KABARBURSA.COM - Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu, menilai penahanan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 6 persen dan kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen pada tahun 2025 mengakibatkan dampak yang kompleks.
“Kompleksitas interaksi antara kebijakan penahanan suku bunga dan kenaikan PPN terhadap industri otomotif nasional terletak pada dinamika yang saling memengaruhi antara faktor makro ekonomi dan mikro ekonomi,” kata Yannes kepada Kabarbursa.com, Selasa, 26 November 2024.
Menurutnya, penurunan suku bunga berpotensi meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara, untuk kenaikan PPN 12 persen, justru menggerus daya beli.
Sedangkan untuk faktor lain seperti tingkat inflasi, ketersediaan komponen dan harga bahan bakar berperan menentukan kinerja industri otomotif. Menurutnya, dampak akhir dari kedua kebijakan tersebut membuat kinerja industri otomotif sulit diprediksi dan bergantung kepada kombinasi dari berbagai variabel.
“Secara lebih spesifik, kompleksitas ini muncul karena sisa konsumen middle income class yang masih memiliki daya beli dan preferensi yang beragam serta responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi,” jelasnya.
Sementara itu, kenaikan harga produk otomotif mendorong konsumen mencari alternatif, namun suku bunga yang rendah justru mendorong masyarakat berkeinginan membeli mobil baru.
Terlebih lagi, industri otomotif masih harus dihadapkan kepada perkembangan ekonomi global, konflik geopoliti dan fluktuasi nilai tukar memberi dampak tidak langsung kepada industri otomotif dalam negeri.
“Ketika PPN naik, secara otomatis harga jual kendaraan juga akan meningkat. Hal ini akan berdampak langsung kepada daya beli konsumen. terutama bagi konsumen dengan anggaran terbatas, kenaikan harga yang cukup signifikan membuat mereka (konsumen) menunda atau membatalkan niat beli kendaraan baru,” jelasnya.
Sementara itu, pengamat pasar modal dan Founder WH Project William Hartanto menilai ancaman kelangkaan semikonduktor akibat perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) bisa menjadi masalah di sektor elektronik dan otomotif.
“Semikonduktor itu mikrochip yang punya peran besar terhadap produk-produk otomotif dan mobil. Jadi kemungkinan efeknya adalah produksi mobil baru akan berkurang dan membuat lesu kinerja emiten di dari sektor otomotif,” kata William kepada kabarbursa.com, beberapa waktu lalu.
Kelangkaan semikonduktor, lanjut William, memang membawa dampak buruk dari sisi produsen otomotif tapi membawa dampak positif kepada penjualan mobil bekas. Karena, harga mobil bakal meningkat ketika terjadi kelangkaan semi konduktor.
Selain itu, semikonduktor juga merupakan komponen penting yang dibutuhkan dalam produksi mobil. Sehingga kelangkaan semi konduktor dapat mengakibatkan terjadinya penurunan produksi.
“Bicara dari sisi daya beli masyarakat, ketika kelangkaan semi konduktor maka yang naik adalah dari sisi kendaraan-kendaraan second. Jadi plus minusnya adalah dari sisi permintaan kendaraan,” jelasnya.
Kendati demikian, ia mempertanyakan apakah kelangkaan ini dapat dijawab oleh produsen kendaraan dengan cara menciptakan sendiri atau memproduksi semikonduktor di dalam negeri untuk mengatasi potensi kelangkaan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengulas berbagai potensi kolaborasi ekonomi dengan Duta Bisnis Australia untuk Indonesia, Jennifer Westacott. Salah satu yang dibahas adalah peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia untuk pengembangan industri semikonduktor.
“Indonesia membuka peluang kerja sama bilateral, terutama untuk mempersiapkan SDM untuk industri semikonduktor,” ujar Airlangga Hartarto.
Rencana ini, lanjut Airlangga, diharapkan menjadi bagian dari dukungan Technical and Further Education (TAFE) atau pendidikan vokasi dari pemerintah Australia.
Airlangga juga menyampaikan bahwa diskusi mencakup berbagai peluang kolaborasi di sektor energi dan mineral, seperti pengembangan Carbon Capture Storage (CCS), proses transisi dan transmisi energi, praktik pertambangan ramah lingkungan, teknologi batubara hijau, dan amonia biru.
Selain itu, potensi kerja sama di sektor informatika, pertanian, pendidikan, dan kesehatan turut dibahas dalam pertemuan tersebut.
Airlangga menekankan perhatian pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan regulasi mengenai CCS guna mendorong kolaborasi yang lebih intensif antara kedua negara.
Dia juga menekankan pentingnya keberlanjutan dari berbagai komitmen kerja sama yang telah terjalin, seperti kerja sama produk susu dan olahannya, serta ternak unggas.
Airlangga berharap hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia akan terus erat untuk mendukung dan menyukseskan transisi pemerintahan baru pada Oktober mendatang.
Sementara itu, Westacott menyambut baik berbagai potensi kolaborasi kedua negara dan menawarkan kerja sama joint venture di industri semikonduktor, khususnya dalam lini industri packaging.
“Kunjungan ini bertujuan membahas berbagai potensi kerja sama Indonesia dan Australia, termasuk sektor pertanian, pendidikan, transisi energi, serta bidang kesehatan,” ujar Westacott.(*)