KABARBURSA.COM - Biaya pengobatan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh polusi udara memang sangat besar bagi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Pada tahun 2023, penyakit pernapasan termasuk dalam 10 besar biaya pengobatan tertinggi yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan, baik untuk rawat inap maupun rawat jalan.
Menurut Asisten Deputi Bidang Manajemen Utilisasi BPJS Kesehatan, Adian Fitria, ada 1,1 juta kasus penyakit pernapasan untuk rawat jalan dengan total pembiayaan mencapai Rp431 miliar. Sedangkan untuk rawat inap, jumlah kasus mencapai 1,7 juta dengan total biaya sebesar Rp13,3 triliun pada tahun 2023.
Peningkatan jumlah kasus penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) juga menunjukkan tren kenaikan secara nasional. Seperti dalam keterangannya di Jakarta, Senin 15 Juli 2024.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa kasus ISPA di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik mencapai 3,5 juta orang, meningkat 10,4 persen dibandingkan tahun 2022. Di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL), terjadi peningkatan biaya pengobatan rawat jalan dari rata-rata Rp32,9 miliar dengan 159.251 kasus sebelum pandemi menjadi Rp45,2 miliar dengan 210.291 kasus setelah pandemi.
Khusus di Jakarta, angka penderita ISPA pada tahun 2023 lebih tinggi dibandingkan Bandung dan Surabaya. Di Jakarta, biaya rawat jalan mencapai Rp4,7 miliar untuk 19.254 kasus dan rawat inap sebesar Rp16,1 miliar untuk 4.858 kasus. Sementara itu, di Bandung biaya rawat jalan mencapai Rp1 miliar untuk 4.186 kasus dan rawat inap sebesar Rp3,9 miliar untuk 915 kasus. Di Surabaya, biaya rawat jalan mencapai Rp1,5 miliar untuk 7.225 kasus dan rawat inap sebesar Rp6,7 miliar untuk 2.182 kasus.
Polusi udara terbukti memiliki hubungan erat dengan peningkatan kasus penyakit pernapasan, khususnya ISPA. Data dari BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa peningkatan kadar polusi udara berbanding lurus dengan peningkatan jumlah peserta jaminan kesehatan nasional yang memerlukan perawatan akibat ISPA.
Kepala RCCC-UI, Budi Haryanto, menyatakan bahwa timnya sedang melakukan analisis literatur terhadap 5.600 riset tentang hubungan polusi udara dengan penyakit pernapasan dari seluruh dunia. Hasil penelitian dan lokakarya ini diharapkan dapat membantu kementerian/lembaga untuk lebih memahami masalah penyakit pernapasan dan mengembangkan model prediksi mengenai dampak peningkatan konsentrasi particulate matter (PM)2,5 terhadap penyakit terkait polusi udara.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), BPJS Kesehatan, dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, akan melakukan evaluasi terhadap sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
Aturan mengenai KRIS diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
“Kita mengevaluasi persiapan dari pelaksanaan Perpres 59/2024 tersebut baik dari dimensi keberlanjutan akses maupun keberlanjutan penganggaran termasuk iuran dan sebagainya,” kata Ketua DJSN Agus Suprapto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 6 Juni 2024.
Agus menyampaikan bahwa pihaknya akan melaporkan hasil evaluasi secara periodik kepada Komisi IX DPR. Katanya, DPR perlu mendapatkan informasi terkait aspek kepesertaan, manfaat, tarif, dan iuran.
“Kita akan melihat dulu dari hasil evaluasi aktuarianya, karena kita tidak ingin peserta JKN ini mengalami masalah dengan keuangan,” ujarnya.
Agus menambahkan bahwa Direktur Utama BPJS Kesehatan juga menginginkan agar masalah keuangan tidak menjadi kendala.
“Pak Dirut BPJS juga tidak ingin repot dengan adanya masalah soal keuangan yang tidak cukup. Jadi tetap akan menjadi bagian penting, salah satunya adalah soal hitungan aktuaria untuk melihat anggaran,” tuturnya.
Lebih lanjut, Agus menegaskan, hingga saat ini pemerintah belum menghapus kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan lantaran Perpres 59/2024 masih dalam tahap evaluasi.
“Belum ada penetapan tarif, apalagi penghapusan kelas 1, 2, 3, jadi belum ada karena dari studi-studi yang lalu tentu naskah akademik kita terakhir tahun 2022,” ucap dia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menyatakan bahwa berdasarkan hasil survei per 20 Mei 2024, sebanyak 2.316 rumah sakit atau 79,05 persen sudah memenuhi 12 kriteria KRIS. Sebanyak 363 rumah sakit memenuhi 11 kriteria, 43 rumah sakit memenuhi 10 kriteria, 272 rumah sakit memenuhi 9 kriteria, dan 63 rumah sakit belum memenuhi kriteria KRIS.
“Kriteria KRIS itu kita semua sudah paham, ada 12 kriteria dan sebagian besar sudah memenuhi kriteria tersebut,” kata Dante dalam rapat kerja bersama Direktur Utama BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 6 Juni 2024.
Dante juga memastikan bahwa jumlah tempat tidur di rumah sakit tidak akan berkurang saat sistem KRIS diterapkan bagi peserta BPJS Kesehatan. Pihaknya telah melakukan pembaharuan terkait kesiapan rumah sakit nasional dalam implementasi KRIS, di mana kapasitas tempat tidur di rumah sakit berada di angka 30-50 persen.
“Jadi implementasi KRIS ini akan dilakukan dan kekhawatiran akan kehilangan jumlah tempat tidur tidak akan terjadi,” ujarnya.