Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

PPN Naik Jadi 12 Persen, Penyaluran Subsidi Harus Tepat Sasaran

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 24 November 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
PPN Naik Jadi 12 Persen, Penyaluran Subsidi Harus Tepat Sasaran

KABARBURSA.COM - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan perlunya kebijakan strategis untuk menjaga daya beli masyarakat yang saat ini semakin tertekan oleh berbagai faktor ekonomi.

Menurutnya, pemerintah harus bijak dalam merancang kebijakan yang dapat meringankan beban masyarakat, terutama di tengah rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Misbakhun menekankan pentingnya penyaluran subsidi yang lebih tepat sasaran sebagai langkah prioritas pemerintah.

“Pemerintah perlu memperkuat subsidi untuk masyarakat rentan. Selama ini, subsidi sering kali difokuskan pada BBM dan energi. Namun, ada ruang untuk memperluas cakupan subsidi, misalnya pada kebutuhan pokok, jasa pendidikan, kesehatan, hingga jasa keagamaan,” ungkap Misbakhun saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu, 24 November 2024.

Misbakhun juga mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kategori barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN, sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ia berpendapat bahwa cakupan barang kebutuhan pokok yang bebas PPN bisa diperluas, termasuk makanan olahan, jasa transportasi umum, dan akses internet yang kini dianggap sebagai kebutuhan primer masyarakat.

“Misalnya, barang kebutuhan pokok yang saat ini hanya mencakup makanan mentah, bisa diperluas ke makanan olahan tertentu yang sudah menjadi kebutuhan masyarakat. Begitu juga dengan tiket pesawat domestik, jasa internet, atau layanan umum lainnya,” jelasnya.

Menurut Misbakhun, pemerintah memiliki ruang fleksibilitas untuk mengatur kategori barang dan jasa ini melalui peraturan pemerintah (PP) atau bahkan revisi undang-undang, tanpa melanggar ketentuan yang ada.

Selain fokus pada PPN, Misbakhun mengingatkan pemerintah untuk mempertimbangkan dampak kebijakan lain yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara bersamaan, seperti pengenaan pajak baru atau kenaikan iuran. Ia memperingatkan bahwa penerapan kebijakan tersebut secara bersamaan berpotensi memperburuk daya beli masyarakat.

“Jangan sampai semua kebijakan diterapkan bersamaan, karena dampaknya bisa memperburuk daya beli masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Misbakhun menyoroti pentingnya langkah-langkah yang bersifat lebih mendasar, seperti peningkatan pendapatan masyarakat dan pengurangan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

“Daya beli yang kuat berasal dari pendapatan yang cukup dan stabil. Jika masyarakat memiliki gaji yang aman dan cukup, daya beli akan otomatis terjaga,” tegasnya.

Misbakhun berharap agar pemerintah lebih bijaksana dalam mengambil keputusan terkait kenaikan PPN.

“Jika PPN tetap dinaikkan, harus ada strategi mitigasi yang jelas. Pemerintah memiliki banyak instrumen untuk itu. Fleksibilitas ini seharusnya bisa menjadi titik temu, sehingga kebijakan tetap berjalan tanpa menambah beban masyarakat,” pungkasnya.

Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Muhammad Kholid meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meninjau ulang urgensi kenaikan PPN menjadi 12 persen, dari sebelumnya 11 persen.

Kholid menyebut, peninjauan ulang rencana perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat.

Disamping itu, dia menyebut daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memukul ekonomi masyarakat.

“Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” kata Kholid, Sabtu 16 November 2024.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen secara tahunan (year on year/yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.

“Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024,” ungkapnya.

Kholid juga mengingatkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Artinya, dia menilai ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.

Sementara menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per Oktober 2024 ada sebanyak 59.796 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), naik 31,13 persen dari tahun lalu.

Data BPS, per Agustus 2024 juga menunjukan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran juga naik dari 6,68 persen ke 8 persen.

Tak hanya itu, kata Kholid, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Menurutnya, kondisi tersebut menandai bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

“Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” jelasnya.

Kholid menyebut, untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti PPN bukan satu-satunya pilihan. Dia menilai, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu sebagaimana data Kementerian Keuangan yang menunjukkan kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3 persen secara neto dan 0,4 persen secara bruto dari tahun ke tahun.

“Penerimaan pajak sektor Pertambangan juga turun signifikan, dengan penurunan sebesar 41,4 persen secara neto dan 28,3 persen secara bruto,” ungkapnya.

Selain itu, tutur Kholid, pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.

Kholid juga menegaskan, Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga memuat peraturan tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Sementara Kementerian Keuangan berdalih, kenaikkan PPN merupakan amanat UU HPP pada Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.

“Di pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen. Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal tahun 2025 mendatang,” jelasnya.

Sektor yang Paling Terdampak jika PPN Naik

Sejumlah sektor diperkirakan bakal terkena dampak negatif akibat Kenaikan PPN menjadi 12 persen yang direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025.

Head of Research NH Korindo Sekuritas Liza Camelia mengatakan kenaikan PPN kemungkinan akan mengganggu kinerja barang-barang mewah di sektor otomotif maupun properti.

“Yang kena (imbas PPN 12 persen) itu barang-barang mahal seperti mobil dan properti,” ujarnya usai menjadi pembicara di acara ‘Capital Market Forum’ yang diadakan Kabar Bursa di Gedung Perpustakaan Nasional, Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November 2024.

Liza menjelaskan PPN sebesar 12 persen bisa membuat daya beli masyarakat tergerus. Sebab, barang-barang yang terdampak kenaikan tersebut bisa lebih mahal.

Apalagi untuk properti, kata dia, sektor ini masih memiliki kinerja yang lemah dan diperkirakan masih akan terjadi hingga pertengahan atau akhir 2025 mendatang.

Padahal, sektor properti baru saja tersengat sentimen positif setelah adanya wacana program tiga juta rumah hingga turunnya suku bunga acuan atau BI Rate.

“Properti memang kita lihat so far masih agak lemah, mungkin sampai 2025. I’m not sure pertengahan atau akhir, menunggu suku bunga lebih banyak turun lagi dan insentif diperpanjang oleh pemerintah,” jelas Liza.

Di sisi lain, Liza beranggapan jika kenaikan PPN tahun depan sebuah delima bagi pemerintah. Di samping ancaman turunnya daya beli masyarakat, kenaikan PPN bisa untuk menalangi defisit anggaran yang mungkin akan terjadi akibat salah satunya kebijakan makan siang gratis. (*)