Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kenaikan PPN 12 Persen Berisiko Turunkan Sektor Pariwisata

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 November 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Kenaikan PPN 12 Persen Berisiko Turunkan Sektor Pariwisata

KABARBURSA.COM - Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia, Prof. Azril Azahari, menyoroti kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen, memberikan dampak yang signifikan pada daya beli masyarakat, terutama di sektor pariwisata.

Azril menekankan bahwa meskipun kenaikan PPN terkesan kecil, tetapi dampaknya jauh lebih besar karena cara perhitungannya yang tidak linear.

“Jika PPN naik 1 persen, sebenarnya itu lebih dari 1 persen bagi total harga. Misalnya, jika harga suatu barang atau jasa adalah 100, dan naik 1 persen, total kenaikannya bisa mencapai 9 persen ketika dihitung secara keseluruhan. Jadi, meskipun angka kenaikan terlihat kecil, efeknya bisa sangat besar, terutama untuk sektor-sektor yang sangat bergantung pada konsumsi masyarakat, seperti pariwisata,” jelas Azril kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 27 November 2024.

Azril mengungkapkan bahwa sektor pariwisata, yang melibatkan banyak komponen seperti hotel, restoran, dan transportasi, akan merasakan dampak langsung dari kenaikan PPN ini.

Harga yang lebih tinggi akan menurunkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya berpotensi mengurangi minat wisatawan, baik domestik maupun internasional, untuk berkunjung ke destinasi wisata.

Hal ini terutama berisiko mengganggu sektor pariwisata selama libur akhir tahun dan Nataru (Natal dan Tahun Baru), yang biasanya menjadi puncak pergerakan wisatawan.

Lebih lanjut, Azril mengkritik kebijakan yang tidak memperhitungkan dampak jangka panjang bagi perekonomian, khususnya di sektor pariwisata. Ia menyarankan agar pemerintah melaksanakan kenaikan PPN secara bertahap, bukan langsung diterapkan dalam satu kali kenaikan besar.

"Kebijakan ini seharusnya bertahap, supaya masyarakat dan industri bisa beradaptasi dengan lebih baik. Jika diterapkan langsung, daya beli akan turun drastis, dan kita akan menghadapi potensi krisis ekonomi yang lebih dalam," ujarnya.

Azril juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketidakpastian kebijakan pemerintah. Ia menilai bahwa kebijakan yang diambil untuk sementara waktu, seperti penurunan PPN yang hanya berlaku selama periode Nataru, tidak efektif dalam jangka panjang.

"Kebijakan yang hanya berlaku untuk waktu tertentu, seperti untuk mengangkat sektor pariwisata selama Nataru, justru berisiko merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah," tambahnya.

Sebagai alternatif, Azril mengusulkan bahwa kebijakan fiskal yang lebih transparan dan berkelanjutan perlu diterapkan agar sektor pariwisata dapat tetap tumbuh tanpa dibebani dengan biaya yang terlalu tinggi.

"Kita membutuhkan kebijakan yang lebih konsisten, bukan hanya untuk jangka pendek, tapi yang bisa memberikan keuntungan jangka panjang bagi sektor pariwisata dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan," pungkas Azril.

Menurut Azril, jika daya beli masyarakat menurun dan sektor pariwisata terdampak, maka tidak hanya industri pariwisata yang akan rugi, tetapi seluruh perekonomian Indonesia yang bergantung pada sektor ini juga akan merasakan efeknya.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar pemerintah lebih berhati-hati dalam merumuskan kebijakan perpajakan yang mempengaruhi sektor-sektor vital seperti pariwisata.

Pajak Pertambahan Nilai

Komisi XI DPR RI menegaskan bahwa penundaan penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen tidak mengharuskan adanya perubahan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Anggota Komisi XI Dolfie menjelaskan bahwa penurunan tarif PPN masih memungkinkan asalkan berada dalam batas yang sudah ditetapkan, yakni antara 5 hingga 15 persen.

“Tidak perlu ada perubahan pada undang-undang tersebut, karena sudah ada ketentuan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menurunkan tarif, asalkan mendapatkan persetujuan dari DPR,” kppppppata Dofie saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

Semakin Memperlebar Kesenjangan Sosial

Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 diyakini akan melemahkan daya beli masyarakat cukup signifikan.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen diyakini juga akan menjauhkan dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada meningkatnya harga barang dan jasa. Sementara itu, kenaikan upah minimum yang diperkirakan hanya berada di kisaran 1 hingga 3 persen dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Akibatnya, daya beli masyarakat terus merosot.

“Penurunan daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam kelangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor,” kata Said Iqbal, Rabu, 20 November 2024.

Tak hanya melemahkan daya beli masyarakat kecil, naiknya tarif PPN juga berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.

“Dengan beban PPN yang meningkat, masyarakat kecil harus mengeluarkan lebih banyak untuk pajak tanpa ada peningkatan pendapatan yang memadai,” ujar Said.

“Bagi kami, kebijakan ini mencerminkan pola kolonialisme modern yang menekan rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak,” sambungnya.

KSPI pun menuntut empat hal kepada pemerintah. Pertama, meningkatkan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 hingga 10 persen agar daya beli masyarakat dapat terangkat. Kedua, menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor.

“Ketiga, membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dan keempat, meningkatkan rasio pajak, tapi dengan cara membebani rakyat kecil, melainkan melalui perluasan jumlah wajib pajak dan pengoptimalan penagihan pajak kepada korporasi besar dan individu kaya,” tuturnya.

Ancam Gelar Aksi Mogok Nasional

Said Iqbal menegaskan, jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen tanpa diimbangi kenaikan upah minimum sesuai tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya mengancam akan menggelar aksi mogok nasional yang melibatkan lima juta buruh di seluruh Indonesia.

“Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama setidaknya dua hari, antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh,” pungkas Said Iqbal.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir enggan berandai-andai ihwal ketetapan pemerintah tentang kenaikan PPN 12 persen. Ia mengaku tengah menanti usulan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Jangan berandai-andai, tidak usah kita berkonotasi yang nanti ada kenaikkan begini-begitu. Pasti Menteri Keuangan pun kalau mengusulkan ke Pak Presiden pasti ada dasar-dasarnya,” kata Adies kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 19 November 2024.(*)