KABARBURSA.COM - Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen sepenuhnya merupakan wewenang pemerintah, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021. Meskipun demikian, Misbakhun menilai penting untuk mempertimbangkan kondisi aktual daya beli masyarakat yang saat ini terus melemah.
“PPN adalah kebijakan yang berada dalam wilayah pemerintah karena dasar hukumnya sudah disahkan sejak 2021. Namun, dengan kondisi ekonomi saat ini, di mana daya beli masyarakat terus menurun, sebaiknya pemerintah membuka ruang untuk mendiskusikan kembali kebijakan ini,” kata Misbakhun saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, pada Minggu, 24 November 2024.
Misbakhun menjelaskan bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi pilar utama perekonomian Indonesia. Penurunan daya beli yang terus berlanjut, menurutnya, dapat berdampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah untuk mempertimbangkan opsi-opsi alternatif sebelum memutuskan untuk menerapkan kenaikan PPN.
“Jika pemerintah tetap berencana melanjutkan kebijakan ini, mereka harus memastikan adanya komunikasi yang jelas kepada masyarakat, terutama terkait sektor-sektor yang tidak dikenakan PPN, seperti kebutuhan bahan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, dan keagamaan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa meskipun sektor-sektor tertentu bebas PPN, dampak kenaikan tarif ini pada rantai pasok barang tetap bisa memengaruhi harga di pasar.
Misbakhun juga menekankan pentingnya peran partai-partai politik pendukung pemerintah dalam memastikan kebijakan PPN berjalan sesuai dengan kondisi masyarakat.
Ia menyarankan agar pemerintah memberikan edukasi yang jelas agar masyarakat dapat memahami dan menerima dampak dari kebijakan tersebut.
“Pembahasan mengenai PPN ini sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah, tetapi DPR, khususnya Komisi XI, siap memberikan masukan sesuai dengan kondisi di lapangan. Kebijakan ini tidak bisa diambil dalam ruang hampa karena masyarakat merupakan bagian dari ekosistem yang saling terhubung,” ujar Misbakhun.
Misbakhun berharap pemerintah dapat mengevaluasi kebijakan PPN ini secara komprehensif dan memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil tetap berpihak pada kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR Muhammad Kholid meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati meninjau ulang urgensi kenaikan PPN menjadi 12 persen, dari sebelumnya 11 persen.
Kholid menyebut, peninjauan ulang rencana perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat.
Disamping itu, dia menyebut daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memukul ekonomi masyarakat.
“Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” kata Kholid, Sabtu 16 November 2024.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen secara tahunan (year on year/yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
“Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024,” ungkapnya.
Kholid juga mengingatkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Artinya, dia menilai ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.
Sementara menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per Oktober 2024 ada sebanyak 59.796 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), naik 31,13 persen dari tahun lalu.
Data BPS, per Agustus 2024 juga menunjukan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran juga naik dari 6,68 persen ke 8 persen.
Tak hanya itu, kata Kholid, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Menurutnya, kondisi tersebut menandai bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
“Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” jelasnya.
Kholid menyebut, untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti PPN bukan satu-satunya pilihan. Dia menilai, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu sebagaimana data Kementerian Keuangan yang menunjukkan kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3 persen secara neto dan 0,4 persen secara bruto dari tahun ke tahun.
“Penerimaan pajak sektor Pertambangan juga turun signifikan, dengan penurunan sebesar 41,4 persen secara neto dan 28,3 persen secara bruto,” ungkapnya.
Selain itu, tutur Kholid, pemerintah juga bisa memperluas basis pajak dengan mengkaji potensi penerimaan baru dari shadow economy dan menekan kebocoran dari perilaku penghindaran dan penggelapan pajak, termasuk transfer pricing.
Kholid juga menegaskan, Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) juga memuat peraturan tarif PPN dapat diubah paling tinggi 15 persen dan paling rendah 5 persen dan perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Sementara Kementerian Keuangan berdalih, kenaikkan PPN merupakan amanat UU HPP pada Bab IV pasal 7 ayat (1) tentang PPN.
“Di pasal 7 ayat 3 dan ayat 4 UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pemerintah dengan persetujuan DPR RI memiliki kewenangan untuk tidak menaikkan PPN menjadi 12 persen karena ada ruang manuver kebijakan, di mana rentang penurunan dan kenaikan PPN ada di angka 5 persen sampai 15 persen. Jika pemerintah dan DPR sepakat, kita bisa menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen di awal tahun 2025 mendatang,” jelasnya.
Sejumlah sektor diperkirakan bakal terkena dampak negatif akibat Kenaikan PPN menjadi 12 persen yang direncanakan mulai berlaku pada Januari 2025.
Head of Research NH Korindo Sekuritas Liza Camelia mengatakan kenaikan PPN kemungkinan akan mengganggu kinerja barang-barang mewah di sektor otomotif maupun properti.
“Yang kena (imbas PPN 12 persen) itu barang-barang mahal seperti mobil dan properti,” ujarnya usai menjadi pembicara di acara ‘Capital Market Forum’ yang diadakan Kabar Bursa di Gedung Perpustakaan Nasional, Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis, 21 November 2024.
Liza menjelaskan PPN sebesar 12 persen bisa membuat daya beli masyarakat tergerus. Sebab, barang-barang yang terdampak kenaikan tersebut bisa lebih mahal.
Apalagi untuk properti, kata dia, sektor ini masih memiliki kinerja yang lemah dan diperkirakan masih akan terjadi hingga pertengahan atau akhir 2025 mendatang.
Padahal, sektor properti baru saja tersengat sentimen positif setelah adanya wacana program tiga juta rumah hingga turunnya suku bunga acuan atau BI Rate.
“Properti memang kita lihat so far masih agak lemah, mungkin sampai 2025. I’m not sure pertengahan atau akhir, menunggu suku bunga lebih banyak turun lagi dan insentif diperpanjang oleh pemerintah,” jelas Liza.
Di sisi lain, Liza beranggapan jika kenaikan PPN tahun depan sebuah delima bagi pemerintah. Di samping ancaman turunnya daya beli masyarakat, kenaikan PPN bisa untuk menalangi defisit anggaran yang mungkin akan terjadi akibat salah satunya kebijakan makan siang gratis. (*)