Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Apindo Soroti Dampak ini jika PPN 12 Persen Diberlakukan

Rubrik: Makro | Diterbitkan: 18 November 2024 | Penulis: Dian Finka | Editor: Redaksi
Apindo Soroti Dampak ini jika PPN 12 Persen Diberlakukan

KABARBURSA.COM - Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani, menyoroti rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan diberlakukan pada 1 Januari 2025.

Menurut Ajib, kebijakan ini berpotensi melemahkan daya beli masyarakat dan dapat berdampak negatif baik pada sisi permintaan maupun penawaran di pasar.

Ajib menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan menyebabkan harga barang dan jasa yang beredar di masyarakat meningkat, sehingga kontraksi pada sisi permintaan (demand) tidak dapat dihindari.

Di sisi lain, kenaikan harga juga dapat melemahkan sisi penawaran (supply), karena produsen mungkin kesulitan untuk menyediakan barang dan jasa secara optimal akibat meningkatnya biaya produksi.

"PPN ini adalah pajak tidak langsung yang dikenakan kepada masyarakat luas, tetapi proses pemungutannya melibatkan pengusaha. Artinya, pemerintah memerlukan kontribusi dunia usaha untuk memastikan pajak ini terkumpul dan disetorkan ke negara," kata Ajib saat dihubungi Kabarbursa.com, Senin, 18 November 2024.

Ajib menekankan bahwa pemerintah perlu mengadakan diskusi intensif dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat dan pengusaha, untuk mengukur dampak kenaikan tarif PPN terhadap perekonomian secara keseluruhan.

Sebagai solusi untuk meminimalkan dampak tersebut, Ajib mengusulkan pemberian insentif, salah satunya melalui penyesuaian batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

"Sejak tahun 2016, batas PTKP berada di angka Rp54 juta per tahun. Pemerintah dapat mempertimbangkan kenaikan batas ini agar daya beli masyarakat tetap terjaga," jelasnya.

Di tengah situasi deflasi sebesar 0,12 persen saat ini, Ajib menilai bahwa kebijakan kenaikan PPN perlu disikapi dengan hati-hati.

Langkah mitigasi sangat penting, terutama untuk sektor ekonomi, khususnya UMKM, yang sangat rentan terhadap perubahan harga. Hal ini agar UMKM tetap dapat beradaptasi dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

"Dengan kenaikan PPN, barang dan jasa akan menjadi lebih mahal. Hal ini berpotensi menekan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat berdampak buruk bagi pelaku UMKM. Oleh karena itu, kebijakan ini perlu dikaji ulang agar dampaknya dapat diminimalkan," pungkas Ajib.

Senada, analis senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengungkapkan bahwa kenaikan PPN ini akan mendorong kenaikan harga barang dan jasa, terutama pada sektor makanan dan minuman.

“Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen dipastikan akan mengerek harga barang dan jasa, biasanya minimal sebesar kenaikan PPN itu sendiri,” kata Ronny, Minggu, 17 November 2024.

Kenaikan harga ini dipicu oleh kebijakan perusahaan yang cenderung akan membebankan tambahan biaya PPN kepada konsumen, karena mereka biasanya enggan menanggung kenaikan tersebut sendiri. “Perusahaan umumnya tidak akan bersedia menanggung beban kenaikan PPN ini,” ujarnya.

Akibatnya, masyarakat, khususnya kelas menengah, yang sudah mengalami penurunan daya beli dalam dua tahun terakhir, akan semakin terdampak.

“Dampaknya akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, meski yang paling merasakan tentu kelas menengah,” ungkap Ronny.

Dia menambahkan, dengan semakin menurunnya daya beli, masyarakat cenderung mengurangi konsumsi, yang pada gilirannya akan menurunkan permintaan pasar.

Penurunan permintaan ini akan berdampak pada produksi perusahaan, yang bisa saja berujung pada pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Jika permintaan berkurang, maka produksi juga terancam menurun, yang membuka potensi terjadinya PHK terhadap karyawan,” tuturnya.

Lebih lanjut, penurunan konsumsi ini dapat berdampak pada prospek investasi di Indonesia. “Dengan menurunnya konsumsi rumah tangga, para investor mungkin akan lebih berhati-hati dalam membuka investasi baru, karena pasar yang melemah,” kata Ronny.

Pastikan PPN 12 Persen Berlaku

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan penerapan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai diterapkan pada Januari 2025.

Kata Sri Mulyani, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), harus dilaksanakan.

“Undang-undangnya sudah ada, jadi kami perlu mempersiapkan pelaksanaannya dengan baik, namun tetap dengan penjelasan yang jelas. Kami tidak ingin melakukannya sembarangan, karena APBN harus tetap terjaga,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama anggota Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 13 November 2024.

Sri Mulyani mengatakan itu karena anggota Komisi XI mempertanyakan kepastian mengenai kebijakan kenaikan PPN tersebut.

Mantan Direktur Bank Dunia (World Bank) ini juga memastikan bahwa pemerintah akan memberikan penjelasan yang transparan kepada masyarakat terkait alasan dan manfaat kebijakan kenaikan tarif PPN ini bagi keuangan negara.

Di tengah tekanan ekonomi, terlihat dari melambatnya tingkat konsumsi masyarakat hingga kuartal III-2024, penyesuaian ini dianggap penting.

Pada kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga yang menyumbang 53,08 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 4,91 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan 4,93 persen pada kuartal II-2024.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 tercatat hanya 4,95 persen, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang mencapai 5,05 persen.

“Saya setuju bahwa kami perlu memberikan penjelasan lebih lanjut kepada masyarakat. Kebijakan pajak, termasuk PPN, tidak dilakukan tanpa mempertimbangkan sektor-sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan pokok yang sebelumnya menjadi bahan perdebatan panjang,” jelasnya.

Meskipun ada kenaikan tarif PPN, Sri Mulyani menegaskan, pemerintah tetap akan memberikan keringanan pajak untuk meringankan beban daya beli masyarakat. Beberapa barang dan jasa masih akan dibebaskan dari pajak atau dikenakan tarif lebih rendah, sesuai dengan peraturan yang ada.

“Sebetulnya, sudah banyak barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak atau mendapatkan tarif yang lebih rendah, dan itu sudah diatur dengan jelas,” pungkasnya. (*)