Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Menanti Reborn Industri Tekstil RI di 2025, Mungkinkah Terjadi?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 November 2024 | Penulis: Yunila Wati | Editor: Redaksi
Menanti Reborn Industri Tekstil RI di 2025, Mungkinkah Terjadi?

KABARBURSA.COM - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia merupakan sektor strategis yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.

Hingga kuartal pertama 2024, sektor ini menyumbang sekitar 1,2 persen terhadap total PDB Indonesia, dengan nilai ekspor mencapai USD13 miliar pada 2023. Hal ini menunjukkan peran pentingnya dalam menghasilkan devisa negara serta mendukung penyerapan tenaga kerja secara luas​.

Industri TPT juga merupakan salah satu sektor manufaktur yang memiliki potensi pertumbuhan besar di pasar domestik dan ekspor, terutama dengan tingginya permintaan di wilayah Asia, Timur Tengah, dan Amerika Serikat.

Namun, tantangan berupa biaya produksi yang tinggi, fluktuasi harga bahan baku, serta persaingan global menjadi perhatian yang mempengaruhi daya saing sektor ini​.

Salah satu pukulan besar pada industri ini adalah berhentinya operasi pabrik Asia Pacific Fiber Tbk (POLY) di Karawang, yang mengurangi produksi polyester nasional hingga lebih dari 12 ribu ton per bulan.

POLY menghentikan operasi pabriknya di Karawang pada tahun 2023. Penutupan ini terjadi karena perseroan menghadapi tantangan berat, termasuk beban utang yang signifikan.

Sebelum penutupan, POLY sudah berjuang dalam proses restrukturisasi keuangan untuk mengatasi tekanan keuangannya. Namun, langkah tersebut tampaknya tidak cukup untuk mempertahankan operasional pabrik di tengah kondisi yang sulit.

Hal yang sama terjadi pada PT Sri Rejeki Isman atau Sritex. Emiten berkode saham SRIL ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Januari 2022.

Keputusan didasarkan pada kegagalan Sritex dan anak perusahaannya memenuhi kewajiban pembayaran yang telah ditetapkan dalam putusan homologasi sebelumnya. Kondisi ini memperburuk tekanan yang sudah dialami perusahaan akibat pandemi COVID-19, persaingan produk impor, dan penurunan permintaan ekspor.

Masalah ini akhirnya memaksa perusahaan untuk mengurangi kapasitas produksi dan melakukan efisiensi di berbagai bidang

Namun, rendahnya serapan oleh industri hilir menunjukkan bahwa tantangan tidak hanya di sisi produksi tetapi juga permintaan. Industri pakaian jadi, yang menjadi salah satu pengguna utama polyester, masih mencatat serapan yang sangat rendah, menambah kompleksitas situasi.

Utilisasi di Bawah 50 Persen

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional sedang menghadapi tantangan berat, dengan tingkat utilisasi yang kini berada di bawah 50 persen.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengungkapkan bahwa tekanan bisnis yang dihadapi sektor ini berasal dari berbagai kebijakan domestik dan faktor eksternal yang melemahkan daya saing industri.

Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal 2025 serta dinamika Upah Minimum Provinsi (UMP), diperkirakan akan semakin menekan daya saing produk lokal.

Biaya produksi yang tinggi membuat harga produk domestik sulit bersaing dengan barang impor, khususnya dari Tiongkok, yang membanjiri pasar lokal dengan harga lebih murah.

Jemmy menyebutkan, situasi ini bukan hanya menghentikan pertumbuhan, tetapi juga memicu kontraksi di sektor TPT. Hal ini dibuktikan dengan industri mencatat stagnasi hingga akhir 2024.

Untuk mengatasi hal ini, ia menekankan perlunya regulasi khusus yang berorientasi pada pemulihan sektor TPT. Salah satu usulan adalah meninjau dan membatasi produk-produk impor tertentu, terutama dari Tiongkok, guna meningkatkan utilisasi pabrik-pabrik dalam negeri.

Jemmy juga menyerukan adanya koordinasi antara pelaku usaha dan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri TPT. Upaya ini mencakup pengaturan impor yang lebih ketat dan langkah strategis lainnya untuk meningkatkan daya saing, baik di pasar domestik maupun ekspor.

Kolaborasi lintas kementerian diharapkan dapat menciptakan solusi jangka panjang untuk menyelamatkan sektor ini yang berperan penting dalam mendukung ekonomi nasional dan menyerap tenaga kerja secara luas.

Mungkinkah Reborn Terjadi?

Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia mencapai masa kejayaannya pada periode 1980-an hingga awal 2000-an. Sektor ini menyumbang sekitar 5 persen hingga 10 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menjadi salah satu sektor ekspor utama.

Pada puncaknya, industri TPT Indonesia juga menyerap jutaan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Ekspor tekstil Indonesia, terutama pakaian jadi, mencapai nilai lebih dari USD5 miliar per tahun, dengan pasar utama di Amerika Serikat dan Eropa.

Pertanyaannya sekarang, mungkinkah reborn industri TPT terjadi di 2025?

Menanggapi ini, peneliti kebijakan publik dari Pusat Riset Kebijakan Publik Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro, mengatakan kebijakan fiskal yang menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen perlu mendapat sorotan tajam.

Menurut Riko, kebijakan ini dapat memperburuk keadaan ekonomi Indonesia yang saat ini sudah dilanda berbagai tantangan.

Devaluasi mata uang yang terjadi tiga kali berturut-turut, bersama dengan meningkatnya tingkat kriminalitas dan pengangguran, menjadi bukti bahwa instrumen ekonomi nasional tidak berjalan optimal.

"Ada baiknya kebijakan PPN 12 persen ini ditinjau ulang, karena penerapannya dapat menambah beban ekonomi yang sudah tertekan. Sektor industri tekstil, yang menjadi salah satu sektor penting di Indonesia, yang sepertinya akan sangat terdampak," kata Riko kepada Kabarbursa.com, Rabu, 27 November 2024.

Dalam konteks ini, kebangkrutan PT Sritex menjadi contoh nyata dari kondisi industri tekstil yang semakin memburuk. Banyak pelaku industri tekstil, yang umumnya berorientasi ekspor, merasa tidak mendapat dukungan yang memadai dari kebijakan fiskal yang ada.

Untuk itu, ia mengusulkan agar pemerintah menunda penerapan PPN 12 persen untuk menghindari dampak lebih lanjut yang dapat memperburuk kondisi ekonomi.

"Rencana penerapan PPN 12 persen di awal 2025 itu berbarengan dengan momen puasa dan Idul Fitri. Jika benar-benar diterapkan, masyarakatlah yang akan semakin tertekan. Jadi, ada baiknya jika rencana tersebut tidak," sarannya.

Lebih lanjut Rico menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang menyelamatkan, seperti pembatasan impor produk luar atau pengenaan tarif impor terhadap kain-kain atau pakaian dari luar negeri. Bila perlu, menghemat pengerjaan proyek-proyek besar seperti IKN, proyek mercusuar, hingga kereta cepat.

"Fokus saja pada hal-hal yang fundamental," ucap dia.

Kemudian, meskipun PPN dinaikkan, hasil dari kenaikan tersebut hanya akan menambah pendapatan sekitar Rp80-100 miliar. Angka tersebut tentu saja tidak sebanding dengan potensi kerugian ekonomi yang lebih besar, yang dihasilkan dari PPN 12 persen ini.

Jika kebijakan ini tetap dilaksanakan, sektor industri seperti tekstil yang sudah tertekan bisa semakin terpuruk, yang akhirnya berdampak pada daya saing dan pengurangan lapangan kerja.

Dalam keadaan ini, kebijakan fiskal yang lebih mendukung, bukan hanya menaikkan tarif pajak, diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan.

Namun, meskipun sektor Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia menghadapi berbagai tantangan besar, seperti rendahnya tingkat utilisasi dan tekanan akibat kebijakan fiskal yang termasuk kenaikan PPN, masih ada harapan untuk kebangkitan pada tahun 2025.

Dengan catatan, pemerintah mengambil langkah tepat untuk mengatasinya. Penundaan kenaikan PPN serta kebijakan yang mendukung industri berorientasi ekspor dapat memberi ruang bagi pemulihan.

Jadi, tanpa dukungan kebijakan yang kuat dan sinergi antara sektor pemerintah dan pelaku usaha, industri ini mungkin kesulitan untuk benar-benar bangkit kembali pada 2025.(*)