Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Kenaikan Tarif PPN Semakin Memperlebar Kesenjangan Sosial

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 20 November 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Kenaikan Tarif PPN Semakin Memperlebar Kesenjangan Sosial

KABARBURSA.COM - Rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun 2025 diyakini akan melemahkan daya beli masyarakat cukup signifikan.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen diyakini juga akan menjauhkan dari target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berdampak langsung pada meningkatnya harga barang dan jasa. Sementara itu, kenaikan upah minimum yang diperkirakan hanya berada di kisaran 1 hingga 3 persen dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Akibatnya, daya beli masyarakat terus merosot.

"Penurunan daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam kelangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor," kata Said Iqbal, Rabu, 20 November 2024.

Tak hanya melemahkan daya beli masyarakat kecil, naiknya tarif PPN juga berpotensi memperlebar kesenjangan sosial.

"Dengan beban PPN yang meningkat, masyarakat kecil harus mengeluarkan lebih banyak untuk pajak tanpa ada peningkatan pendapatan yang memadai," ujar Said.

"Bagi kami, kebijakan ini mencerminkan pola kolonialisme modern yang menekan rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak," sambungnya.

KSPI pun menuntut empat hal kepada pemerintah. Pertama, meningkatkan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 hingga 10 persen agar daya beli masyarakat dapat terangkat. Kedua, menetapkan upah minimum sektoral yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing sektor.

"Ketiga, membatalkan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen. Dan keempat, meningkatkan rasio pajak, tapi dengan cara membebani rakyat kecil, melainkan melalui perluasan jumlah wajib pajak dan pengoptimalan penagihan pajak kepada korporasi besar dan individu kaya," tuturnya.

Said Iqbal menegaskan, jika pemerintah tetap melanjutkan kebijakan menaikkan PPN menjadi 12 persen tanpa diimbangi kenaikan upah minimum sesuai tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya mengancam akan menggelar aksi mogok nasional yang melibatkan lima juta buruh di seluruh Indonesia.

"Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama setidaknya dua hari, antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh," pungkas Said Iqbal.

Pemerintah Selalu Menyusahkan Rakyat

Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir enggan berandai-andai ihwal ketetapan pemerintah tentang kenaikan PPN 12 persen. Ia mengaku tengah menanti usulan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Presiden Prabowo Subianto.

"Jangan berandai-andai, tidak usah kita berkonotasi yang nanti ada kenaikkan begini-begitu. Pasti Menteri Keuangan pun kalau mengusulkan ke Pak Presiden pasti ada dasar-dasarnya,” kata Adies kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 19 November 2024.

Adies mengatakan akan melihat lima tahun kepemimpinan Prabowo sebagai presiden. Ia meyakini, tidak semua kebijakan ekonomi Prabowo akan menyusahkan rakyat Indonesia. “Intinya kan selalu tidak akan menyusahkan rakyatnya,” ujarnya.

Pun seandainya PPN naik 12 persen, Adies menilai, kebijakan tersebut lahir dari kajian yang baik. Meski begitu, ia menegaskan kenaikan PPN 12 persen masih dalam wacana.

“Ini kan masih menunggu Presiden. Jadi kita tunggu saja seperti apa nanti dan kalau pun ada kenaikkan seperti apa,” ujarnya.

Berbeda dengan anggota Komisi XI Muhammad Kholid yang meminta Menkeu Sri Mulyani meninjau ulang urgensi kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen yang rencananya berlaku pada 1 Januari 2025. Adapun sebelumnya, PPN naik ke 11 persen pada 1 April 2022.

Kholid menyebut, peninjauan ulang rencana perlu dilakukan mengingat pertumbuhan ekonomi nasional yang melambat.

Selain itu, dia menyebut daya beli masyarakat cenderung melemah. Kenaikan PPN 12 persen dikhawatirkan memukul ekonomi masyarakat.

"Rencana pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bukan kebijakan yang tepat. Hal itu akan semakin memukul daya beli masyarakat,” kata Kholid, Sabtu 16 November 2024.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy). Konsumsi rumah tangga juga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.

“Di samping itu, Indonesia juga mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei sampai bulan September 2024,” kata Kholid.

Kholid juga mengingatkan, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Oktober 2024 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ada di angka 121,1, turun dari IKK September sebesar 123,5. Artinya, dia menilai ada pesimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan di masa depan.

Sementara menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per Oktober 2024 ada sebanyak 59.796 orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), naik 31,13 persen dari tahun lalu. Data BPS, per Agustus 2024 juga menunjukan proporsi pekerja penuh waktu turun dari 68,92 persen ke 68,06 persen, sementara setengah pengangguran juga naik dari 6,68 persen ke 8 persen.

Tidak hanya itu, kata Kholid, jumlah kelas menengah juga menyusut tajam. Menurutnya, kondisi tersebut menandai bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. “Kelas menengah turun dari 57,33 juta di 2019 menjadi 47,85 juta di 2024. Artinya, dalam periode 5 tahun kita kehilangan 9,48 juta kelas menengah. Oleh karena itu, rencana pemerintah menaikkan PPN 12 persen seharusnya ditinjau ulang atau dibatalkan,” jelasnya.

Kholid menyebut, untuk meningkatkan rasio pajak, menaikkan tarif seperti PPN bukan satu-satunya pilihan. Dia menilai, pemerintah juga bisa mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tertentu sebagaimana data Kementerian Keuangan yang menunjukkan kuartal III-2024, penerimaan pajak dari sektor Industri Pengolahan tumbuh negatif sebesar 6,3 persen secara neto dan 0,4 persen secara bruto dari tahun ke tahun.

“Penerimaan pajak sektor Pertambangan juga turun signifikan, dengan penurunan sebesar 41,4 persen secara neto dan 28,3 persen secara bruto,” katanya. (*)