KABARBURSA.COM - Amerika Serikat (AS) menutup kedutaannya di Kyiv, Ukraina, pada Rabu, 20 November 2024. Negeri Paman Sam itu beralasan adanya ancaman serangan udara besar sehari setelah Ukraina menggunakan rudal AS untuk menyerang Rusia. Rusia pun menyebut tindakan ini sebagai eskalasi perang.
Di siang hari, kemarin, sirene serangan udara berbunyi di Kyiv dan kangsung memicu kepanikan. Badan intelijen militer Ukraina menyatakan Rusia berusaha menciptakan ketakutan melalui penyebaran pesan palsu secara daring tentang ancaman serangan rudal dan drone besar-besaran.
“Musuh, yang tidak mampu menundukkan rakyat Ukraina dengan kekuatan, menggunakan intimidasi dan tekanan psikologis terhadap masyarakat. Kami meminta Anda tetap waspada dan tegar,” kata badan tersebut, dikutip dari Reuters, Kamis, 21 November 2024.
Seorang sumber pemerintah AS mengatakan penutupan kedutaannya di Ukraina lantaran adanya ancaman serangan udara yang sedang berlangsung. Kedutaan Italia dan Yunani juga dilaporkan menutup pintunya, sementara kedutaan Prancis tetap buka tetapi memperingatkan warganya untuk berhati-hati.
Departemen Luar Negeri AS menyatakan kedutaan di Kyiv diperkirakan akan melanjutkan operasi normal pada Kamis. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy menegaskan pesan-pesan yang menciptakan kepanikan hanya menguntungkan Rusia, tetapi meminta rakyat Ukraina untuk tetap memperhatikan peringatan serangan udara.
“Sebanyak apa pun serangan brutal dan licik Rusia yang telah kita hadapi… sangat penting untuk selalu memperhatikan peringatan serangan udara,” kata Zelenskiy dalam pidato malamnya. “Kita memiliki tetangga yang tidak waras.”
Zelenskiy juga menyampaikan terima kasih atas paket bantuan militer baru dari Amerika Serikat senilai USD275 juta, yang meliputi amunisi, drone, dan rudal.
Pada Selasa, 19 November 2024, Ukraina menggunakan rudal ATACMS buatan AS untuk menyerang depot senjata di Rusia, setelah mendapat izin dari pemerintahan Presiden AS Joe Biden yang akan berakhir masa jabatannya. Serangan ini dilakukan pada hari ke-1.000 invasi skala penuh Rusia ke Ukraina.
Rusia sebelumnya telah memperingatkan AS dan sekutunya bahwa jika Ukraina diizinkan menyerang wilayah Rusia dengan rudal buatan Barat, Moskow akan menganggapnya sebagai eskalasi besar.
“Sebagai langkah kewaspadaan, kedutaan akan ditutup, dan pegawai kedutaan diminta berlindung di tempat,” kata Departemen Luar Negeri AS dalam pernyataan di situs web kedutaan. “Kedutaan AS merekomendasikan warga AS bersiap untuk segera berlindung jika peringatan serangan udara diumumkan.”
Kremlin menolak memberikan komentar ihwal penutupan kedutaan. Kepala intelijen luar negeri Rusia, Sergei Naryshkin, mengatakan Moskow akan membalas terhadap negara-negara NATO yang memfasilitasi serangan rudal jarak jauh Ukraina ke wilayah Rusia.
Pada siang hari kemarin, angkatan udara Ukraina meminta masyarakat berlindung karena ancaman rudal. Pejabat tinggi Ukraina meminta rakyat untuk tidak mengabaikan peringatan tersebut.
Peringatan ini muncul tak lama sebelum badan intelijen militer GUR Ukraina mengeluarkan pernyataan tentang operasi psikologis Rusia, yang melibatkan pesan palsu tentang ancaman serangan besar-besaran terhadap kota-kota Ukraina.
“Pesan sedang disebarluaskan melalui aplikasi pesan instan dan media sosial… tentang ancaman serangan rudal dan bom yang ‘sangat besar’ terhadap kota-kota Ukraina hari ini,” kata GUR dalam pernyataan.
Dua personel militer Ukraina mengatakan kepada Reuters mereka menerima pesan yang memberi tahu Rusia akan meluncurkan lebih dari 300 drone, serta menggunakan kapal perang, pesawat tempur, dan sistem berbasis darat untuk menembakkan rudal secara besar-besaran. Reuters belum dapat menentukan bagaimana pesan tersebut dikirim. Salah satu tentara mengatakan ia menerima pesan itu dari seorang teman.
Perang berada pada titik yang sangat genting, dengan hampir seperlima wilayah Ukraina masih dikuasai Rusia, pasukan Korea Utara dikerahkan di wilayah Kursk Rusia, dan ketidakpastian tentang masa depan bantuan karena Presiden AS terpilih Donald Trump akan kembali ke Gedung Putih.
Pada Minggu lalu, Rusia melakukan serangan besar-besaran menggunakan rudal dan drone terhadap jaringan listrik nasional Ukraina, menewaskan tujuh orang dan memunculkan kembali kekhawatiran akan kelangsungan infrastruktur energi yang lumpuh.
Badan intelijen militer GUR sebelumnya mengatakan pos komando militer Rusia berhasil dihantam di kota Gubkin di wilayah Belgorod Rusia, sekitar 168 kilometer dari perbatasan Ukraina. Pernyataan itu tidak merinci siapa yang melakukan serangan, kapan serangan itu terjadi, atau jenis senjata yang digunakan. Ukraina juga telah menggunakan drone untuk menyerang target di dalam wilayah Rusia.
Bloomberg mengutip seorang pejabat Barat yang mengatakan Ukraina telah menembakkan rudal Storm Shadow buatan Inggris ke Rusia. Seorang juru bicara Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menolak memberikan komentar atas laporan tersebut. Ukraina juga belum memberikan pernyataan resmi.
Kedutaan Besar AS di Kyiv mengimbau warga AS di Ukraina untuk mempersiapkan cadangan air, makanan, dan kebutuhan penting lainnya seperti obat-obatan untuk menghadapi “kemungkinan kehilangan sementara listrik dan air” akibat serangan Rusia.
“Serangan Rusia yang berkelanjutan yang menargetkan infrastruktur sipil di seluruh Ukraina dapat mengakibatkan pemadaman listrik, hilangnya pemanas, dan gangguan pada layanan kota,” tulis kedutaan.
Pada Selasa, Presiden Rusia Vladimir Putin menurunkan ambang batas penggunaan senjata nuklir sebagai tanggapan atas berbagai serangan konvensional yang lebih luas. Washington kemudian menyatakan pihaknya belum melihat alasan untuk menyesuaikan kebijakan nuklirnya.
Menanggapi peringatan kedutaan AS tentang serangan, Andriy Kovalenko, kepala Pusat Penanggulangan Disinformasi Dewan Keamanan Ukraina, menyatakan Rusia siap melancarkan lebih banyak serangan rudal konvensional.(*)