KABARBURSA.COM - Sejarah kepemilikan saham DLTA (PT Delta Djakarta Tbk) oleh Pemprov DKI Jakarta, kembali mencuat usai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pramono Anung-Rano Karno unggul dalam quick count atau perhitungan cepat di Pilkada Jakarta 2024, Rabu, 27 November 2024.
Cerita dimulai dari kontroversi nasional, ketika Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 membuka peluang investasi pendirian pabrik miras di daerah tertentu. Perpres itu menciptakan kegaduhan publik, hingga akhirnya Presiden Joko Widodo mencabutnya.
Keterlibatan Pemprov DKI Jakarta di PT Delta Djakarta Tbk bermula pada tahun 1970, saat perusahaan ini diambil alih dari nasionalisasi. Awalnya, perusahaan ini berdiri di era Hindia Belanda pada tahun 1932 dengan nama Archipel Brouwerij NV, sebelum akhirnya menjadi perusahaan daerah milik Pemprov DKI Jakarta di bawah PT Budjaya Djaja.
Pada tahun 1984, perusahaan ini melantai di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (kini Bursa Efek Indonesia), dengan tujuan mendapatkan modal untuk ekspansi bisnis.
Enam tahun kemudian, San Miguel Group asal Filipina, masuk sebagai pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 58,33 persen.
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta memiliki 26,25 persen saham di PT Delta Djakarta Tbk, setara dengan 210 juta lembar saham. Sementara, sisanya dimiliki oleh publik.
Saat Pilkada DKI Jakarta pada 2017, cagub Anies Baswedan menjanjikan untuk melepas saham Pemprov DKI di PT Delta Djakarta. Anies menilai, kepemilikan pemerintah daerah di perusahaan pembuat bir kurang etis dan tidak memberikan manfaat signifikan.
Dia berpendapat, bahwa hasil penjualan saham lebih baik dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga, seperti air bersih dan fasilitas publik.
Namun, hingga masa jabatan Anies selesai, janji tersebut tidak terealisasi. Meski demikian, Anies pernah menegaskan bahwa dividen yang dihasilkan dari saham ini, yang rata-rata Rp38 miliar per tahun, tergolong kecil dibandingkan dengan APBD DKI Jakarta yang mencapai puluhan triliun rupiah.
Bahkan, Anies menyamakan nilai dividen tersebut dengan pajak yang pernah dibayarkan tempat hiburan Alexis sebelum ditutup.
Secara ekonomi, PT Delta Djakarta Tbk merupakan perusahaan yang hampir selalu mencetak laba setiap tahunnya. Pada tahun buku 2019, perusahaan membagikan dividen sebesar 98 persen dari total laba, dengan nilai Rp312,25 miliar.
Dari jumlah tersebut, Pemprov DKI menerima Rp81,9 miliar, yang langsung masuk ke kas APBD.
Namun, kontribusi dividen ini menjadi bahan perdebatan.
Beberapa pihak berpendapat bahwa dividen tersebut tidak signifikan jika dibandingkan dengan total pendapatan Pemprov DKI. Di sisi lain, kepemilikan saham ini memberikan aliran pendapatan pasif tanpa risiko yang berarti.
Jika memang saham ini dilepas oleh Pemprov DKI Jakarta, potensi kerugian pasti ada. Namun, potensi kerugian tersebut tergantung pada harga jual saham.
Begini penghitungannya:
Saat ini, Pemprov DKI Jakarta memiliki 26,25 persen saham PT Delta Djakarta Tbk (DLTA). Berdasarkan data yang terakhir tercatat, harga saham DLTA berada di kisaran Rp2.130 per saham.
Jika jumlah saham beredar adalah 1 miliar lembar saham, Pemprov DKI memiliki sekitar 262,5 juta lembar saham. Dengan begitu, nilai saham yang dimiliki Pemprov DKI pada harga saat ini adalah sekitar Rp558,38 miliar.
Jika Pemprov DKI menjual saham pada harga yang lebih rendah daripada harga perolehannya, maka kerugian yang dialami bisa dihitung berdasarkan selisih harga jual dengan harga perolehan saham tersebut.
Misalnya, jika Pemprov DKI membeli saham DLTA dengan harga yang lebih tinggi, seperti Rp3.000 per saham pada suatu waktu, maka kerugiannya adalah sekitar Rp228,75 miliar.
Namun, perhitungan ini bersifat estimasi dan bisa bervariasi tergantung pada harga perolehan saham sebelumnya, kondisi pasar pada saat penjualan, serta pengaruh faktor-faktor eksternal lainnya yang dapat mempengaruhi harga saham DLTA.
Jadi, kepemilikan saham Pemprov DKI di PT Delta Djakarta Tbk menjadi polemik yang mencerminkan dilema antara manfaat ekonomi dan tanggung jawab etis.
Di satu sisi, saham ini memberikan keuntungan berupa dividen yang masuk ke kas daerah. Namun, di sisi lain, ada tuntutan untuk melepas saham ini demi alasan etika dan prioritas pembangunan.
Hingga kini, perdebatan mengenai pelepasan saham terus berlanjut tanpa keputusan yang pasti. Pemprov DKI dihadapkan pada pilihan sulit: mempertahankan investasi yang menguntungkan atau memenuhi tuntutan masyarakat untuk mengalihkan fokus ke sektor yang lebih relevan dengan kebutuhan publik.(*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.