KABARBURSA.COM - Pemerintah berencana menaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12 persen pada awal 2025. Kebijakan ini menuai kritik dari pelaku usaha UMKM. Mereka khawatir regulasi tersebut akan mempengaruhi suplai dan permintaan barang penjualan.
Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada pelaku UMKM. Anggota Komisi VI DPR RI, Amin Ak, mengatakan pemerintah perlu mempertimbangkan tarif khusus pada UMKM.
"(Kasih) tarif PPN lebih rendah untuk UMKM. Pemerintah dapat mempertimbangkan tarif PPN khusus bagi UMKM, misalnya 6 persen hingga 10 persen sehingga beban tidak terlalu berat dibandingkan perusahaan besar," kata Amin kepada KabarBursa.com, Senin, 25 November 2024.
Selain tarif rendah, pemerintah juga perlu memberikan insentif seperti pengurangan pajak penghasilan (PPh) serta subsidi biaya produksi yang dapat membantu UMKM tetap kompetitif. Hal lain yang perlu diberikan adalah edukasi, pelatihan, administrasi, hingga manajemen pajak bagi pelaku UMKM untuk mampu beradaptasi dengan kenaikan PPN.
Tak hanya itu, Amin menyarankan pemerintah memberikan subsidi digitalisasi. Langkah digitalisasi perlu dilakukan untuk mendorong pemanfaatan teknologi dalam pencatatan UMKM. "UMKM dapat didorong untuk menggunakan teknologi dalam pencatatan transaksi dan manajemen pajak, misalnya melalui subsidi perangkat lunak akuntansi," katanya.
[caption id="attachment_101888" align="alignnone" width="1728"] Jumlah UMKM dan pembagian UMKM digital dan non-digital.[/caption]
Terakhir, Amin menilai pemerintah perlu memberi akses pembiayaan murah. Hal itu dinilai perlu untuk mempermudah akses kredit dengan bunga rendah yang dapat membantu UMKM mengatasi dampak kenaikan biaya operasional akibat tingginya ketetapan PPN.
Sejumlah sektor diperkirakan bakal terkena dampak negatif akibat Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025. Head of Research NH Korindo Sekuritas, Liza Camelia mengatakan kenaikan PPN kemungkinan akan mengganggu kinerja barang-barang mewah di sektor otomotif maupun properti.
“Yang kena (imbas PPN 12 persen) itu barang-barang mahal seperti mobil dan properti,” ujarnya kepada KabarBursa.com dikutip, Jumat, 22 November 2024.
Liza menjelaskan PPN sebesar 12 persen bisa membuat daya beli masyarakat tergerus. Sebab, barang-barang yang terdampak kenaikan tersebut bisa lebih mahal. Apalagi untuk properti, kata dia, sektor ini masih memiliki kinerja yang lemah dan diperkirakan masih akan terjadi hingga pertengahan atau akhir 2025 mendatang.
Padahal, sektor properti baru saja tersengat sentimen positif setelah adanya wacana program tiga juta rumah hingga turunnya suku bunga acuan atau BI Rate. “Properti memang kita lihat so far masih agak lemah, mungkin sampai 2025. I’m not sure pertengahan atau akhir, menunggu suku bunga lebih banyak turun lagi dan insentif diperpanjang oleh pemerintah,” jelas Liza.
Di sisi lain, Liza beranggapan jika kenaikan PPN tahun depan sebuah delima bagi pemerintah. Di samping ancaman turunnya daya beli masyarakat, kenaikan PPN bisa untuk menalangi defisit anggaran yang mungkin akan terjadi akibat salah satunya kebijakan makan siang gratis.
Anggota Komisi XI DPR RI, Muhammad Kholid, sebelumnya meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meninjau ulang urgensi kenaikan tarif PPN 12 persen yang rencananya berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang. PPN akhirnya naik ke 11 persen pada 1 April 2022.
Kholid menyebut peninjauan ulang rencana perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat. Disamping itu, dia menyebut daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memukul ekonomi masyarakat.
“Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” kata Kholid dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, dikutip Sabtu 16 November 2024.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
“Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024,” ungkapnya.
Kholid juga mengingatkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Artinya, dia menilai ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.
Sementara menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per Oktober 2024 ada sebanyak 59.796 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), naik 31,13 persen dari tahun lalu. Data BPS, per Agustus 2024 juga menunjukan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran juga naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Tidak hanya itu, kata Kholid, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Menurutnya, kondisi tersebut menandai bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. “Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” katanya.(*)