Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Program Tax Amnesty Jilid III, Karpet Merah untuk Pengemplang Pajak

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 November 2024 | Penulis: KabarBursa.com | Editor: Redaksi
Program Tax Amnesty Jilid III, Karpet Merah untuk Pengemplang Pajak

KABARBURSA.COM - Wacana program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty Jilid III memunculkan beragam tanggapan.

Kesepakatan DPR untuk memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, menjadi salah satu pemicu perdebatan.

Konsultan pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, menilai bahwa pelaksanaan Tax Amnesty secara berulang dapat menciptakan dampak negatif bagi kepatuhan pajak. Menurutnya, kebijakan semacam ini berpotensi menanamkan persepsi keliru di kalangan wajib pajak, terutama bagi mereka yang kurang memahami aturan perpajakan.

“Tax Amnesty yang dilakukan berulang kali dapat menjadi preseden buruk. Ini menciptakan kesan bahwa kepatuhan pajak bisa ditunda hingga ada program serupa,” kata Raden, Selasa, 19 November 2024.

Ia mengisahkan pengalamannya menangani seorang klien yang salah memahami kewajiban pajak. Klien tersebut mengira pelaporan pajak hanya perlu dilakukan setiap lima tahun, karena selama ini hanya dihubungi oleh Account Representative (AR) Direktorat Jenderal Pajak saat ada program seperti Tax Amnesty atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

“Dia terkejut ketika dipanggil untuk melapor SPT Tahunan pada 2024, padahal sebelumnya mengira kewajiban pajaknya masih jauh dari jatuh tempo,” jelasnya.

Secara akademis, Raden menambahkan, pengampunan pajak yang dilakukan secara berulang dapat merusak fondasi kepatuhan pajak. Kajian ilmiah menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menurunkan rasa tanggung jawab wajib pajak untuk memenuhi kewajiban secara rutin.

“Berdasarkan penelitian, Tax Amnesty berkali-kali memberikan dampak negatif bagi kepatuhan pajak,” ujarnya.

Pada 2016, pemerintah sempat menegaskan bahwa Tax Amnesty hanya akan dilakukan satu kali dalam sejarah. Namun, kebijakan serupa kembali muncul pada 2021 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Meski berbeda nama, substansinya hampir sama, yakni memberi kesempatan wajib pajak melaporkan harta yang belum terdaftar dengan tarif yang lebih ringan.

Rencana pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk memastikan kebijakan perpajakan tetap adil sekaligus mendorong tingkat kepatuhan yang lebih baik.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menilai bahwa program tax amnesty sering kali menjadi solusi instan bagi pemerintah untuk mengumpulkan dana segar. Meski penerimaan pajak meningkat signifikan selama pelaksanaan, dampak tersebut tidak berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.

“Pemerintah membutuhkan dana lebih untuk meningkatkan rasio pajak yang stagnan. Namun, berdasarkan pengalaman tax amnesty jilid I dan II, penerimaan pajak meningkat secara signifikan hanya pada masa program berlangsung,” kata Prianto, Rabu, 20 November 2024.

Ia juga menyoroti hubungan tax amnesty dengan praktik penghindaran pajak, termasuk offshore tax evasion. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengungkapkan kondisi ini melalui narasi tentang underground economy dan penghindaran pajak di sektor perkebunan.

Namun, Prianto memperingatkan dampak negatif dari keberlanjutan program ini terhadap rasa keadilan wajib pajak yang patuh.

Dalam tax amnesty, para pengemplang pajak diberikan tarif khusus yang lebih rendah dari tarif normal sesuai Undang-Undang Pajak, jika mereka bersedia mendeklarasikan harta yang sebelumnya tidak dilaporkan.

“Pengemplang pajak mendapatkan karpet merah dengan tarif istimewa, sementara wajib pajak patuh tetap membayar sesuai tarif normal. Hal ini dapat memicu antipati, di mana mereka berpikir, Jika selalu ada tax amnesty, mengapa harus patuh?” tukasnya.

Tiba-tiba Mendadak Masuk Prolegnas

Rencana pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III kembali menjadi sorotan setelah Revisi Undang-Undang (RUU) terkait program ini resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Keputusan ini diambil Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat pada Senin, 18 November 2024.

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyebut, usulan revisi UU Tax Amnesty dimasukkan secara mendadak oleh Baleg.

“Tiba-tiba Baleg memasukkannya dalam long list Prolegnas. Kami sebagai mitra Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan agar ini menjadi prioritas pada 2025,” kata Misbakhun saat ditemui di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Selasa, 19 November 2024.

Dia menjelaskan, usulan ini masih berada pada tahap awal sehingga mekanisme pelaksanaannya perlu dibahas lebih lanjut bersama pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan.

“Sektor yang akan dicakup, bentuk perlindungan, hingga mekanisme lainnya akan dibicarakan lebih detail,” jelasnya.

Misbakhun menyebutkan, RUU Tax Amnesty ini masuk ke Prolegnas dalam rangka mendukung program pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Misbakhun menilai kebijakan ini sejalan dengan visi-misi pemerintahan saat ini.

“Kalau memang ada tax amnesty, kita harus mendukung demi mengamankan visi pemerintahan yang baru,” ujar Misbakhun.

Meski demikian, ia menegaskan pentingnya pembinaan agar program ini tidak merusak kepatuhan wajib pajak. Pemerintah diharapkan belajar dari kekurangan program serupa sebelumnya.

“Jangan sampai wajib pajak terus menghindari kewajibannya tanpa solusi. Tax amnesty adalah jalan keluar, tetapi harus dibarengi dengan pembinaan yang baik,” tuturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia memastikan bahwa revisi UU Tax Amnesty merupakan usulan dari Baleg, bukan dari pemerintah. Meski sempat dipertanyakan sejumlah anggota, akhirnya disepakati RUU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.

“Pembahasan lebih lanjut akan dilakukan pada 2025,” ujar Doli.

Namun, hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai pasal-pasal yang akan direvisi dalam RUU Tax Amnesty ini. (*)