Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Viral di Medsos, Garuda Biru #TolakPPN12Persen

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 21 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Viral di Medsos, Garuda Biru #TolakPPN12Persen

KABARBURSA.COM - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 menuai gelombang penolakan luas di media sosial X (dulu Twitter).

Tagar #TolakPPN12Persen menjadi ajang protes warganet terhadap kebijakan tersebut yang dianggap memberatkan rakyat.

Dosen Teknik Elektro ITB, Ardianto Satriawan, turut menyuarakan keberatannya melalui serangkaian cuitan yang viral. Ia mengkritik banyaknya jenis pajak yang harus ditanggung masyarakat tanpa imbal balik yang memadai dari pemerintah.

“Elu dipajakin dari A sampai Z,” tulis Ardianto, merinci berbagai kewajiban pajak seperti pemotongan gaji, THR, kendaraan, hingga pajak barang mewah dan bea cukai. Bahkan, aktivitas sederhana seperti melamar pekerjaan atau mengurus administrasi lainnya tak lepas dari beban pajak.

Menurutnya, pajak yang terus meningkat hanya menjadi beban tanpa diimbangi pelayanan publik yang layak. Ia juga menyoroti masalah di sektor pendidikan, mulai dari sulitnya akses ke sekolah favorit karena zonasi hingga mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT).

“Terus elu dapetnya apa? Pendidikan mahal, kesehatan makin sulit, kampus malah kerja sama sama pinjol,” ujarnya.

Gelombang protes ini tidak hanya disuarakan individu seperti Ardianto, tetapi juga oleh banyak warganet yang menggunakan lambang garuda biru sebagai simbol gerakan penolakan kenaikan PPN. Beberapa di antaranya menulis:

“Menarik pajak tanpa timbal balik untuk rakyat adalah sebuah kejahatan. Jangan minta pajak besar kalau belum becus melayani rakyat.”

“PPN naik 12 persen, pendidikan dan kesehatan malah semakin mahal. Terus dikemanakan hasil pajak rakyat?”

Kritik ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap beban hidup yang semakin berat akibat kebijakan pajak baru. Pemerintah diharapkan mampu memberikan solusi yang lebih adil dan transparan untuk mengelola penerimaan negara.

Genjot Pajak Orang Super Kaya

Sementara itu, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan menilai kenaikan PPN akan berdampak luas pada masyarakat, termasuk kelas bawah, menengah, hingga atas. Sebagai alternatif, ia mengusulkan penerapan pajak bagi kalangan super kaya.

“Jika tujuannya adalah meningkatkan penerimaan negara, mengapa tidak mempertimbangkan pajak untuk kelompok super kaya?” kata Fadhil dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 yang digelar INDEF di Jakarta, Kamis, 21 November 2024.

Fadhil menekankan, banyak negara telah mengadopsi pajak untuk orang-orang kaya sebagai bentuk pemerataan ekonomi. Kebijakan ini dinilai mampu menjaga keseimbangan tanpa membebani perekonomian secara keseluruhan.

“Pajak bagi orang super kaya perlu ditingkatkan. Selain adil, penerapannya tidak akan terlalu memengaruhi ekonomi secara umum,” tuturnya.

Selain itu, Fadhil juga mengusulkan penerapan Windfall Profit Tax, yakni pajak yang dikenakan pada industri atau komoditas yang meraih keuntungan besar tanpa upaya signifikan. Ia mencontohkan sektor mineral dan batu bara (minerba) yang kerap menikmati lonjakan harga akibat faktor eksternal, seperti perang atau kondisi global lainnya.

“Ketika perusahaan mendapat keuntungan besar karena faktor luar, seperti kenaikan harga minyak atau batu bara, sudah sewajarnya mereka dikenakan pajak tambahan," tegasnya.

Fadhil menilai, penerapan pajak seperti ini dapat menjadi langkah efektif untuk menambah pendapatan negara tanpa membebani masyarakat luas.

DPR Setuju Kenaikan PPN 12 Persen Ditunda

Komisi XI DPR RI menegaskan bahwa penundaan penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen tidak mengharuskan adanya perubahan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Anggota Komisi XI Dolfie menjelaskan bahwa penurunan tarif PPN masih memungkinkan asalkan berada dalam batas yang sudah ditetapkan, yakni antara 5 hingga 15 persen.

“Tidak perlu ada perubahan pada undang-undang tersebut, karena sudah ada ketentuan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk menurunkan tarif, asalkan mendapatkan persetujuan dari DPR,” kata Dofie saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

Memperlebar Kesenjangan Sosial

Rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen pada tahun 2025 diyakini akan melemahkan daya beli masyarakat cukup signifikan.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen diyakini juga akan menjauhkan dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada meningkatnya harga barang dan jasa. Sementara itu, kenaikan upah minimum yang diperkirakan hanya berada di kisaran 1 hingga 3 persen dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Akibatnya, daya beli masyarakat terus merosot.

“Penurunan daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam kelangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor,” kata Said Iqbal, Rabu, 20 November 2024.

Tak hanya melemahkan daya beli masyarakat kecil, naiknya tarif PPN juga berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.

“Dengan beban PPN yang meningkat, masyarakat kecil harus mengeluarkan lebih banyak untuk pajak tanpa ada peningkatan pendapatan yang memadai,” ujar Said.

“Bagi kami, kebijakan ini mencerminkan pola kolonialisme modern yang menekan rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak,” sambungnya.

KSPI pun menuntut empat hal kepada pemerintah. Pertama, meningkatkan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 hingga 10 persen agar daya beli masyarakat dapat terangkat. Kedua, menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor.

“Ketiga, membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dan keempat, meningkatkan rasio pajak, tapi dengan cara membebani rakyat kecil, melainkan melalui perluasan jumlah wajib pajak dan pengoptimalan penagihan pajak kepada korporasi besar dan individu kaya,” tuturnya.

Said Iqbal menegaskan, jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen tanpa diimbangi kenaikan upah minimum sesuai tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya mengancam akan menggelar aksi mogok nasional yang melibatkan lima juta buruh di seluruh Indonesia.

“Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama setidaknya dua hari, antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh,” pungkas Said Iqbal. (*)