Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

PPN 12 Persen bikin Hidup UMKM makin Sulit: Butuh Solusi Konkret

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 19 November 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
PPN 12 Persen bikin Hidup UMKM makin Sulit: Butuh Solusi Konkret

KABARBURSA.COM - Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Sahabat UMKM, Faisal Hasan Basri, mengungkapkan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan memberi beban tambahan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Menurut Faisal, kebijakan ini akan mengurangi daya saing UMKM, khususnya dalam hal harga produk yang sudah tinggi karena UMKM tidak dapat melakukan produksi massal.

“Kenaikan PPN ini akan menurunkan daya saing UMKM. Dengan tarif pajak yang ada saat ini saja, produk UMKM sudah tergolong tinggi harganya karena mereka tidak melakukan produksi massal. Apalagi dengan PPN yang naik, situasinya akan semakin berat,” jelas Faisal saat diwawancarai oleh Kabarbursa.com, Senin, 18 November 2024.

Faisal juga menjelaskan bahwa mayoritas pelaku UMKM di Indonesia termasuk dalam kategori usaha mikro, yang masih menghadapi berbagai keterbatasan. Banyak pelaku usaha mikro yang hanya fokus pada kemampuan produksi dan belum memiliki sumber daya atau strategi bisnis yang matang. Selain itu, sebagian besar dari mereka mengelola usaha secara mandiri tanpa dukungan sumber daya manusia (SDM) yang memadai.

“Pelaku UMKM mikro umumnya hanya fokus pada kemampuan produksi, sementara aspek lain, seperti pemasaran atau strategi bisnis, masih sangat minim. Ditambah lagi, kebanyakan dari mereka mengelola usaha seorang diri tanpa dukungan SDM yang memadai,” jelasnya.

Lebih lanjut, Faisal memperkirakan bahwa kenaikan PPN akan mempengaruhi daya beli konsumen, yang pada akhirnya akan menyebabkan penurunan permintaan terhadap produk UMKM. Hal ini disebabkan oleh harga produk yang semakin mahal akibat pajak yang lebih tinggi.

Faisal menekankan bahwa untuk dapat bertahan dalam kondisi seperti ini, UMKM perlu beradaptasi dengan strategi-strategi yang lebih inovatif.

“UMKM harus mulai memikirkan langkah-langkah inovatif yang mungkin di luar kemampuan awal mereka. Misalnya, menjalin kolaborasi dengan pelaku usaha lain, mencari akses pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, serta memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauan pemasaran,” paparnya.

Selain itu, Faisal juga menyoroti pentingnya dukungan dari pemerintah dalam menghadapi perubahan kebijakan ini. Dukungan dalam bentuk subsidi, pelatihan, atau insentif pajak bagi UMKM sangat diperlukan agar mereka dapat beradaptasi dan bertahan di tengah tantangan yang ada.

“Kemampuan awal para pelaku UMKM memang masih perlu banyak di-upskill. Dukungan pemerintah untuk memberikan pelatihan atau insentif sangat penting agar mereka tidak sekadar bertahan, tetapi juga mampu berkembang di tengah tantangan ini,” pungkas Faisal.

Pertumbuhan Kredit UMKM Lambat

Laporan keuangan bank terbaru menunjukkan tren penurunan kredit mikro serta meningkatnya Non Performing Loan (NPL) khususnya pada segmen mikro non-Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, kredit UMKM pada September 2024 mengalami pertumbuhan sebesar 5,04 persen year on year (yoy).

Menurut dia, pertumbuhan ini melambat dibandingkan tahun lalu, seiring peningkatan risiko kredit UMKM yang tercermin dalam rasio NPL yang naik dari 3,88 persen pada September 2023 menjadi 4 persen pada September 2024.

“Tren pertumbuhan UMKM memang cenderung melambat, sejalan dengan risiko kredit UMKM yang meningkat ditandai dengan NPL yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya,” kata Dian Rae dalam keterangan resmi, Kamis 14 November 2024.

Secara khusus, segmen mikro mengalami pertumbuhan yang melambat dari 25,69 persen yoy pada September 2023 menjadi 4,77 persen yoy pada September 2024. Meski demikian, porsi kredit mikro dalam total kredit UMKM tetap stabil di angka 44 persen dari total kredit UMKM.

Dian menambahkan bahwa meskipun pertumbuhan segmen mikro melambat, risiko kredit pada segmen ini relatif lebih baik dengan rasio NPL lebih rendah dibandingkan segmen kecil dan menengah, masing-masing berada pada angka 3,25 persen untuk mikro, 4,22 persen untuk kecil, dan 5,17 persen untuk menengah.

“Meskipun pertumbuhannya melambat, risiko kredit pada segmen mikro justru lebih baik dengan rasio NPL yang lebih rendah dibandingkan segmen kecil dan menengah,” ujarnya.

Dian mengungkapkan bahwa faktor ekonomi yang semakin berfokus pada modal intensif dan digitalisasi menjadi tantangan bagi pelaku UMKM, yang mayoritas adalah masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Risiko kredit UMKM saat ini masih cukup tinggi dibandingkan kredit non-UMKM mengingat pelaku UMKM didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah,” tutur Dian.

Selain itu, maraknya produk impor ilegal dengan harga murah turut menekan daya saing bisnis UMKM.

“Produk impor ilegal yang biasanya menawarkan harga lebih murah juga memberikan tekanan,” pungkas Dian. (*)