KABARBURSA.COM - Jumlah tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia terus mengalami peningkatan sepanjang tahun 2024.
Data terbaru yang dirilis oleh Satudata Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan bahwa dari Januari hingga Oktober 2024, sebanyak 63.947 pekerja mengalami PHK.
Angka ini mengalami kenaikan signifikan dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu dari Januari hingga September 2024, yang tercatat sebanyak 52.933 pekerja.
Menurut informasi yang disampaikan oleh Kemnaker pada laman resminya, jumlah pekerja yang ter-PHK pada periode Januari hingga Oktober 2024 menunjukkan tren yang terus memburuk. Hal ini mengindikasikan adanya tantangan besar yang dihadapi oleh sektor ketenagakerjaan di Indonesia, terlebih di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi COVID-19.
Jika dilihat berdasarkan wilayah, DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah tenaga kerja yang paling banyak terdampak PHK.
Di Jakarta, sebanyak 14.501 orang kehilangan pekerjaan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Jawa Tengah dan Banten mengikuti dengan jumlah pekerja yang terdampak masing-masing sebanyak 12.489 dan 10.702 orang.
Meskipun angka PHK ini cukup signifikan di wilayah-wilayah tersebut, faktanya fenomena PHK tidak terbatas pada area tertentu saja, melainkan terjadi hampir di seluruh Indonesia. Tren ini mencerminkan dampak luas yang dirasakan oleh dunia usaha di berbagai sektor, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri menjelaskan bahwa lonjakan kasus PHK ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkelindan. Salah satu penyebab utama yang dikemukakan oleh Indah adalah ketidakmampuan sejumlah industri untuk bersaing di tengah tantangan global yang semakin berat.
“Banyak perusahaan yang belum mampu pulih sepenuhnya setelah pandemi COVID-19. Dampak dari pandemi yang berkepanjangan memang cukup besar, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi,” kata Indah.
Selain itu, sektor industri juga harus menghadapi berbagai kondisi eksternal yang tidak terduga, seperti ketegangan politik global dan perubahan pola konsumsi yang semakin cepat.
Perubahan dalam gaya hidup masyarakat yang lebih memilih berbelanja secara digital, misalnya, turut memberikan dampak terhadap perusahaan-perusahaan tradisional yang belum beradaptasi dengan cepat.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa seperti perang dan kebijakan proteksionisme dari beberapa negara juga semakin memperburuk keadaan. Semua faktor ini, menurut Indah, membuat banyak perusahaan terpaksa melakukan PHK untuk bertahan.
Penyebab lainnya adalah ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh berbagai faktor. Pandemi COVID-19 sendiri membawa dampak yang luas terhadap seluruh sektor ekonomi.
Banyak sektor, terutama pariwisata, ritel, dan manufaktur, yang mengalami penurunan signifikan dalam pendapatan dan produksi selama periode tersebut.
Meskipun beberapa sektor mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, namun laju pemulihan yang tidak merata memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi dan mengurangi jumlah karyawan.
Selain itu, ketegangan geopolitik dan perang yang terjadi di beberapa wilayah, termasuk ketegangan antara negara besar, turut memperburuk situasi ekonomi global.
Kebijakan-kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah di berbagai negara, seperti tarif impor yang lebih tinggi atau regulasi terkait produk tertentu, semakin mempersulit perusahaan dalam menjalankan operasionalnya.
Perubahan perilaku konsumen juga berkontribusi terhadap meningkatnya PHK. Masyarakat kini lebih memilih berbelanja secara online, yang mengubah cara perusahaan melakukan bisnis. Beberapa usaha yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini akhirnya harus menutup operasional mereka atau mengurangi jumlah karyawan.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi banyak perusahaan adalah kemampuan untuk beradaptasi setelah pandemi.
Sektor usaha yang terpaksa menutup pintu selama pandemi membutuhkan waktu untuk kembali pulih. Namun, seiring dengan munculnya tantangan baru, baik yang bersifat lokal seperti kebijakan pemerintah, maupun global seperti ketegangan geopolitik, banyak perusahaan merasa kesulitan untuk bertahan.
“Bagi banyak usaha, pandemi adalah ujian yang sangat berat. Setelah pandemi, beberapa perusahaan sudah mencoba untuk bangkit, namun keadaan global yang tidak menentu memperburuk kondisi mereka. Banyak yang tidak siap menghadapi dinamika persaingan yang semakin ketat,” kata Indah.
Selain itu, situasi ini juga menciptakan ketidakpastian bagi pekerja, yang tidak hanya harus menghadapi resiko kehilangan pekerjaan, tetapi juga tantangan untuk memperoleh pekerjaan baru di tengah kondisi yang serba tidak pasti.
Pemerintah, melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), terus berupaya mengatasi masalah ini dengan berbagai kebijakan, salah satunya adalah memberikan pelatihan keterampilan bagi para pekerja yang terkena PHK.
Program ini diharapkan dapat membantu para pekerja untuk memperoleh keterampilan baru yang dapat meningkatkan daya saing mereka di pasar kerja.
Meskipun demikian, upaya untuk mengurangi angka PHK dan meningkatkan ketahanan industri memerlukan kerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Untuk itu, pemerintah mendorong sektor swasta untuk lebih adaptif dan inovatif dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Dalam menghadapi tren PHK yang terus meningkat, kesigapan dan kolaborasi antara berbagai pihak menjadi kunci untuk meminimalkan dampak negatif bagi perekonomian dan kesejahteraan tenaga kerja Indonesia. (*)