencukupi. Ia mengungkapkan, penerimaan pajak yang baik memungkinkan negara untuk mengalokasikan dana hingga ratusan triliun untuk program ini.

“APBN kita cukup kuat, penerimaan pajak kita juga bagus. Ada ratusan triliun yang bisa digelontorkan untuk mendukung kebijakan ini,” tegas Luhut.

“Namun, yang penting adalah memastikan bantuan ini efisien dan tepat sasaran, sesuai dengan harapan Presiden,” pungkasnya.

Alasan Kenaikan PPN harus Ditunda

Sementara itu, Pengelola pusat perbelanjaan mengemukakan tiga alasan penting mengapa pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang dijadwalkan mulai 1 Januari 2025.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, kebijakan ini berpotensi memperlambat pertumbuhan sektor ritel dan semakin menekan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Alphonzus menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa kenaikan PPN sebaiknya ditunda. Pertama, ia menilai kenaikan PPN pasti akan menyebabkan harga barang dan produk naik.

“Harga barang akan semakin mahal, dan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah yang sudah tertekan akan semakin kesulitan,” ujarnya di sela-sela acara ‘Klingking Fun’ di Jakarta, Rabu, 27 November 2024.

Menurut Alphonzus, sebenarnya tarif PPN di Indonesia sudah cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Dengan begitu, tidak ada alasan mendesak untuk segera menaikkan tarif tersebut.

“Tarif PPN di Indonesia tidak terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jadi tidak ada urgensi untuk menaikkannya,” tegasnya.

Alasan ketiga, menurut Alphonzus, adalah pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor ritel, yang masih belum optimal. Ia mengusulkan agar pertumbuhan sektor ini lebih dulu didorong, dan setelah itu tarif PPN dinaikkan.

“Pertumbuhan ekonomi dan transaksi ritel belum maksimal. Sebaiknya sektor ini didorong lebih dahulu, barulah kenaikan tarif PPN diterapkan. Jika tidak, ini justru akan menghambat pertumbuhan sektor perdagangan,” jelasnya.

Jika pemerintah tetap melanjutkan rencana kenaikan PPN, Alphonzus memprediksi dampaknya akan sangat terasa bagi sektor ritel, dengan pertumbuhan yang diperkirakan hanya akan mencapai satu digit, atau di bawah 10 persen.

Ia juga mencatat, meski ada kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang bisa membantu daya beli, hal ini tidak akan efektif jika PPN tetap dinaikkan.

“Kenaikan UMP bisa membantu, tapi kalau PPN naik, daya beli masyarakat akan tetap tertekan,” pungkas Alphonzus.

Sektor Pariwisata Terkena Dampaknya

Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Prof. Azril Azahari, menyoroti kebijakan kenaikan PPN sebesar 12 persen, memberikan dampak yang signifikan pada daya beli masyarakat, terutama di sektor pariwisata.

Azril menekankan bahwa meskipun kenaikan PPN terkesan kecil, tetapi dampaknya jauh lebih besar karena cara perhitungannya yang tidak linear.

“Jika PPN naik 1 persen, sebenarnya itu lebih dari 1 persen bagi total harga. Misalnya, jika harga suatu barang atau jasa adalah 100, dan naik 1 persen, total kenaikannya bisa mencapai 9 persen ketika dihitung secara keseluruhan. Jadi, meskipun angka kenaikan terlihat kecil, efeknya bisa sangat besar, terutama untuk sektor-sektor yang sangat bergantung pada konsumsi masyarakat, seperti pariwisata,” jelas Azril kepada Kabar Bursa di Jakarta, Rabu, 27 November 2024.

Azril mengungkapkan bahwa sektor pariwisata, yang melibatkan banyak komponen seperti hotel, restoran, dan transportasi, akan merasakan dampak langsung dari kenaikan PPN ini.

Harga yang lebih tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya berpotensi mengurangi minat wisatawan, baik domestik maupun internasional, untuk berkunjung ke destinasi wisata.

Hal ini terutama berisiko mengganggu sektor pariwisata selama libur akhir tahun dan Nataru (Natal dan Tahun Baru), yang biasanya menjadi puncak pergerakan wisatawan.

Lebih lanjut, Azril mengkritik kebijakan yang tidak memperhitungkan dampak jangka panjang bagi perekonomian, khususnya di sektor pariwisata. Ia menyarankan agar pemerintah melaksanakan kenaikan PPN secara bertahap, bukan langsung diterapkan dalam satu kali kenaikan besar.

“Kebijakan ini seharusnya bertahap, supaya masyarakat dan industri bisa beradaptasi dengan lebih baik. Jika diterapkan langsung, daya beli akan turun drastis, dan kita akan menghadapi potensi krisis ekonomi yang lebih dalam,” ujarnya.

Azril juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketidakpastian kebijakan pemerintah. Ia menilai bahwa kebijakan yang diambil untuk sementara waktu, seperti penurunan PPN yang hanya berlaku selama periode Nataru, tidak efektif dalam jangka panjang.

“Kebijakan yang hanya berlaku untuk waktu tertentu, seperti untuk mengangkat sektor pariwisata selama Nataru, justru berisiko merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah,” tambahnya.

Sebagai alternatif, Azril mengusulkan bahwa kebijakan fiskal yang lebih transparan dan berkelanjutan perlu diterapkan agar sektor pariwisata dapat tetap tumbuh tanpa dibebani dengan biaya yang terlalu tinggi.

“Kita membutuhkan kebijakan yang lebih konsisten, bukan hanya untuk jangka pendek, tapi yang bisa memberikan keuntungan jangka panjang bagi sektor pariwisata dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan,” pungkas Azril.

Menurut Azril, jika daya beli masyarakat menurun dan sektor pariwisata terdampak, maka tidak hanya industri pariwisata yang akan rugi, tetapi seluruh perekonomian Indonesia yang bergantung pada sektor ini juga akan merasakan efeknya.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar pemerintah lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang mempengaruhi sektor-sektor vital seperti pariwisata. (*)