Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Penerimaan Pajak 2024 Berpotensi Shortfall, Apa Kabar PPN-Tax Amnesty?

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 27 November 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Penerimaan Pajak 2024 Berpotensi Shortfall, Apa Kabar PPN-Tax Amnesty?

KABARBURSA.COM - Pemerintah diprediksi akan mengejar target penerimaan perpajakan dengan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan meluncurkan kembali program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid baru. Namun, lembaga riset ekonomi Bright Institute menilai bahwa kombinasi kebijakan ini tidak hanya berisiko merusak reformasi perpajakan, tetapi juga dapat membawa dampak buruk dalam jangka panjang.

Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak tahun 2024 berpotensi mengalami shortfall, yakni realisasi yang tidak mencapai target. Hal ini akan memperberat target penerimaan pajak pada tahun 2025 dibandingkan dengan proyeksi awal pemerintah.

“Jangankan untuk mencapai target peningkatan, beberapa sumber penerimaan bahkan bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya,” ujar Awalil dalam webinar yang dilaksanakan pada Selasa 24 November 2024, malam. 

Berdasarkan data hingga akhir Oktober 2024, Bright Institute mengidentifikasi adanya indikasi bahwa penerimaan dari PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) tidak akan memenuhi target yang ditetapkan. Pajak Penghasilan (PPh) diprediksi hanya mencapai Rp1.060 triliun, atau sekitar 93 persen dari target dalam APBN 2024. PPN dan PPnBM diperkirakan hanya mencapai Rp763 triliun, atau sekitar 94 persen dari target.

Secara keseluruhan, penerimaan pajak tahun 2024 diproyeksikan hanya meningkat 1,33 persen dibandingkan tahun 2023. Angka ini jauh lebih rendah dari target pemerintah yang mencapai 3,0 persen dalam Outlook Nota Keuangan 2025, apalagi dibandingkan target awal APBN 2024 sebesar 9,0 persen.

Rendahnya realisasi penerimaan pajak tahun 2024 membuat target penerimaan untuk 2025 semakin tidak realistis. Bright Institute memproyeksikan pemerintah perlu meningkatkan penerimaan pajak hingga 11,48 persen pada tahun 2025 untuk mencapai target dalam APBN. Angka ini dinilai sulit tercapai tanpa langkah ekstrem, seperti kenaikan pajak besar-besaran.

"Padahal, pemerintahan baru Pak Prabowo sudah berencana untuk belanja jauh lebih besar dengan program-program barunya. Keadaan ini membuat pemerintah terlihat desperate untuk menaikkan pendapatan, sehingga menjadi basis untuk kembali menaikkan PPN dan tax amnesty yang baru dua tahun lalu dilaksanakan lagi,” ujar Awalil. 

Bright Institute memperkirakan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 dapat memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp75 triliun, atau meningkat 15 persen dibandingkan realisasi 2024. Namun, angka ini dinilai tidak cukup untuk memenuhi target APBN, yang memerlukan kenaikan penerimaan PPN setidaknya 23,93 persen.

“Apalagi meningkatkan PPN sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi sehingga sangat mungkin untuk tidak mencapai tambahan Rp75 triliun tersebut,” tambah Awalil.

Pajak untuk Orang Kaya

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan menilai kenaikan PPN akan berdampak luas pada masyarakat, termasuk kelas bawah, menengah, hingga atas. Sebagai alternatif, ia mengusulkan penerapan pajak bagi kalangan super kaya.

“Jika tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara, mengapa tidak mempertimbangkan pajak untuk kelompok super kaya?” kata Fadhil dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 yang digelar INDEF di Jakarta, Kamis, 21 November 2024.

Fadhil menekankan, banyak negara telah mengadopsi pajak untuk orang-orang kaya sebagai bentuk pemerataan ekonomi. Kebijakan ini dinilai mampu menjaga keseimbangan tanpa membebani perekonomian secara keseluruhan.

“Pajak bagi orang super kaya perlu ditingkatkan. Selain adil, penerapannya tidak akan terlalu memengaruhi ekonomi secara umum,” tuturnya.

Selain itu, Fadhil juga mengusulkan penerapan windfall profit tax, yakni pajak yang dikenakan pada industri atau komoditas yang meraih keuntungan besar tanpa upaya signifikan. Ia mencontohkan sektor mineral dan batu bara (minerba) yang kerap menikmati lonjakan harga akibat faktor eksternal, seperti perang atau kondisi global lainnya.

“Ketika perusahaan mendapat keuntungan besar karena faktor luar, seperti kenaikan harga minyak atau batu bara, sudah sewajarnya mereka dikenakan pajak tambahan,” tegasnya.

Fadhil menilai, penerapan pajak seperti ini dapat menjadi langkah efektif untuk menambah pendapatan negara tanpa membebani masyarakat luas.

Seperti Apa Pelaksanaan Tax Amnesty?

Konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menilai bahwa pelaksanaan Tax Amnesty secara berulang dapat menciptakan dampak negatif bagi kepatuhan pajak. Menurutnya, kebijakan semacam ini berpotensi menanamkan persepsi keliru di kalangan wajib pajak, terutama bagi mereka yang kurang memahami aturan perpajakan.

“Tax Amnesty yang dilakukan berulang kali dapat menjadi preseden buruk. Ini menciptakan kesan bahwa kepatuhan pajak bisa ditunda hingga ada program serupa,” kata Raden, Selasa, 19 November 2024.

Ia mengisahkan pengalamannya menangani seorang klien yang salah memahami kewajiban pajak. Klien tersebut mengira pelaporan pajak hanya perlu dilakukan setiap lima tahun, karena selama ini hanya dihubungi oleh Account Representative (AR) Direktorat Jenderal Pajak saat ada program seperti Tax Amnesty atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

“Dia terkejut ketika dipanggil untuk melapor SPT Tahunan pada 2024, padahal sebelumnya mengira kewajiban pajaknya masih jauh dari jatuh tempo,” jelasnya.

Secara akademis, Raden menambahkan, pengampunan pajak yang dilakukan secara berulang dapat merusak fondasi kepatuhan pajak. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menurunkan rasa tanggung jawab wajib pajak untuk memenuhi kewajiban secara rutin.

“Berdasarkan penelitian, Tax Amnesty berkali-kali memberikan dampak negatif bagi kepatuhan pajak,” ujarnya.

Pada 2016, pemerintah sempat menegaskan bahwa Tax Amnesty hanya akan dilakukan satu kali dalam sejarah. Namun, kebijakan serupa kembali muncul pada 2021 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Meski berbeda nama, substansinya hampir sama, yakni memberi kesempatan wajib pajak melaporkan harta yang belum terdaftar dengan tarif yang lebih ringan.

Rencana pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan perpajakan tetap adil sekaligus mendorong tingkat kepatuhan yang lebih baik. (*)