Memuat tanggal…
Daftar Masuk
Navigasi Investasi Anda
Search

Mampukah CTAS Genjot Penerimaan Pajak?

Rubrik: Market Hari Ini | Diterbitkan: 01 August 2024 | Penulis: Ayyubi Kholid | Editor: Redaksi
Mampukah CTAS Genjot Penerimaan Pajak?

KABARBURSA.COM - Pengamat pajak dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA), Fajry Akbar memproyeksikan kinerja penerimaan pajak akan membaik pada kuartal kedua hingga kuartal keempat 2024. Namun, ia mengingatkan bahwa otoritas pajak perlu melakukan upaya ekstra mengingat target pajak naik sebesar 6,4 persen.

Dua sektor utama, yakni pengolahan dan perdagangan, diharapkan pulih kembali. Pada kuartal pertama, kinerja kedua sektor ini masih negatif, padahal mereka adalah penyumbang terbesar penerimaan pajak.

"Jika kedua sektor tersebut tidak pulih, akan sulit bagi pemerintah untuk mencapai target pajak," kata Fajry Akbar kepada Kabar Bursa, Kamis, 1 Agustus 2024.

Selain itu, Fajry menyoroti tantangan besar yang dihadapi sektor perpajakan seiring transisi pemerintahan mendatang. Contohnya, wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan wajib pajak tentang dampaknya, seperti kemungkinan peningkatan pemeriksaan atau perubahan dalam pelayanan.

"Apakah semakin banyak pemeriksaan?, pelayanannya semakin baik?, atau seperti apa? penuh ketidakpastian," ujarnya.

Dia melanjutkan, masa depan kenaikan tarif PPN juga penuh ketidakpastian. Meskipun sebelumnya ada pernyataan bahwa kebijakan kenaikan tarif akan berlanjut, baru-baru ini Menko Perekonomian menyebutkan optimalisasi melalui PPh, bukan PPN.

"Ini menimbulkan spekulasi bahwa pemerintahan berikutnya mungkin akan membatalkan rencana kenaikan tarif PPN, yang secara hukum memang memungkinkan," ucap Fajry.

Fajry juga menyoroti kebutuhan dana yang besar untuk memenuhi janji politik pemerintahan selanjutnya, seperti program makan bergizi gratis yang memerlukan dana Rp450 triliun, serta proyek-proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) dan rencana memperbanyak jumlah Kementerian atau Lembaga (K/L).

Ketidakpastian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan wajib pajak tentang dari mana dana tersebut akan berasal dan apakah mereka akan kembali menjadi sasaran otoritas pajak.

"Duitnya dari mana? apakah mereka nanti yang kena kejar-kejar otoritas pajak lagi?" imbuhnya.

Dengan sederet tantangan tersebut, Fajry mengatakan adanya Core Tax Administration System (CTAS) akan mereformasi administrasi perpajakan, banyak sekali manfaatnya termasuk mendorong penerimaan perpajakan. Akan tetapi, CTAS ini bukanlah solusi segala masalah perpajakan yang ada terlebih kalau isunya adalah kebutuhan pendanaan yang besar dan instan.

Fajry menjelaskan bahwa CTAS dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui proses pencocokan data yang lebih efektif menggunakan analitik big data. Selain itu, CTAS bertujuan untuk memperbaiki layanan kepada wajib pajak dengan prinsip kesederhanaan dan kemudahan administrasi.

"Kami berharap CTAS dapat menyederhanakan administrasi pemungutan pajak dan menyajikan data berkualitas tinggi bagi DJP dan wajib pajak," kata dia.

Ia menambahkan, meskipun CTAS sudah mulai diterapkan dalam sistem administrasi perpajakan, seperti menu prepopulated dalam bukti pemotongan pajak, implementasinya belum sepenuhnya optimal. Salah satu fitur utama CTAS adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang memperluas cakupan wajib pajak dan diharapkan meningkatkan tingkat kepatuhan.

"Jadi, implementasi CTAS memang belum sepenuhnya optimal," tandas Fajry.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, menambahkan perspektifnya mengenai CTAS. Menurutnya, inti dari sistem pajak yang ada saat ini adalah self-assessment system, di mana pemerintah mempercayakan pelaporan pajak kepada kesadaran wajib pajak sendiri.

"Inti dari sistem pajak yg ada sekarang adl self assessment system. Dengan kata lain, pemerintah mempercayakan pelaporan pajak sesuai dg kesadaran WP sendiri," jelasnya kepada Kabar Bursa. Kamis, 1 Agustus 2024.

Hal ini dikarenakan jumlah petugas pajak tidak sebanding dengan jumlah wajib pajak, sehingga otoritas pajak menerapkan manajemen risiko yang dikenal sebagai Compliance Risk Management (CRM). "Kondisi di atas dilatarbelakangi oleh jumlah petugas pajak yg tdk sebanding dg jumlah WP," tambah dia.

Kata kunci dari CRM yang diterapkan dalam self-assessment system adalah data matching. Tujuan dari data matching adalah untuk memitigasi risiko kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai undang-undang.

Bentuk konkretnya adalah dengan menyandingkan isi laporan SPT wajib pajak dengan data yang DJP peroleh dari berbagai sumber. Ketika ada ketidaksesuaian data di SPT dengan data dari pihak lainnya, DJP segera menerbitkan SP2DK dan dapat menindaklanjutinya dengan pemeriksaan pajak.

Proses data matching ini sekarang harus menggunakan teknologi informasi yang canggih. Karena itu, CTAS hadir untuk mempermudah proses data matching tersebut, selain untuk memudahkan pelayanan berkualitas kepada wajib pajak.

"Jadi, uraian di atas menjadi tantangan pajak yg paling esensial ke depannya. Karena itu, pemerintah rela merogoh kocek dalam untuk menyiapkan infrastruktur CTAS," pungkas dia. (*)