KABARBURSA.COM - Fenomena banyaknya pembeli kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), yang justru ingin beralih kembali ke mobil berbahan bakar fosil di negara-negara maju, bertolak belakang dengan kondisi pasar dan persepsi konsumen di Indonesia.
Yannes Martinus Pasaribu, akademisi sekaligus pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki persepsi serupa dengan konsumen EV di negara maju, khususnya terkait infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).
Seperti di negara-negara maju, konsumen di Indonesia juga menganggap harga EV masih mahal, ditambah kekhawatiran akan kekuatan jarak tempuh. Namun, terdapat perbedaan signifikan. Di Indonesia, EV sering kali dianggap sebagai simbol status sosial dan gaya hidup modern. Pembeli dari segmen menengah-atas cenderung memilih EV karena desain futuristiknya yang menarik, sehingga menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin tampil beda.
Fitur-fitur canggih seperti sistem hiburan, konektivitas, dan keselamatan yang lengkap menjadi nilai tambah bagi pembeli EV di Indonesia, yang umumnya bukan pembeli mobil pemula.
Memiliki EV bagi sebagian konsumen di Indonesia lebih dianggap sebagai bagian dari gaya hidup ramah lingkungan dan modern, yang dapat meningkatkan prestise sosial pembelinya. Jika motivasi konsumen EV di Barat adalah kesadaran lingkungan dan keinginan mengurangi emisi karbon, konsumen di Indonesia lebih melihatnya sebagai penunjang gaya hidup dan status sosial.
Di sisi lain, pemerintah di banyak negara Barat memberikan insentif EV dengan fokus pada aspek lingkungan dan penurunan emisi. Sedangkan pemerintah Indonesia memberikan stimulus kendaraan listrik dengan tujuan mendorong industri otomotif nasional.
Survei-survei bermanfaat untuk mengarahkan produsen mobil agar fokus pada pengembangan produk yang sesuai kebutuhan konsumen, seperti meningkatkan jangkauan dan memperbaiki layanan purnajual. Di Indonesia, keandalan produk, layanan purna jual, dan ketersediaan suku cadang masih menjadi pertimbangan penting dalam adopsi EV, selain kebiasaan penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin dan kondisi jalan yang beragam.
Sebuah riset McKinsey & Company berjudul "McKinsey Mobility Consumer Pulse" edisi Juni 2024, menyatakan bahwa sebanyak 29 persen pemilik mobil listrik di tingkat global mempertimbangkan untuk kembali ke mobil berbasis bahan bakar minyak (BBM). Survei ini melibatkan lebih dari 3.000 responden di 15 negara, mencakup lebih dari 80 persen penjualan mobil dunia. Negara dengan responden terbanyak yang ingin kembali ke mobil BBM adalah Australia (49 persen), disusul oleh Amerika Serikat (46 persen) dan Brasil (38 persen).
Alasan utama mereka ingin kembali ke mobil BBM adalah fasilitas pengisian listrik yang belum memadai (35 persen), biaya perawatan yang mahal (34 persen), dan kesulitan berkendara jarak jauh (32 persen). Situasi ekonomi terkini juga sangat memengaruhi pembelian mobil.
Dalam sebuah survei, diungkapkan pertumbuhan rata-rata penjualan kendaraan listrik global tahun lalu diperkirakan 29 persen, kurang dari setengah pertumbuhan tahun sebelumnya. Tahun ini, pertumbuhan penjualan diperkirakan terus melambat di angka 21 persen.
Beberapa faktor yang memberatkan laju adopsi EV di banyak negara antara lain pencabutan subsidi dan keringanan pajak di sejumlah negara, kurangnya model dengan harga terjangkau, kenaikan premi asuransi, biaya perbaikan tinggi, serta kekhawatiran penurunan harga jual mobil listrik bekas.
Faktor-faktor tersebut, ditambah kekhawatiran akan infrastruktur pengisian baterai mobil listrik, menyebabkan penurunan tingkat adopsi kendaraan bertenaga listrik di tingkat global, menurut BNEF.
Meskipun pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong penggunaan kendaraan listrik, ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) masih menjadi polemik yang cukup hangat. Beberapa permasalahan utama yang sering diangkat terkait ketersediaan SPKLU di Indonesia adalah:
Dampak dari Keterbatasan SPKLU:
Upaya Pemerintah dan Swasta:
Pemerintah dan berbagai pihak swasta telah berupaya untuk mengatasi permasalahan ini dengan cara:
Solusi untuk Meningkatkan Ketersediaan SPKLU: