KABARBURSA.COM - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menegaskan bahwa OJK terus memantau dan mengawasi kinerja perbankan melalui berbagai instrumen, salah satunya Survei Orientasi Bisnis Perbankan OJK (SBPO) yang dilakukan setiap triwulan.
Pada SBPO triwulan IV-2024, yang melibatkan 93 bank sebagai responden, Indeks Orientasi Bisnis Perbankan (IBP) tercatat di angka 66, menunjukkan optimisme tinggi terhadap kinerja sektor perbankan.
Faktor utama yang mendorong optimisme ini adalah ekspektasi peningkatan kondisi ekonomi domestik, proyeksi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), dan kemungkinan penurunan suku bunga BI-Rate.
“PDB yang diperkirakan cukup baik didorong oleh konsumsi masyarakat yang meningkat selama periode Natal dan Tahun Baru (Nataru),” kata Dian, Senin, 25 November 2024.
Selain itu, belanja pemerintah dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada November 2024 dinilai memberikan dampak positif. Kampanye calon kepala daerah meningkatkan aktivitas ekonomi lokal, peredaran uang, serta lapangan kerja sementara.
Meskipun optimisme tinggi, sektor perbankan tetap menghadapi risiko terkendali. Indeks Persepsi Risiko (IPR) berada di level 55, menunjukkan risiko kredit dan pasar masih dalam batas yang dapat dikelola. Selain itu, stabilitas likuiditas juga diperkirakan terjaga, dengan penurunan biaya dana (cost of funds) yang diharapkan mendukung rentabilitas bank.
Sementara, Dana Pihak Ketiga (DPK) diprediksi tumbuh seiring perbaikan ekonomi, memperkuat penyaluran kredit. Kualitas kredit juga diharapkan meningkat, mendukung kinerja bank secara keseluruhan.
OJK optimistis kinerja perbankan pada triwulan IV-2024 akan tetap positif, ditopang pertumbuhan ekonomi yang stabil dan meningkatnya permintaan kredit masyarakat.
Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 diprediksi akan memberikan dampak signifikan terhadap sektor perbankan, terutama dalam hal pertumbuhan kredit.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengungkapkan bahwa perubahan tarif PPN ini dapat memperlambat laju kredit perbankan di Indonesia, karena adanya potensi penurunan daya beli masyarakat yang mengarah pada penurunan permintaan kredit, khususnya di segmen konsumer, mikro, dan UMKM.
“Apabila daya beli masyarakat menurun akibat kenaikan tarif PPN, maka dampaknya akan terasa pada terbatasnya pertumbuhan kredit yang disalurkan oleh perbankan,” kata Andry Asmoro beberapa waktu lalu.
Menurutnya, bila pengeluaran konsumen berkurang, maka bank akan menghadapi tantangan dalam mempertahankan atau meningkatkan jumlah kredit yang diberikan.
Andry Asmoro juga menjelaskan bahwa sektor-sektor seperti kredit konsumsi, mikro, dan UMKM akan sangat terpengaruh oleh kebijakan kenaikan PPN.
Masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah, yang sebagian besar mengalokasikan anggaran mereka untuk kebutuhan sehari-hari, akan cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang-barang sekunder atau non-prioritas. Hal ini tentunya dapat mengurangi potensi pertumbuhan kredit di sektor-sektor tersebut, yang selama ini menjadi salah satu pendorong utama sektor perbankan.
Selain itu, Asmoro memperingatkan bahwa dampak kenaikan tarif PPN ini juga dapat mempengaruhi kualitas aset perbankan.
Ketika daya beli masyarakat tertekan, ada kemungkinan peningkatan risiko kredit macet, terutama di segmen-segmen konsumer dan UMKM yang lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi.
“Kualitas aset bank akan menghadapi tantangan besar, karena semakin banyak nasabah yang kesulitan membayar cicilan pinjaman mereka,” ujarnya.
Terkait dengan hal ini, Bank Mandiri melalui riset internalnya, yakni Mandiri Spending Index, mengungkapkan temuan menarik terkait perilaku belanja masyarakat. Kelompok masyarakat menengah ke bawah cenderung mengutamakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok, sedangkan pengeluaran untuk barang-barang sekunder menjadi semakin terbatas. Artinya, masyarakat akan lebih berhati-hati dalam menggunakan pendapatan yang mereka miliki, yang dapat memengaruhi daya beli secara keseluruhan.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan bahwa dengan tren yang ada, pertumbuhan kredit diperkirakan akan tetap berada dalam kisaran 10 hingga 12 persen pada tahun 2024.
Pada tahun 2025, BI memperkirakan pertumbuhan kredit akan kembali meningkat seiring dengan perbaikan perekonomian global dan domestik, serta penyesuaian kebijakan moneter yang lebih fleksibel.
Namun, meskipun proyeksi ini menunjukkan optimisme, kenaikan tarif PPN yang direncanakan untuk 2025 dapat menjadi faktor yang mempengaruhi proyeksi tersebut.
Dampak kenaikan tarif PPN terhadap daya beli masyarakat dan kualitas kredit bank menjadi perhatian utama.
Apabila kenaikan PPN mempengaruhi pengeluaran konsumen secara signifikan, maka kemungkinan pertumbuhan kredit di sektor-sektor tertentu dapat terhambat, dan kualitas aset bank juga berisiko terganggu. (*)
Artikel ini disediakan untuk tujuan informasi semata dan bukan merupakan ajakan, rekomendasi, atau instruksi untuk membeli atau menjual saham. Segala bentuk analisis dan rekomendasi saham sepenuhnya berasal dari pihak analis atau sekuritas yang bersangkutan. KabarBursa.com tidak bertanggung jawab atas keputusan investasi, kerugian, atau keuntungan yang timbul akibat penggunaan informasi dalam artikel ini. Keputusan investasi sepenuhnya merupakan tanggung jawab investor. Investor diharapkan melakukan riset independen dan mempertimbangkan risiko dengan cermat sebelum mengambil keputusan investasi.