Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi RI 2024 Capai Target 5,5 Persen

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 November 2024 | Penulis: Citra Dara Vresti Trisna | Editor: Redaksi
BI Optimistis Pertumbuhan Ekonomi RI 2024 Capai Target 5,5 Persen

KABARBURSA.COM – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa kinerja ekonomi triwulan III-2024 tumbuh sebesar 4,95 persen (year-on-year/yoy). Pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi rumah tangga, khususnya kelas menengah ke atas dan investasi yang mengalir untuk pembangunan proyek strategis nasional (PSN).

“Secara keseluruhan tahun, Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 berada dalam kisaran 4,7 sampai dengan 5,5 persen dan akan meningkat pada tahun 2025,” kata Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur BI di Jakarta, Rabu, 20 November 2024.

BI memprakirakan konsumsi rumah tangga bakal terus tumbuh seiring dengan indeks keyakinan konsumen yang masih terjaga di tengah dampak pelaksanaan pilkada di berbagai daerah.

Menurutnya, investasi bakal terus berlanjut didukung oleh belanja modal perusahaan, volume produksi dan pesanan sebagaimana yang tercermin dalam Indeks Prompt Manufacturing Indeks (PMI) BI.

Sementara untuk ekspor non-migas diprakirakan bakal meningkat seiring dengan permintaan mitra dagang utama yang masih tumbuh positif. Ia memprakirakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2024 tetap baik karena ditopang oleh konsumsi pemerintah sejalan dengan kenaikan belanja pemerintah.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut, kebijakan reformasi struktural pemerintah perlu diperkuat khususnya pada sektor-sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi serta menyerap dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Neraca Pembayaran Tetap Sehat

Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan guna mendukung pertumbuhan ekonomi dengan bersinergi erat bersama kebijakan stimulus fiskal pemerintah, terutama melalui optimalisasi insentif likuiditas makroprudensial serta percepatan digitalisasi sistem pembayaran. Neraca pembayaran Indonesia tetap berada dalam kondisi sehat, sehingga mampu menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Pada triwulan III-2024, neraca pembayaran Indonesia mencatat surplus yang didukung oleh defisit transaksi berjalan yang rendah, kinerja positif neraca perdagangan, dan peningkatan surplus pada transaksi modal serta finansial.

“Perkembangan terkini pada triulan 4-2024 menunjukkan berlanjutnya surplus neraca perdagangan pada Oktober 2024 yang tercatat sebesar 2,5 miliar dolar Amerika Serikat didorong oleh kenaikan ekspor non migas,” ujarnya.

Namun demikian ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat mendorong terjadinya aliran modal keluar investasi portofolio pada November 2024.

Lebih lanjut, Perry mengungkapkan, hingga 18 November 2024 net outflow yang berhasil tercatat sebesar USD 1,9 miliar dan setelah Oktober 2024, net inflow tercatat sebesar USD1.1 miliar. Sedangkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Oktober 2024 tercatat tinggi, mencapai 151,2 miliar dolar Amerika Serikat, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

Kemudian, jumlah cadangan divisa yang dimiliki Indonesia ini berada di atas standar kecukupan internasional yang sekitar 3 bulan import.

“Secara keseluruhan neraca pembayaran Indonesia tahun 2024 diperkirakan tetap baik seiring dengan berlanjutnya surplus neraca transaksi modal dan finansial didukung oleh aliran masuk modal asing dan terjaganya divisi transaksi berjalan dalam kisaran yang rendah yaitu sebesar 0,1 persen sampai dengan 0,9 persen dari PDB,” ujarnya.

Prospek positif neraca pembayaran ini juga diperkirakan berlanjut pada 2025, dengan aliran masuk modal asing yang kuat dan defisit transaksi berjalan yang terkendali.

Kenaikan Pajak PPN

Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menilai bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen berpotensi memberikan dampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional, terutama dalam jangka panjang.

“Kenaikan PPN berpotensi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi karena tekanan pada daya beli masyarakat. Lebih dari 60 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh konsumsi domestik. Jika daya beli melemah, konsumsi akan tertekan, dan itu berdampak langsung pada perlambatan ekonomi,” ujar Ajib kepada Kabarbursa.com, Senin, 18 November 2024.

Ajib juga menambahkan bahwa kebijakan ini dapat berdampak pada minat investasi, terutama di kalangan usaha kecil dan startup yang sedang berkembang.

Pelaku usaha kecil menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan harga jual produk akibat kenaikan PPN. Margin keuntungan mereka semakin tertekan, sehingga sektor ini menjadi kurang menarik bagi investor

Ajib mengimbau pemerintah untuk memberikan dukungan khusus kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) agar mampu bertahan dalam menghadapi kenaikan PPN. Salah satu langkah yang ia rekomendasikan adalah memperpanjang masa berlaku tarif Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen bagi UMKM.

“Penambahan masa berlaku tarif PPh 0,5 persen akan membantu menjaga daya tahan UMKM, terutama di tengah dampak kenaikan PPN,” kata Ajib.

Selain itu, ia juga mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yang sejak 2016 masih berada di angka Rp54 juta per tahun.

“Jika batas PTKP dinaikkan, daya beli masyarakat dapat terjaga sehingga dampak kenaikan PPN tidak terlalu signifikan terhadap konsumsi domestik,” tambahnya.

Ajib menekankan pentingnya dialog terbuka antara pemerintah dan para pemangku kepentingan, termasuk pengusaha dan masyarakat luas, untuk memastikan kebijakan kenaikan PPN tidak membawa dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya.(*)